Bab 4. Lupa yang Berujung Malu

1126 Words
Pagi-pagi sekali Reno sudah datang menjemput Zavon untuk berangkat ke sekolah. Tentu saja hal ini menjadi hal yang patut untuk di curigai, terlebih Cinta juga baru saja sampai rumah untuk mengambil baju ganti. "Tumben sekali pagi-pagi sudah datang. Memangnya se-asik itu ya menemani Zavon ke sekolah?" Tanya Cinta, menaruh segelas teh di depan Reno. Dengan semangat, Reno mengangguk. Dia tersenyum manis, akan tetapi bagi Cinta itu adalah hal yang sangat aneh. Ia tidak tahu apa arti tersembunyi dari senyuman itu, tapi dia bersyukur masih ada orang yang memperhatikan putranya. "Tunggu sebentar. Aku mau memandikannya dulu." Ucap Cinta, meninggalkan Reno sendirian di ruang tamu. Fokus Cinta masih mengarah ke senyum aneh Reno. Sesekali ia berbalik untuk melihat pria itu, melihat apakah dia masih benar-benar waras atau tidak. "Minum tehmu." Ujar Cinta kala Reno yang juga menatapnya. Apa yang dilakukan pria itu selanjutnya? Dia malah hormat pada Cinta, membuat perempuan itu bergidik ngeri. Dengan cepat berlari ke atas kamar untuk membangunkan putranya. "Aneh sekali." *** Sekarang, mereka sedang sarapan sebelum memulai aktivitasnya kembali. Zavon lebih mendahulukan putranya dibandingkan dirinya. Menyuapi anak itu sampai kenyang terlebih dahulu, baru kemudian dia sarapan. "Nak, pagi ini sekolahnya sama uncle dulu, ya?. Nanti kalau mama ada waktu baru mama antar, oke?" Tanya Cinta. Zavon mengangguk semangat. "Oke!" Jawab Zavon. "Uncle, nanti kita ke rumah ibu guru Nadin lagi, ya?. Kemarin Zavon udah izin lho sama ibu guru." Beo Zavon yang menghancurkan rencana pamannya. Padahal, ia sudah berusaha untuk menyembunyikan segala hal yang terjadi, tapi dengan begitu mudahnya Zavon membongkar. Seketika, baik ibu Cinta ataupun Cinta sendiri menatap Reno intens. Seakan-akan mereka sedang menagih penjelasan darinya. "Siapa Nadin?" Tanya Cinta. "Ibu guru Nadin it--" "Dia tak sengaja bertemu dengan Zavon kemarin di rumah sakit. Tidak lebih." Sela Reno. "Ibu guru Nadin cantik, gak?" Tanya Cinta pada Zavon, sedikit berbisik. "Aku bisa mendengar kalian." Ujar Reno, membuat Cinta cengengesan tidak karuan. "Cantik banget, ma. Dia juga baik, sama kayak mama. Nanti kalau Zavon udah gede, mau punya pacar kayak ibu guru Nadin aja." Ucap Zavon ceplas-ceplos. Dia begitu polos, tolong jangan di hujat. "Ooo... Pantas saja uncle Reno semangat antar Zavon ke sekolah lagi. Rupanya mau ke rumah ibu guru cantik." Ejek Cinta pada Reno yang sedikit salah tingkah. "Aku hanya sekedar mengantar Zavon ke sekolah aja. Lagipula dia tidak mengajar di sekolah Zavon. Kami tidak sengaja bertemu." Jelas Reno, semakin membuat Cinta mengejeknya. "Iya, Reno, iya!. Makanya, jangan jadi pria yang terlalu dingin!. Nanti kalau dia udah bosan sama kamu, pindah ke lain hati!" Ejek Cinta, lagi. "Kan aku udah bilang gak ada apa-apa. Kemarin aja kenal." Kata Reno, agak kesal. Dia bahkan sampai melepas alat makanannya, menyudahi sarapannya yang masih tinggal setengah. "Kalau gak ada apa-apa, biasa aja kali Reno. Lagian gak masalah kalau kamu ada apa-apa, toh juga itu adalah hal yang normal." Balas Cinta, lanjut menyuapi Zavon. "Uncle Reno dekat sama adik ibu guru Nadin, ma. Soalnya katanya adik ibu Nadin juga dokter." Ujar Zavon, kembali membocorkan semuanya. Cinta berlagak kaget mendengar ucapan Zavon. Ia bahkan sampai sengaja membungkam mulutnya agak berlebih dengan mata yang melotot sempurna. "Awas lho nanti malah ketuker jodohnya." Ejek Cinta lagi, tidak puas dengan sebelumnya. Raut wajah Reno seketika berubah. "Apa sih?! Zavon, aku tunggu di mobil." Ujarnya, meninggalkan meja makan. "Kamu sih!. Jangan suka mengejek seperti itu." Ucap ibu Cinta. Bukannya merasa bersalah, Cinta malah tertawa. Ia bahkan sampai lupa menyuapi Zavon yang sudah menganga siap menerima suapan dari mamanya. "Biarkan saja, ibu. Aku hanya mau dia move on dari aku. Dia harus dapat perempuan yang lebih baik dari aku." Ungkap Cinta, menatap ke arah Reno yang perlahan menghilang keluar dari rumah. *** "Titip salam buat ibu guru cantik Nadin ya, Reno." Ejek Cinta tidak mau kalah. Reno jengah, dia melempar kunci mobilnya pada Cinta membuat perempuan itu tertawa lepas. Reno membukakan Zavon mobil, memasukkan tas anak itu pula. "Sekarang aku tidak mau fokus ke arah sana, Cinta. Aku mau santai aja. Kalau misalnya sudah ada jodohnya, pasti ketemu." Ucap Reno. "Tapi aku serius ketika mengatakan kalau kamu harus meluangkan waktumu untuk hal seperti ini. Memangnya kamu tidak mau memiliki anak? Kasihan mama dan papamu, apalagi kakakmu. Mereka sudah ingin menggendong bayi." Ujar Cinta, sangat random. Reno menghela nafas kasar. Berkacak pinggang, menatap Cinta lama, kemudian tertawa tidak jelas. Dengan Cinta, ia tidak bisa emosi sampai harus meledak-ledak meski bagaimanapun kesalahan yang dilakukan perempuan itu. Bahkan ketika pernikahan mereka yang batal sia-sia, ia tidak memperdulikannya lagi. "Tuh kan. Sepertinya ada yang tidak beres dengan dokter tampan kita." Ucap Cinta. "Aku baru saja mendapatkan kontaknya, cinta!" Ujar Reno pada akhirnya. "Bagus dong. Ayo kencangkan semangatnya. Kencangkan pendekatannya." Ujar Cinta memberi nasihat pada Reno. Lebih parahnya lagi adalah Cinta malah menepuk b****g Reno dan mendorong pria itu masuk cepat ke mobilnya. "Ah! Aku tidak bisa marah!" Kesal Reno. Berteriak tidak jelas. "Jangan marah-marah dulu. Anakku harus ke sekolah." Ucap Cinta, menutup pintu mobil Reno. Reno menatap Cinta agak lama, sedangkan perempuan itu masih memperhatikan putranya yang sedang kesusahan memasang sabuk pengaman. Bahkan saking geregetnya, Cinta membuka pintu mobil yang satunya dan memasangkan putranya sendiri. Sampai di sana, Reno masih memperhatikannya. "Sekolah yang rajin ya, nak." Ucap Cinta, mencium kening putranya singkat. "Dante beruntung memilikimu, Cinta." Celetuk Reno tiba-tiba, membuat Cinta langsung membatu. Tersenyum paksa, "tentu saja. Tidak hanya cantik, aku juga pintar." Ujar Cinta, membanggakan dirinya. "Iya, iya!" *** Gelagat aneh dari seorang dokter tampan bernama Reno ini tidak hanya dirasakan oleh Cinta saja, melainkan pegawai rumah sakit pun merasakan hal yang sama. Lebih dari tiga puluh menit Reno berkeliling tanpa tujuan yang pasti. Ujung-ujungnya, dia akan berhenti di bagian rekam medis. Beberapa orang di ruangan itu menatapnya heran, namun ada beberapa yang tetap menatap Reno dengan terpesona. "Dokter cari apa?" Tanya salah satu orang di dalam ruangan itu. "Hmm..." "Aku kesini untuk melihat data pasien atas nama Nadin. Bisakah kamu mencarikannya untukku?" Pinta Reno. Tidak ada jawaban. Ia malah di tatap aneh oleh mereka semua. "Ada yang salah?" Tanya Reno. "Memangnya dokter siapanya pasien atas nama Nadin?" Tanya mereka lagi. Reno tidak menjawab. Dia terdiam, karena memang pertanyaan itu menohok ya telak. Tidak ada satupun hubungan yang bisa memberikannya hak untuk melihat rekam medis Nadin. Dengan polosnya Reno menggeleng. "Maaf kalau saya kembali mengingatkan, dok, tapi yang berhak mendapatkan rekam medis adalah pasien, keluarga pasien, orang yang diberi kuasa oleh pasien atau keluarga pasien dan orang yang mendapatkan persetujuan dari pasien atau keluarga pasien. Sedangkan dokter tidak termasuk di dalamnya. Maaf dokter, kami tidak bisa memberikannya." Tolaknya. Reno di tolak. "Baiklah. Terimakasih. Saya mau ke kantin dulu. Kalian jangan lupa makan siang!" Ujar Reno, yang sebenarnya hanyalah alibi saja untuk menyembunyikan rasa malunya. Dengan cepat keluar dari ruangan itu, menyalahkan dirinya sendiri. Ia bahkan sampai memukul manja mulutnya. "Kenapa sampai lupa sih!" "Aduh, malu banget!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD