Ketika yang Dibayangkan jadi Kenyataan

1033 Words
            “Ehemmm”, terdengar kembali suara yang familiar di telinga Adit. Beberapa temannya nyengir nyengir saja melihat Adit yang masih belum sadar dengan apa yang akan terjadi setelah suara deheman ini berhenti.             “Jam berapa ini Dit, sudah tahu terlambat, masuk juga tidak pakai salam. Berdiri kamu di pojok kelas. Bapak hukum berdiri di sana sampai jam pelajaran Bapak berakhir. Bawa buku dan pulpen, tetap catat materi yang saya berikan hari ini” perintah Pak Yono. Mau tak mau Adit harus menuruti perintah Pak Yono, karena selain memang ia yang salah karena telah terlambat dan tak izin ketika masuk kelas.             Ketika jam pelajaran Pak Yono usai, Adit kembali ke tempat duduknya. Lelah juga ternyata, berdiri satu jam setengah walaupun kadang ia selingi dengan duduk di pojokan ketika Pak Yono sedang lengah dan tidak begitu memperhatikan Adit. Di awal pembelajaran saja Adit sudah merasa amat sangat kelelahan, semoga saja kuat sampai jam pelajaran terakhiir, batin Adit dalam hati. Ia kemudian duduk dan merebahkan kepala di atas meja, berharap guru di jam pelajaran ke dua masuk sedikit terlambat atau tidak usah masuk sama sekali. Kaki Adit pegal karena harus berdiri dalam waktu cukup lama, mending ikut upacara deh sekalian.             Hari ini pun Adit lalui dengan cukup berat, apalagi sejak awal sudah dihujani dengan hukuman sehingga ia malas-malasan untuk berkegiatan hari ini. Apalagi ia lupa membawa uang saku sehingga perutnya berbunyi karena merasa lapar sedari jeda istirahat. Uring-uringan saja Adit hari ini, hingga membuat teman dekatnya menegurnya.             “Elu loyo banget hari ini, kenapa dah?” tanya Joni sambil duduk di dekat Adit.             “Ia Jon, gue kagak beruntung bener hari ini. Mana laper banget lagi gegara kagak bawa uang saku” jawab Adit seraya mengelus perutnya yang rata dan berbunyi sejak tadi efek belum ada makanan yang masuk hari ini. Joni pun tak memiliki banyak uang saku sehingga ia hanya bisa terdiam mendengar penuturan Adit. Mau bagaimana lagi, padahal bila ada uang lebih Joni sebagai teman tentu akan membagi Sebagian uang saku untuk Adit yang terlihat sangat kasihan karena sedang lapar. Adit terkadang juga membantu Joni dengan membagi makanan yang ia punya, namun dalam posisi yang sama-sama sulit sehingga Joni hanya bisa menunduk dan terdiam melihat kawannya tengah menahan lapar.             Waktu sudah menjelang siang, perut terasa semakin melilit dan tentu membuat Adit semakin tak konsentrasi dalam proses belajar di dalam kelas. Setelah menunggu beberapa mata pelajaran kemudian, akhirnya jam pelajaran terakhir pun selesai. Adit benar-benar merasa sangat lemas, tak ada makanan yang saja. masuk sedari pagi tadi. Hanya ada air minum yang ia teguk, itupun pemberian Joni yang kebetulan membawa botol minum yang airnya tinggal setengah. Bergegas Adit menuju parkiran untuk bisa segera pulang. Tak lama ia sudah berada di atas motornya dan kemudian mengemudikan kendaraan roda duanya tersebut untuk menuju ke rumah sesegera mungkin.             “Aduuhhhh, makin perih ni perut” Adit menepikan motor maticnya ke pinggir jalan, tak begitu jauh dari sekolah. Perutnya terasa begitu perih, memang jarang sekali Adit tak sarapan dan tak makan siang sekaligus seperti ini. Kalau saja tak lupa membawa uang saku tentu walaupun ia tak sarapan tapi masih bisa makan siang di kantin sekolah. Ini sudahlah terlambat, tak bawa uang saku, di tambah pula di hukum ketika jam pelajaran pertama tadi. Di bukanya tas sekolah, berharap ada permen atau cokelat yang sekiranya tertinggal di dalam tas. Lama ia mencari-cari namun tak ia temui sesuatu yang bisa ia makan untuk mengganjal perut laparnya. Di balik beberapa buku dan peralatan tulis lainnya ternyata ada sepasang sumpit yang memang Adit letakkan di dalam tas sekolah supaya Adhim tak iseng memainkan barang miliknya. Terkadang Adhim memang suka memainkan barang-barang milik Adit apalagi barang unik yangs ekiranya jarang atau bahkan belum pernah ia temui sebelumnya. Rasa penasaran akan membimbing Adhim untuk meminjam dan memainkan barang milik Adit yang kebetulan atau secara tak sengaja ia temukan.             Adit mengambil sumpit yang ia selipkan di saku tas bagian dalam kemudian emmutar-mutarkannya beberapa kali. Cuaca yang panas ditambah perut yang lapar membuat Adit membayangkan sedang menikmati semangkuk sop buah yang dipenuhi dengan beragam jenis buah-buahan seperti semangka, melon, alpukat, ditambah dengan s**u serta sirup dan tak lupa serutan es batu yang semakin membuat Adit terus meneguk ludah. Apalagi jika ditemani sepiring batagor yang disiram dengan kuah kacang gurih. Duh, sungguh sedap sekali. Adit sempat memejamkan mata beberapa saat selain karena lapar, ia juga lelah. Bagaimana tidak, belajar dalam kondisi lapar tentu membuat Adit harus membutuhkan tenaga ekstra. Tak Lama usai memejamkan mata, Adit membuka mata dan bersiap untuk menjalankan motor kembali agar bisa segera sampai ke rumah.             “Kok kayak ada wangi makanan gitu ya. Lahh, ini mah bau batagor keknya” ujar Adit. Ia mengendus-endus aroma yang sepertinya berada tak jauh dari tempatnya duduk sekarang.             Adit memperhatikan sekitar, tak ada abang-abang gerobakan yang jual batagor. Tempatnya duduk sekarang tak jauh dari pohon besar tempat ia membeli sumpit ajaib kemarin. Tempatnya teduh sehingga enak bila ingin duduk sekadar melepas rasa penat. Akhirnya ia menemukan sumber bau yang awalnya hanya ada dalam pikirannya.             “Astaga, kenapa ada sepiring batagor dan semangkuk sop buah yang snagat amat menggugah selera, siapa yang naruh di sini ya. Lagian di sini kan lagi nggak ada banyak orang” gumam Adit. Adit terus menerus meneguk ludah. Makanan yang tersaji entah dari mana dan untuk siapa itu tersaji dengan indah di samping adit duduk. Tak terlalu dekat tapi hanya Adit yang kebetulan sedang duduk di situ. Di lihat-lihat tidak ada abang penjual sop buah dan juga batagor yang sedang berada di dekat situ. Ia kemudian tersadar, kenapa hal ini terulang kembali. Apa yang ia pikirkan lantas berubah menjadi kenyataan. Sulit dipercaya, namun toh nyatanya ini kenyataan. Berulang kali meyakinkan diri bahwa taka da yang kebetulan, mungkin Tuhan sedang berbaik hati kali ini agar umatnya yang sedang di dera rasa lapar tak kelaparan lagi. Usai emngucapkan syukur di dalam hati, dan berdoa sebelum amkan. Adit menggeser piring dan mangkuk yang telah berada di sampingnya untuk kemudian bersiap menyantap makanan yang tak akan disia-siakan Adit untuk menuntaskan rasa lapar.             Adit makan dengan lahap, tak dipedulikannya orang yang kebetulan lewat memperhatikannya dengan pandangan yang entah apa artinya mungkin antara takjub dan heran melihat anak lelaki berpakaian seragam SMA makan dengan ahap di bawah pohon sendiri.             
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD