Part 2

2662 Words
“Nggak bisa, Ma!” ucap Gerrald kesal. Dia mengemasi pakaiannya ke dalam koper. Ewie menarik tangan Gerrald agar anaknya itu memandangnya tapi Gerald menepis tangan Ewie dan mengancingkan kopernya. “Bagaimanapun dia itu anak kamu!” ucap Ewie meninggikan suaranya. Bukan karena dia marah tapi karena dia putus asa. Dia sudah merencanakan ini jauh-jauh hari dan sekarang bahkan masih hari jumat dan anaknya telah mengemas pakaiannya, hendak pergi ke tempat yang tidak mau diberi tahunya. “Gerald tau dan Gerald selalu mengakui Gia sebagai anak! Tapi Gerald sudah punya janji lain!” “Dengan siapa?” Gerald menggelengkan kepalanya, enggan menjawab. Dia mengambil ponselnya diatas nakas dan memasukkannya ke sakunya. Tadi, sepulang kerja yang lebih awal karena dia kali ini tidak pulang selarut biasanya, dia mendengar Ewie, sang mama, mengatur janji dengan Wina. Sontak dia marah karena tampaknya Ewie masih tidak mengerti satu hal, bahwa dia tidak pernah menganggap Wina lebih dari seorang sahabat dan setelah kejadian tidak mengenakkan yang harus diterimanya yaitu perceraiannya dengan Leoni. Dia tidak pernah lagi tertarik untuk menjadi sahabat Wina lagi. Sudah cukup dia menjadi pria baik bagi wanita baik, karena memang akhirnya tidak pernah baik. Harusnya dia sadar bahwa kata-kata Leoni benar, tidak akan ada persahabatan yang terlalu erat antara pria dan wanita yang telah menikah, yang tidak menimbulkan rasa sakit pada pasangan mereka. Belum lagi kemungkinan khilaf antara keduanya yang bisa berakibat fatal. Gerald tau tujuan Ewie mengatur janji temu itu bukan hanya untuk menjalin silaturahmi, tapi menjodohkannya dengan Wina. Sekarang ini, dia baru sadar bahwa harusnya dia merasa sakit hati saat mamanya lebih menginginkan wanita lain sebagai pendampingnya dibading Leoni. Bayangan kekecewaan Leoni saat selalu diperbandingkan terkilas di kepalanya, dan itu membuat jantungnya berdenyut sakit, bagai tertusuk ribuan jarum dan itu menimbulkan perih yang luar biasa. Seandainya dia lebih peka sebelumnya. Sayangnya, dia selalu menutup mata dan menganggap keluhan Leoni sebagai kekangan dan kemanjaan tidak beralasan. Gerrald memutuskan menginap di hotel. Mengabaikan panggilan dari Ewie sedari tadi ditambah panggilan dari kakak-kakaknya. Dia tidak akan mendengarkan siapapun sekarang ini. Ada wanita yang dicintainya dan buah hati mereka nun jauh di sana, yang kini hidup di pinggiran kota dengan kehidupan yang sederhana, yang harus dijumpainya. Terdengar miris memang kehidupan mereka, tapi sebenarnya kehidupannya lah yang miris karena saat di keramaian dia merasa sepi. Orang yang diinginkannya bersamanya tidak ada, membuatnya tidak bisa merasakan nyamannya pulang ke rumah karena tidak ada mereka di dalamnya. Meski masakan Leoni suka hambar, tapi sekarang dia merindukannya. Apalagi Leoni suka mengomel, memaksanya makan sayur agar ia tetap sehat. Terkadang, saat ia begadang sampai tengah malam, Leoni menyajikan kopi agar ia mengerjakan tugasnya dengan baik tapi memberikan cemilan berupa wortel mentah yang telah dibersihkan dan dipotong-potong. Kata Leoni, agar matanya tetap terjaga. Gerald membaringkan tubuhnya. Betapa semua itu menyiksanya. Sekarang, saat ia hidup dalam penyesalan, semua kenangan justru terasa indah. Kemana saja ia kemarin? Kenapa dia malah mengeluhkan semuanya dan menganggap itu sebagai suatu kekurangan dalam istrinya? Gerald memejamkan mata tapi ia tetap saja terjaga. Dia tidak sabar menunggu matahari terbit, karena besok ia akan terbang menuju tempat orang-orang terkasihnya. Besok, saat matahari menjelang, di penerbangan yang paling pagi sekali. *** Leoni menggaruk kepalanya. Pusing, itulah yang dirasakannya. Rasanya ia ingin berteriak tapi nanti dia dikira gila. Dia tidak tau bagaimana caranya memutar angka-angka itu, agar dia bisa mendapatkan keuntungan yang lebih banyak. Dia membutuhkan gudang tapi dia tidak mau berutang pada toko bangunan atau siapapun itu. Dia ingin mandiri. “Maaf, Bu. Ada tamu,” ucap Fitri takut-takut, berdiri di pintu masuk ruangan kerja Leoni yang merupakan ruangan berukuran tiga kali tiga meter dengan meja berisi banyak sekali berkas. Leoni wanita yang serba sempurna, semua harus dicatat dan dilaporkan atau dia akan mengomel seharian, merasa ada yang kurang dalam pencatatannya. “Siapa?” tanya Leoni dengan wajah masam. “Laki-laki. Ganteng.” Leoni mengerutkan keningnya. Laki-laki? Ganteng? Siapa dia? Calon pelanggan baru? “Masih muda? Tua?” “Ya..... sekitaran umur Ibu lah...” Leoni semakin mengerutkan keningnya. Tapi tak lama kemudian, ia tersenyum. Si Fitri ini memang genit. Bisa saja pria yang dikatakannya ‘ganteng’ itu, hanya pria biasa. Matanya kurang sering melihat pria tampan, dia terlalu banyak bergaul dengan pria pekerja kasar yang berwajah di bawah standar, mungkin. “Tadi dia bilang apa?” tanya Leoni. “Katanya, mau ketemu Ibu. Gimana Bu? Saya bilang Ibu nggak ada, apa gimana?” Leoni menatap lagi berkas yang diratapinya dalam hati tadi lalu menarik nafas panjang. Tidak apa-apa, berpikir masih bisa ditunda tapi pelanggan bisa saja tidak mau menunggu. “Suruh dia menunggu di meja depan.” Fitri mengangguk patuh. Bosnya itu, mana mau menyuruh tamu tidak penting masuk ke dalam ruangannya. Makanya Fitripun tidak berani sembarangan masuk. Biasanya, kalau informasi yang disampaikannya tidak begitu penting, dia akan berbicara sambil berdiri di pintu saja. Leoni merapikan lagi beberapa berkas yang diserakkannya tadi, memastikan semua berkas sudah berada di tempat yang seharusnya. Lalu ia keluar dari ruangannya. Baru saja ia keluar dari ruangannya, ia sudah dihantui perasaan tidak enak. Aroma itu, aroma yang begitu familiar di hidungnya. Kalau di kota, ia masih bisa beranggapan kalau itu orang lain karena semua orang bisa memakai parfum yang sama. Tapi ini bukan kota. Orang-orang selalu memakai produk kelas menengah kebawah. Dengan cepat Leoni berjalan ke meja tempat ia biasa meladeni pelanggan, lalu langkahnya terhenti. Benar, itu dia. Melihatnya saja Leoni sudah merasa sakit. Berbagai mimpi buruk yang sering hadir mengganggu tidurnya sekarang menjadi nyata, dan sakitnya terasa beribu-ribu kali lipat. Oksigen di parunya menipis dan bahkan seakan otaknya berhenti bekerja. Yang dilakukannya hanya berdiri terdiam dengan mata menatap Gerald dengan pandangan kosong dengan wajah yang terlihat seperti sedang melihat hantu. “Hai, apa kabar” sapa Gerald berdiri dari kursinya, memutar tubuhnya hingga menghadap ke Leoni. Leoni memaksa bibirnya mengembang. Berakting seperti biasa bahwa ia baik-baik saja padahal tubuhnya seakan mau meledak karena jantungnya berdegup terlalu cepat. Sialan, masih bisa tersenyum ia setelah merusak semua mimpi indahku? Batin Leoni. “Papaaaa!!!” teriak Geovani memecahkan kekakuan. Dia berlari mengejar Gerald. Gerald yang memang sudah sangat merindukan Geovani merendahkan tubuhnya, merentangkan tangannya. Ia menunggu anaknya itu sampai di hadapannya dan memeluk tubuhnya. Betapa bahagianya saat ia masih dirindukan. Tapi pelukan itu tak jadi ia dapatkan. Geovani mendadak menghentikan langkahnya. Ia menatap Gerald heran. “Papa sendirian? Mama Wina mana? Kak Wira mana?” tanyanya polos dengan mata yang berkeliling mencari sosok yang ditanyakannya. Hati Gerald dan Leoni sama-sama sakit. Geovani sukses menghancurkan suasana itu, membuatnya terasa lebih buruk. Menorehkan luka lama yang kini membuat perih keduanya. Gerald menatap Leoni, dan saat melihat airmata menggenang di mata wanita yang dicintainya itu, diapun merasa ingin menangis. “Aku___aku buatkan kopi dulu,” ucap Leoni yang langsung melangkah pergi. Tidak akan sehat baginya jika ia berdiri lebih lama di situ. Ia akan pingsan, atau mungkin mati karena berbagai pemikiran yang mengusiknya, membuat jantungnya berdetak kencang, dan merebut pasokan oksigen di dadanya. Dia memang persis seperti yang dikatakan mantan ibu mertuanya, wanita tidak berguna. Dulu, saat menikah, mereka harus menunggu delapan bulan sampai akhirnya mendapatkan anak. Dia sudah puas mendengar sindiran dari Ewie. Dalam hati ia selalu berkata, selama suaminya baik maka semua keburukan yang dilakukan mertuanya tidak akan berhasil menyakitinya. Dia hanya membutuhkan cinta suaminya dan itu sudah cukup. Dia akan bertahan, karena banyak pernikahan lainnya yang mendaoat cobaan yang lebih berat dan mereka berhasil mempertahankan rumah tangga mereka. Saat ia hamil, mertuanya memang senang. Apalagi tau saat ia mengandung anak laki-laki. Tapi, saat sebelum hamilpun Leoni memang gampang lelah. Dia memiliki kekurangan, tubuhnya sering bergetar saat ia lelah, jantungnya berpacu cepat dan suhu tubuhnya memanas. Dia sudah memeriksakannya ke dokter tapi kata dokter dia tidak memiliki penyakit apapun. Itu masih dalam kategori normal. Mungkin jantungnya mungkin juga sarafnya tapi itu masih gejala. Dia sudah berusaha memberi tahu Ewie tapi Ewie berkata bahwa ia manja. Sekarang, saat mereka sudah bercerai, Leoni memang banyak bersyukur. Dari dulu dia tidak cocok mencuci piring apalagi yang berbahan kaca karena tangannya sering bergetar dan ia akan menjatuhkan benda yang dipegangnya. Sekarang ia memiliki Fitri yang tinggal ia berikan uang lebih, maka pekerjanya itu bersedia menambah pekerjaannya. Sesampainya di dapur, Leoni memandang isi dapurnya dengan bingung. Dia tidak tau harus berbuat apa terlebih dahulu. Dia menarik nafas, berusaha menjernihkan pikirannya. Ah, ya, dia hendak membuatkan kopi. Tangannya sudah bergetar lagi, dengan sedikit memaksakan diri dia meraih cangkir dan mengisinya dengan gula dan kopi. Agak berantakan karena serbuk kopi dan gula berjatuhan dari sendok sehingga ia mengangkat cangkirnya dan mengibaskan alasnya. Memalukan jika Gerald menyadari ketidak telatenannya. Ia mengisinya dengan air panas dari termos dan karena tangannya terus bergetar semakin hebat ia merasa lelah. Ia menghempaskan termos itu hingga pecah dan berteriak saat air panas mengenai  kakinya. “Bodoh, bodoh, bodoh” geramnya menahan tangis. Membuat kopi dengan benar saja ia tidak bisa. Padahal dia sudah belajar mengontrol emosi agar tremornya tidak mengganggu tapi sedari tadi emosinya terus bergejolak. “Kamu baik-baik aja?” tanya Gerald panik, menghampirinya yang sedang duduk bersandarkan dinding. Leoni mengangkat tangannya, mengisyaratkan pada Gerald untuk berhenti di tempat jangan melangkah lebih dekat lagi. Dia menggelengkan kepalanya. “Tadi termosnya licin, jatuh, terus kena air panas” ucapnya tidak jelas. Dia mengepalkan tangannya, menyembunyikan getaran yang masih terjadi di jemarinya. “Kamu ada salap untuk kulit terbakar?” tanya Gerald. Leoni menggelengkan kepalanya. “Nggak apa-apa kok. Cuma air panas.” “Cuma?” tanya Gerald tidak habis pikir. Jelas sekali Leoni membencinya. Wanita itu selalu telaten, saat ada luka ia pasti akan langsung membersihkannya. Dia terbiasa hidup disiplin dan rapi. Pandangan Gerald menangkap lingkaran hitam yang memudar di d**a Leoni. Tadi dia tidak melihatnya karena garis d**a baju Leoni agak tinggi. Sekarang garis d**a itu merendah karena Leoni membungkukkan tubuhnya. Pandangan Gerald naik ke wajah wanita itu yang ternyata terdapat noda yang sama. Kenapa Leoni menjadi seperti ini? Batin Gerald. Gerald menarik nafas menahan rasa harunya. Dia sedih, begitu banyak perubahan yang mungkin saja diakibatkan olehnya. Dia merubah Leoni menjadi sosok yang berbeda. Bisa saja Leoni menjadi seperti itu karena tidak mau teringat pada dirinya. Gerald melangkah maju, mengutipi pecahan gelas dari pecahan termos itu. Dia merasa sedang cengeng sekarang karena ia sedang berusaha kuat menahan tangisnya. Leoninya, dia merindukan Leoninya yang dulu. “Biarkan saja. Nanti fitri___” “Sudah bersih,” potong Gerald. Dia memasukkan semua pecahan itu ke dalam tong sampah. Leoni mendiamkan sanggahan Gerald. Dia berdiri, meraih sapu dan skop, menyapu tempat sekitar termos tadi pecah. Gerald merasa sakit hati, beranggapan Leoni melakukan itu sebagai bentuk penolakannya atas bantuannya. Lalu ia menegur dirinya sendiri saat akal sehatnya berkata bahwa Leoni melakukan itu untuk mengumpulkan serpihan kaca yang tidak tampak karena bisa melukai kaki siapa saja termasuk kaki Geovani, buah hati mereka. “Sudah bersih!” teriak Geovani menghampiri mereka di dapur. Gerald menoleh. Ia tersenyum melihat putranya sudah selesai mandi dan bahkan mengenakan bedak tabur di wajah dan lehernya. Ia tercium seperti bayi, hanya kurang minyak kayu putihnya saja. “Anak papa,” puji Gerald, merendahkan tubuhnya, menarik Geovani ke pelukannya dan menggendongnya. “Mama kenapa, Pa?” tanya Geovani. “Pecahin barang lagi ya?” Gerald tersenyum getir lalu mengangguk. “Padahal sudah lama enggak. Kok bisa lagi ya?” Gerald mengerutkan keningnya. Dia merasa harus berbincang sebentar dengan putranya tanpa terdengar oleh Leoni. “Kami ke depan, ya?” ucapnya lalu membawa Geovani menjauh dari dapur. “Dengar ya, papa mau tanya sesuatu sama Geo tapi Geo jawab yang jujur?” ucap Gerald saat mereka sudah sampai di tangga. Dia mendudukkan Geovani membelakangi arah naik sedang ia sendiri menatap ke arah itu. Agar ia bisa melihat kesungguhan di mata anaknya dan mengawasi saat Leoni turun. Dapur memang terletak di lantai dua karena lantai satu sudah habis menjadi toko dan ruangan kantor. Hanya ada sedikit ruangan yang disisakan yang digunakan sebagai garasi kendaraan. Geovani mengangguk. “Mama sering pecahin barang?” tanya Gerald berbisik. Geovani mengangguk. “Dulu. Di rumah papa.” “Di rumah papa?” Geovani mengangguk lagi. “Waktu ngapain?” “Waktu mama cuci piring, buat teh nenek, terus waktu masak nasi. Eh, panci tempat nasi nggak bisa pecah ya?” Geovani mengerutkan keningnya memajukan bibirnya, berpikir. “Terus?” “Ya terus nenek marah. Terus mama nangis.” “Mama nangis? Dimana?” “Ya di kamar.” Geovani mendekatkan tubuhnya ke tubuh Gerald, mengangkat tangannya sebelah hendak berbisik. “Makanya Geo benci nenek,” bisiknya. Gerald merasa kepalanya berputar, pandangannya berkunang. Satu kesalahannya lagi, membiarkan ibunya merusak hari-hari Leoni. Dia selalu berpikir dia yang lelah sehabis bekerja karena Leoni hanya seorang ibu biasa dengan satu anak. Mereka memiliki pembantu jadi tidak ada pekerjaan yang harusnya terasa berat. Gerald beranggapan bahwa ibunya banyak menghina Leoni, dan itu menghancurkan harga dirinya. Pantas saja Leoni selalu berkata kalau Ewie membencinya. Padahal, dulu ia berkata kalau itu adalah fitnah dan ia marah. Tentu saja ia membela ibunya. Saat itu, dia merasa kalau Leoni sudah kelewat batas. Semua orang menjadi musuhnya. Semua orang salah di matanya. “Kenapa di sini?” tanya Leoni. Tangannya memegang nampan berisi dua cangkir kopi. “Eum, lagi nunggu kamu. biar bareng ke bawahnya” dusta Gerald. Dia kembali menggendong Geovani dan membawa anaknya itu turun, menuju tempat tadi ia dipersilahkan menunggu Leoni. Leoni membuang nafas lega. Untungnya pria itu tidak melihat nampan yang bergetar. Itu sungguh memalukan sekali. Saat Leoni sampai di tempat Gerald duduk memanggu Geovani, ia langsung menyodorkan secangkir kopi kepada Gerald. “Diminum, Mas” ucapnya pelan. Gerald melirik sejenak tapi ia langsung mengalihkan pandangannya karena Leoni membalas tatapannya. Wanita itu sengaja menggunakan kata panggilan agar mereka sadar akan jarak mereka sekarang. mereka bukan lagi aku dan kamu yang menjadi kita. Hanya dua orang asing yang pernah bersama namun kini sudah memiliki jalan masing-masing. “Ke sini ada kerjaan atau___” Leoni sengaja menggantung ucapannya. Pertanyaan itu bukan untuknya tapi untuk anaknya. Mereka sudah berjanji saat berpisah bahwa Gerald memiliki hak untuk menjumpai anak mereka kapan saja termasuk membawanya pergi ke tempat Gerald selama itu dalam masa liburan. Gerald tidak boleh mengganggu sekolah Geovani. Masalahnya, kesepakatan itu hanya basa basi. Dia tidak akan pernah rela jika Gerald membawa anaknya apalagi ke rumah yang terdapat wanita penyihir yang dibencinya, Ewie. “Liburan,” jawab Gerald sambil tersenyum. “Bukannya Kamis?” “Aku ambil cuti. Rindu sama anak kesayangan papa,” Gerald menciumi wajah Geovani, membuat anak itu terkikik geli. Leoni tersenyum tapi dia mendecih dalam hati. Anak kesayangan? Pria bisa mengatakan kesayangan pada setiap orang. Kesayangan, artinya tidak tunggal. Sadar juga pria itu kalau anaknya sekarang ada dua. Atau dia sengaja menggunakan kata itu untuk pamer kalau dia memiliki anak dari wanita lain? Tapi bagus juga. Dia memiliki alasan untuk lebih posesif pada Geovani. Toh Gerald bisa bermain dengan anaknya yang lain. anaknya kan ada dua. Atau, mungkin, lebih bagus lagi kalau pria itu membuat anak-anak yang lain sehingga ia bisa benar-benar lenyap dari kehidupan Leoni. Anaknya anak laki-laki, tidak memerlukan Gerald sebagai perestu jika ia menikah nanti. Hanya figur ayah yang bisa ia berikan tapi itupun tidak bisa diandalkan. Dulu saja, dia membagi figurnya pada banyak orang sehingga rasanya, ada atau tidak adanya dia, tidak akan banyak bedanya. “Kamu___tambah cantik” ucap Gerald di sela candanya bersama Geovani. Leoni berdeham lalu melirik jamnya. “Aku harus membuat beberapa tagihan. Jadi, aku ke ruanganku dulu.” Tanpa menunggu sepatah katapun Leoni langsung pergi. Gerald merasa iba pada dirinya sendiri. Sudah ditebaknya kalau ini tidak akan mudah. Leoni bukan wanita pengiba. Meski Gerald bertindak gila dan mengemis maafpun, belum tentu wanita itu akan memberikannya kesempatan kedua. Kenapa Tuhan, batin Gerald. Kenapa Leoni tidak seperti wanita lain yang mau melakukan segala cara untuk mempertahankan rumah tangganya. Ia kemudian tersenyum getir, menambah lagi pertanyaannya. Dan kenapa, aku terlahir menjadi pria yang bisa melihat tapi buta dalam rasa. Bisa-bisanya aku menyadari saat semua telah terlepas dari genggamanku. Seandainya, seandainya saja aku lebih berusaha waktu itu mempertahankan rumah tanggaku maka semua tidak akan seperti ini. Benar kata pepatah, bahwa gelas yang retak tidak akan bisa utuh lagi.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD