Part 3

2416 Words
“Seminggu?” tanya Leoni kaget setelah Gerald menyampaikan keinginannya untuk membawa Geovani menginap di penginapannya selama ia berada di sana. “Iya. Aku tau kamu akan merasa berat kalau aku bawa dia ke Medan. Tapi kalau aku bawa dia nginap sama aku di sini, aku harap kamu ngasih izin. Aku rindu Geo, Ni” ucap Gerald. Lidahnya sudah gatal untuk memanggil Leoni dengan panggilan Yang, panggilan mereka dulu. Leoni meremas-remas tangannya gelisah. Pandangannya terlihat datar tapi sorot matanya menyiratkan ketidak sukaannya. “Kalau___kalau misalkan kamu nggak ngasih juga, ya terpaksa aku numpang tidur di rumah kamu seminggu  ini.” Gerald tersenyum berharap, yang terasa canggung karena ia tau itu tawaran yang konyol. Leoni mengelap dahinya dengan punggung tangannya, terlihat seperti sedang kelelahan, lalu menggelengkan kepalanya. Bibirnya tersungging getir. “Tidak baik, dan tidak akan mungkin terjadi. Apa kata orang kalau Mas menginap di sini. Status Mas duda dan saya janda. Hanya akan menimbulkan fitnah. Lagipula, rumah kami ini kan kecil. Hanya terdiri dari dua kamar. Satu kamar sudah dijadikan ruang belajar Geo dan satunya lagi itu kamar kami.” “Aku bisa tidur di ruang belajar. Aku cuma perlu alas. Nggak perlu ranjang, kasih karpet atau tikar atau__ apa aja.” Leoni tertawa, setengah mengejek tawaran pria di depannya. Dia terlalu terbiasa hidup nyaman. Mana mungkin dia mau tidur beralaskan apapun itu yang tidak empuk. Kalaupun dia mau, bisa-bisa Leoni akan mendapat terror dari Ewie karena telah membiarkan anak kesayangannya tidur beralaskan tikar. “Bawa saja Geo. Tidak apa-apa. Nanti sore Mas sudah bisa jemput dia. Cuma, tolong diingat, dia itu tidak bisa makan sembarangan. Lambungnya sensitif jadi dia tidak boleh makan-makanan yang tidak higenis. Selain itu, dia tidak suka makanan berkuah. Biasanya saya memasakkan dia ikan atau ayam goreng. Kalau dipaksa makan-makanan berkuah dia suka memuntahkan makanannya dan akibatnya dia akan sakit. Anak itu, agak lemah pencernaannya.” “Sejak kapan?” tanya Gerald. “Sejak kapan?” Leoni mengerutkan keningnya tidak mengerti. “Oh, ya ya. Dari dulu. Dari dia sudah bisa makan nasi dia sudah tidak suka makanan berkuah apalagi santan. Dulu kan pernah kita bawain dia gulai ayam dari rumah kak Gina, pas dia makan dia nggak serius gitu makannya. Akhirnya malah mual sendiri. Terus___” Cerita Leoni terhenti karena dia sadar bahwa kelanjutan cerita itu sama sekali tidak baik didengar Gerald. Semua sudah selesai. Tidak ada gunanya dia membahas kejelekan yang telah terjadi di masa lalu. “Terus?” “Ah, nggak usah dibahas deh” Leoni tertawa dibuat-buat. “Intinya dia nggak bisa makan makanan berkuah dan harus yang bersih. Kalau bisa, makanan yang baru dimasak.” Gerald mengangguk mengerti. “Kamu ada waktu?” “Untuk?” “Kalau___kalau misalkan kamu ada waktu senggang, mungkin ada baiknya kita jalan-jalan bersama-sama. Agar Geo senang.” Leoni menggelengkan kepalanya. “Toko ini buka setiap hari bahkan saat angka di kalender berwarna merah. Jadi, maaf, aku tidak ada waktu. Lagipula aku percaya Geo pasti senang jalan-jalan sama kamu.” Tapi aku akan lebih senang lagi kalau kamu juga jadi bagian dari jalan-jalan kami, batin Gerald. Dengar berat hati Gerald meninggalkan toko sekaligus rumah Leoni karena wanita itu berkata dia harus pergi ke distributor untuk bertemu seseorang. Wanita itu gigih sekali. Dia seperti ketakutan tidak mampu membiayai kehidupan anak mereka. Padahal sudah berulang kali Gerald katakana bahwa ia akan bertanggung jawab atas semua kebutuhan Geovani. Setibanya di hotel, Gerald langsung makan siang. Rasa makanan itu sama sekali tidak terasa enak di lidahnya. Jauh lebih buruk dari masakan Leoni saat wanita itu belajar memasak. Gerald tampaknya harus puas dengan makanan tidak enak itu karena dia malas mencari makanan di luar sedang di kota sangat kecil ini belum ada layanan pesan antar makanan online. Selesai makan, Gerald segera meluncur ke sekolah anaknya. Hatinya merasa miris. Sekolah anaknya itu hanya sekolah biasa yang terlihat usang. Hanya terdiri dari beberapa ruangan yang jika Gerald hitung, dia merasa setiap tingkatan kelas hanya terdiri dari dua ruangan kelas. Dia bahkan ragu sekolah itu menyediakan ruang bermain yang cukup layak untuk para muridnya. Seandainya Geovani tinggal bersamanya, dia akan menyekolahkan Geovani di sekolah yang lebih layak. Gerald melirik jam tangannya. Sudah jam dua. Leoni berkata dia bisa menjemput Geovani di sore hari tapi hatinya sudah tidak sabaran untuk bertemu anaknya. Bel berbunyi. Gerald langsung menajamkan pandangannya. Tadinya ia ingin turun dan menunggu di deretan orangtua yang sedang menunggu anak-anak mereka. Tapi dia canggung harus berbaur dengan mereka yang tampaknya sudah saling mengenal satu sama lain. Dia akan menunggu sampai Geovani terlihat, lalu ia akan keluar dari mobil dan memanggilnya. Gerald menunggu, bahkan sampai sekolah mulai sepi tapi dia tidak juga melihat Geovani keluar dari sekolahnya. Gerald segera menghubungi Leoni. “Eum, aku di sekolah Geo tapi aku nggak ngelihat Geo.” “Astaga, Mas! Kan Geo itu kan pulangnya sama ojek langganan. Di jemput sampai ke depan kelas. Biar nggak sempat kemana-mana soalnya dia kan suka banget main-main.” “Pantesan.” “Lagipula kan aku suruh sore, Mas. Tunggu dia selesai mandi dulu.” “Aku nggak sabar, Ni. Aku udah kangen banget.” “Mas sekarang dimana?” “Masih di sekolah. Kenapa?” “Ya udah ke sini aja. Jemput sekarang. udah makan siang? Kalau belum sekalian aja makan di sini.” Gerald langsung tersenyum lebar. Dia sudah kenyang tapi sekarang dia merasa lapar. Akhirnya, dia bisa memakan masakan Leoni lagi. “Mas?” “Iya. Aku ke sana.” Gerald mengakhiri panggilan, mencium ponselnya dengan ceria seperti orang yang baru saja jatuh cinta. Ia menekan gasnya dan segera melaju ke rumah Leoni. Saat ia sampai, Leoni sedang tidak ada di toko. Kata Fitri, dia boleh langsung masuk karena Leoni sudah mengizinkannya. “Papa!” teriak Geovani. Dia sudah tampak segar sehabis mandi dan sedang makan siang. “Hai, anak papa” Gerald melangkah cepat mendekati Geovani lalu memeluknya. “Tadi papa jemput ke sekolah tapi malah nggak ngelihat kamu.” Geovani tertawa geli. “Geo kan dijemput, Pa. Kalau tau papa tadi jemput, Geo nggak mau deh pulang sama pak Udin. Mending sama papa. Sekalian biar teman-teman tau Geo punya papa.” Senyum Gerald memudar. Ucapan polos Geovani telah menusuk tepat ke ulu hatinya. Itu salahnya. Harusnya dia sadar saat dia menyetujui permintaan cerai Leoni, hal itu juga berarti dia telah membuat Geovani akan kehilangan sosok sang papa. Meski Gerald tetap menjadi papanya, anak itu akan tumbuh berkembang tanpa kehadirannya. Bisa jadi dia malah diolok teman-temannya karena tidak pernah bersama papanya. Gerald duduk di sebelah Geovani dan mengelus rambut anaknya dengan penuh rasa sayang. “Kamu kan memang punya papa. Kenapa kamu nggak bilang ke mereka kalau kamu punya papa ganteng kayak papa? Kan kamu ada foto kita bertiga. Papa, mama, dan kamu.” Geovani menarik nafas panjang lalu mengangkat bahunya. Tampaknya sudah malas membahas masalah itu. Gerald mendengar suara langkah. Dia menoleh. Senyumnya kembali mengembang saat melihat Leoni datang sambil membawakan makan siang untuknya. “Maaf, Cuma ada udang goreng tepung. Aku biasanya masak sayur Cuma sedikit soalnya kan anak kamu tuh malas makan sayur. Cuma aku sendiri yang makan. Mau masak juga nggak sempat kan.” Leoni meletakkan piring berisi nasi dan udang goreng tepung ke Gerald dengan saus yang diletakkan di wadah terpisah. Anak kamu, batin Gerald. Leoni membuatnya bahagia dengan perkataan itu, yang menekankan bahwa Leoni masih terus menganggap kalau Geovani lebih mirip dengannya dan dia tidak pernah memisahkan Gerald dan Geovani meski mereka telah bercerai. “Kenapa nggak makan sayur, ha?” tanya Gerald pada Geovani. “Pahit, Pa. Kadang Geo mau kok. Tapi jangan sering-sering. Bosan makannya.” Gerald tertawa pelan. Dia melihat Leoni yang berjalan menuruni tangga. Hatinya mencelos karena ia pikir mereka akan makan siang bertiga. Tapi tidak apa-apa, tidak boleh terlalu banyak berharap di langkah-langkah pertama. Dia harus sabar karena salahnya memang begitu fatal. “Mama udah bilang belum kalau kamu nanti ikut sama papa?” tanya Gerald. Geovani menganggukkan kepalanya dengan wajah sedih, tapi ia tidak mengatakan apapun. “Kenapa? Nggak suka ikut sama papa?” Geovani menggelengkan kepalanya. “Kalau Geo ikut papa, terus, mama sendirian dong di rumah? Kalau ada penjahat gimana? Kalau ada hantu gimana?” Gerald membuang nafas lega. Padahal tadi ia sudah berpikir yang tidak-tidak. Sudah sempat kecewa karena berpikir anaknya tidak mau menghabiskan waktu dengannya. Tapi benar juga. Jika mereka meninggalkan Leoni sendirian di rumah yang dibawahnya ada toko, bukankah itu bisa sangat berbahaya? Bisa saja sewaktu-waktu ada maling yang bukan hanya merampok tapi malah menyakiti Leoni. “Kamu___coba kamu ajak mama. Siapa tau mama mau.” Geovani menoleh lalu tersenyum senang. “Iya, Pa. Ajak mama aja. Mama kan jarang liburan.” Gerald mengacak rambut Geovani. Semoga saja Leoni mau. Semoga saja, anak mereka satu-satunya ini bisa menjadi alat untuk mempersatukan mereka lagi. Gerald sudah sangat merindukan keluarganya yang utuh. Dia sudah sangat merindukan suasana hangat yang menyambutnya saat ia pulang kerja. *** Leoni menggelengkan kepalanya. Dia menatap Gerald dengan mata hampir menutup, menunjukkan ketidak sukaannya akan ide Gerald. “Anak kita sendiri yang meminta. Apa salahnya? Aku nggak mungkin berbuat sesuatu ke kamu saat ada dia” ucap Gerald sambil mengalihkan pandangannya karena saat dia berkata sesuatu, gambaran sesuatu itu justru melintas di kepalanya dan seketika tubuhnya memanas. Dia telah terlalu lama tidak mendapat kepuasan. “Bukan itu! Tapi aku memang nggak bisa. Kan udah pernah ku bilang, Mas, kalau kerjaanku itu banyak. Aku harus mastiin kalau pekerjaku semuanya bekerja dengan benar dan tepat waktu. Sekali aku tinggalkan, bisa hancur semuanya. Salah kirim orderan lah, lupa ngutip tagihan lah, banyak lah pokoknya. Usahaku ini masih kecil. Untungnya masih serabutan. Aku harus tetap fokus atau tokoku akan bangkrut.” “Tapi kalau mama sendirian di rumah terus ada pencuri gimana?” tanya Geovani sedih. Leoni melunak. Tatapan matanya melembut. Dia jongkok di depan Geovani dan merangkum wajah anaknya dengan telapak tangannya. “Geo percaya sama mama, ya? Mama baik-baik aja. Geo pergi aja sama papa. Mama nggak akan kenapa-napa, sayang. Semua akan baik-baik aja.” Geovani menggelengkan kepalanya. Airmatanya menetes meski hanya sekali, dan ia langsung memeluk mamanya. “Geo nggak mau pergi kalau mama nggak ikut,” ucapnya sambil menahan tangis. Dia mengingat pesan Leoni bahwa anak laki-laki tidak boleh cengeng, jadi kalau tidak terlalu sedih dia akan berusaha menahan tangisnya. “Tapi mama harus jaga toko, sayang.” “Tapi Geo maunya mama ikut.” Leoni memejamkan matanya frustasi. Dia menarik nafas panjang lalu akhirnya mencium pipi anaknya. “Gini aja. Mama nggak bisa ikut kalian waktu jalan atau main di siang hari. Tapi, mama akan tidur di hotel tempat kalian menginap. Gimana?” Geovani mengusap pipinya yang basah, melepas pelukannya lalu menoleh ke belakang meminta pendapat papanya. Gerald mengelus kepala Geovani lalu mengangguk. “Malamnya kita jemput mama. Gimana?” “Ya udah. Tapi habis tutup toko mama langsung ikut sama Geo sama papa ya? Kan tokonya udah ditutup.” Leoni mengangguk. “Ya udah sana. Ikut sama papa. Mama mau lanjut kerja dulu.” Geovani mengangguk patuh, melangkah mendekat ke Gerald lalu menyenderkan tubuhnya di tubuh tinggi menjulang itu. “Bagusnya kami kemana?” tanya Gerald. “Eum___ ajak dia main ke play station yang baru buka di dekat hotel aja, Mas. Di sana banyak tempat mainnya gitu. Dia udah sering minta tapi belum sempat ke sana. Nanti aku nyusul aja. Diantar sama Udin.” “Mending aku jemput dong, Ni. Diantar Udin pakai motor kan? Nggak aman naik motor malam-malam. Kamu perempuan.” Leoni tertawa getir. “Aku udah biasa naik motor sekarang. kemana-mana juga naik motor mau siang, malam, atau tengah malam. Sekali lagi naik motor malam-malam nggak akan mengubah apapun, Mas. Lagi pula nanti Geo pasti lupa waktu di sana. Nggak mungkin kamu ninggalin dia terus jemput aku apalagi kamu ajak dia jemput aku. Terganggu mainnya.” Gerald terdiam. Selama bersamanya, Leoni selalu naik mobil kemanapun ia pergi. Sekarang ia tinggal bersama anak mereka dan dia tidak memiliki mobil. Gerald tidak membayangkannya selama ini. Leoni tidak pernah mengeluh padanya padahal biasanya Leoni selalu mengatakan setiap keluhannya pada Gerald. Wanita itu sudah sangat berubah. Bukan lagi Leoni yang dulu selalu menyandarkan semua bebannya pada Gerald. “Mas?” Leoni tertawa geli saat Gerald hanya diam terpaku. Gerald tersenyum tipis, menundukkan pandangannya lalu mengangguk. “Kalau gitu, kami pergi” ucapnya. Sesudah melihat Leoni mengangguk, Gerald menyuruh Geovani menyalami Leoni lalu mereka pergi. Di perjalanan, dia sibuk berbincang dengan anaknya tapi pikirannya masih berkelana memikirkan Leoni. Dia curiga jangan-jangan Leoni bahkan tidak pernah menyentuh uang yang dikirimkannya. Kalau benar, apa gunanya Gerald dalam hidup Leoni? Kemandirian wanita itu hanya membuat Gerald semakin merasa tidak berguna. Membuatnya merasa celahnya untuk mendapatkan cinta Leoni semakin tipis saja. ***   Ewie masih duduk di kursi goyangnya. Kepalanya sakit. Beberapa hari ini Gerald tidak mau mengangkat panggilannya meski masih mau membalas pesannya. Anaknya itu semakin menjauh. Bertemu dengan Wina semalam tidak membuat kegelisahannya memudar. Dia bahkan tidak bisa menikmati momen temu kangennya dengan cucunya. Kebahagiaan Gerald adalah kebahagiaannya juga. Dia tau Gerald mencintai Leoni tapi dia tidak bisa memungkiri kalau dia kecewa pada pilihan Gerald itu. Leoni hanya seorang wanita yang tidak tau bagaimana bersikap pada mertua juga bagaimana melayani suaminya. Memasak saja tidak pintar. Terkadang dia bangun lebih lama dari suaminya. Apa gunanya istri kalau sarapan Gerald saja masih pembantu yang menyiapkan? Lihat Wina. Dia selalu bangun pagi. Dia selalu membantu pembantu menyiapkan sarapan Gerald dan yang paling penting dia bisa nyambung saat berbicara dengan Ewie. Kalau Leoni, kerjaannya hanya mengeluh dan mengeluh. Cucu laki-laki pertamanya itupun sering dipaksa makan makanan yang tidak dia suka sampai muntah. Ibu macam apa itu? Tapi Ewie memang sedikit menyesal setelah akhirnya Gerald bercerai dengan Leoni. Anaknya seperti kehilangan semangat hidupnya. Dia sering melamun. Waktu itu Ewie berpikir kalau kegundahan hati Gerald justru menjadi celah Wina untuk masuk ke hati pria itu. Wina bisa hamil anak Gerald artinya mereka pernah tidur bersama. Tidak akan sulit untuk menarik Gerald melakukannya lagi dan lagi sampai akhirnya cinta tumbuh di hati anaknya itu. Sekarang dia malah kehilangan semuanya. Setiap dia bercerita pada anak-anak perempuannya mereka malah memihak pada Leoni. Tidak ada gunanya dia bercerita. Hanya Wina yang mengerti pikirannya. Dia melirik jam tangannya. Sudah jam 7 malam. Apakah anaknya sudah makan malam? Sedang apa dia sekarang? Bersama siapa? Kemarin dia menonton sinetron. Seorang pria berubah dan masuk ke dunia hitam karena kehidupan pernikahannya hancur. Ewie tidak mau anaknya sampai seperti itu. Bergaul dengan wanita malam dan minuman keras. Sekarang ini, dia tidak akan mengeluh jika Gerald rujuk dengan Leoni asal anaknya kembali seperti semula. Meski memang, dia lebih berharap Gerald rujuk bersama Wina. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD