Survey Lokasi Benda yang Di cari Pak Suryo

1603 Words
            Keesokan paginya, Adhim sudah bersemangat membangunkan abangnya yang masih asyik bergelung dengan selimut dan guling usai menunaikan shalat subuh. Hawa pagi hari yang dingin dan cukup menusuk kulit membuat Adit semakin terbuai dalam dunia mimipi. Nyak dan bapak tampak sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Khusus hari Minggu bapak memang sengaja untuk tidak mengojek, sedangkan nyak berkutat di dapur guna menyiapkan sarapan untuk semua anggota keluarga. Adit dan Adhim diperbolehkan untuk tidur kembali setelah shalat subuh karena memang waktunya mereka bersantai setelah lima hari sekolah. Hari Minggu memang digunakan untuk bersantai. Bapak bisa membantu nyak berkebun di halaman belang, menyiangi rumput-rumput liar yang bisa mengganggu pertumbuhan tanaman sayuran dan beberapa pohon buah yang di tanam. Lumayan membantu ketika pendapatan sedang tak menentu, hasil dari halaman belakang lumayan bisa sedikit demi sedikit mengurangi pengeluaran belanja harian. Ada daun singkong, daun papaya, daun katuk yang bisa diolah menjadi berbagai jenis menu. Ada cabe, tomat, yang kalau harganya menjadi selangit biasnaya amat sangat membantu. Kemudian ada pisang dan papaya yang bisa diolah dan bisa di makan langsung. Bersyukur sekali karena memiliki sedikit lahan yang bisa digunakan untuk bercocok tanam di belakang rumah. Tidak besar memang tapi cukuplah untuk sekadar menanam beberapa jenis tanaman yang bisa diolah sedimikian rupa untuk membantu memenuhi gizi setiap anggota keluarga di rumah ini. Walaupun rumah kecil namun setidaknya             “Bang, buruan bangun. Kan mau nonton pertandingan bola sama mau ketemu Bang Tora juga bang!” pinta Adhim yang tampaknya sudah sangat tak sabar. Padahal pertandingan bola baru dimulai pukul empat sore, namun biasanya tak sedikit pemain yang sudah bersiap sedari pagi untuk sekadar mengetes lapangan hingga persiapan-persiapan lainnya.             Adit masih asyik memeluk guling, tak ia hiraukan desakan Adhim agar ia bisa segera bangun. Lagi asyik-asyik tidur malah sengaja membangunkan abangnya. Padahal kalau hari libur begini, memang lebih enak santai-santai, bangun siang, lalu tinggal makan siang. Kemudian baring-baring lagi sampai sore.             “Ihh abang, kan abang sudah janji mau temenin Adhim nonton bola” lagi Adhim menggoyang-goyangkan tangan Adit yang masih asyik tidur. Tak ia hiraukan panggilan Adhim, namun karena adiknya masih penasaran ketika melihat Adit yang seakan malas beranjak dari tempat tidur akhirnya membuka mata karena malas mendengar rengekan adiknya yang super   bawel itu.             “Ape sih Dhim. Baru juga jam segini. Mana ada orang di sana” ujar Adit smabil mengucek kedua matanya yang terasa masih berbayang karena dipaksa bangun. Adit kemudian mendudukkan dirinya sebentar sampai benar-benar siap untuk di ajak berkomunikasi.             “Yaelah bang. Kan biar bisa ketemu pemain top kan mesti duluan nyamperin, ni aja pasti bakalan ame bang di sono” ujar Adhim yang ingin cepat-cepat ke lapangan karena ingin cepat-cepat bertemu dengan tokoh idolanya, Bang Tora. Sehebat apakah Bang Tora hingga Adhim benar-benar mengidolakan pemain bola yang katanya sudah cukup punya nama di kampung kami dan juga kampung sebelah. Kepiawaiannya mengoper dan membidik bola ke dalam gawang lawan membuat Bang Tora diidolakan para pemuda tanggung dan juga adik Adit tentunya. Penasaran juga sih sebenarnya dengan sosok Bang Tora yang Adit pun hanya tahu secara sekilas saja, pernah mendengar nama itu di sebut oleh teman-teman sekelas karena pemain bola yang berasal dari kampung kecil bisa naik tingkat hingga menjadi pemain professional. Namanya Adit, ia sama sekali tak begitu suka dengan dunia sepak bola hingga ia tak begitu tahu sosok yang di elu-elukan itu. Adit lebih suka bermain bulu tangkis, dan basket, sedangkan sepak bola ia bisa memainkannya namun tak terlalu antusias untuk ikut mengelu-elukan salah satu pemain sepak bola itu. Adit pun jadi cukup penasaran melihat keantusiasan Adhim yang ingin bertemu dengans eorang pemuda yang bernama Tora, pemain bola andal ujar Adhim.             Akhirnya Adit bangun, dan pergi mandi. Tak lama kemduian Adit dan Adhim sarapan bersama. Bapak dan nyak masih sibuk membereskan rumah, Adit dan Adhim pun ikut membantu. Tak berapa lama kemudian Adit dan Adhim bersiap untuk pergi ke lapangan kampung sebelah. Sengaja Nyak nyiapin bekal biar ada camilan ketika perut sedang tiba0tiba tidak bersahabat, ada air minum juga yang di taruh di sebuah botol minum berukuran sedang. Nyak selalu memperhatikan masalah perbekalan kalau memang anak-anak mau pergi ke sekolah ataupun kemana saja, kalaupun tak sempat membawa bekal antara nyak yang tidak sempat membuatkannya atau si anak yang lupa membawa bekalnya sendiri. Adit dan Adhim kemudian pamit, waktu sudah menunjukkan hampir pukul sembilan pagi ketika mereka berdua pamit, karena di rasa perjalanan cukup jauh dan akan sangat melelahkan bila di tempuh hanya dengan berjalan kaki saja. Adit menghidupkan mesin motor yang usianya sudah tak muda lagi namun tetap terlihat terawat kemudian memanaskan mesin roda dua dulu sejenak sebelum di gunakan. Bapak dan Nyak tutur mengantar sampai di depan pintu, kebetulan pekerjaan mereka berdua tampaknya sudah selesai.             “Nyak, Pak, kami berangkat dulu ya, Assalamualaikum” ujar Adit sambil melajukan motornya perlahan.             “Ia nak, hati-hati di jalan ya. Adhim jangan jauh-jauh dari abang ye, ntar malah tersesat lagi” tutur nyak memperingatkan Adhim agar berada tak jauh dari abangnya bila ada di tempat yang ramai seperti lapangan bola. Tentu di sana akan ada banyak warga yang ingin ikut melihat pertandingan, ada pula yang menjual berbagai jenis jajanan dan minuman hingga mainan layaknya pasar malam yang ramai akan penjual dan pembeli. Apalagi bertepatan dengan hari libur, bisa dipastikan pengunjung akan membludak, tumpah ruah dipenuhi dengan berbaagai macam pengunjung. Tak lupa Adit membawa hape yang baru saja ia dapatkan berkat sumpit ajaib yang sungguh luar biasa, tak henti Adit mengucap syukur dalam hati karena Tuhan nengirimkan benda ajaib yang bisa membuat Adit sedikit demi sedikit mewujudkan keinginan yang tak hanya terbatas dengan apa yang ia bayangkan saja. Namun ia juga harus behati-hati karena apa yang di bayangkan bila tidak tepat pun mesti akan menjadi kenyataan pula, sepertinya begitu mekanisme penggunaan sumpit ajaib yang dimiliki oleh Adit.             “Bang, hape abang yang bagus ntu dah abang bawa kan, jangan lupa loh bang” ujar Adhim sambil mengingatkan. Ia tak ingin momen penting yang ingin ia abadikan tak terjepret secara sempurna karena hape mahal nan bagus milik abangnya tersebut tertinggal.             “Tenang aje, udah abang bawa. Nih dalam tas” ujar Adit sambil menunjuk ke arah tas selempang yang sedang ia kenakan saat ini.             “Hana hari ini ada agenda apa?” tanya papa kea rah Hana yang sedang memotong roti bakar dengan emnggunakan garpu dan pisau.             “Kayaknya DI rumah aja sih pa. Papa mau ngajak Hana jalan ya?” tanya Hana sambil memamerkan susunan giginya yang rapi dan terlihat putih bersih. Di bagian depan terdapat dua gigi yang lebih panjang daripada sisi lainnya, mirip seprti gigi kelinci .             Papa Hana berniat mengajak Hnaa ke lokasi tempat mereka akan pindah. Lumyan jauh dari pusat kota sekarang, di sana adalah tempat yang tidak masuk area kota, bisa di sebut dengan istilah kampung namun bukan kampung yang terpencil karena ada akses sekolah, jalan yang cukup baik, beberapa minimarket walaupun bukan supermarket besar di kota-kota besar. Ia ingin agar Hana tidak kaget ketika sebentar lagi akan pindah ke tempat yang akan ia tunjukkan nanti itu. Tempatnya lumayan jauh hingga membutuhkan beberapa jam untuk bisa sampai ke lokasi yang dituju.             Papa Hana mengajak Hana beserta istri untuk mengecek lokasi, namun ia masih ragu apakah ebnar apa yang ia cari ada di sana. Sehingga ia maish menunda rencananya itu untuk mengajak kedua orang kesayangannya untuk mencoba mendatangi tempat yang mungkin akan menjadi lokasi tempat mereka tinggal untuk beberapa tahun ke depan.             Papa Hana menyuruh orang kepercayaannya untuk mengecek keberadaan benda yang ia cari hingga saat ini. Butuh waktu cukup lama untuk bisa mendeteksi keberadaan benda yang akan menjadi pencarian terakhir dalam usaha bisnis barang-barang antic yang biasa di impor dan ia ekspor itu. Papa Han sudah mulai ingin untuk menikmati hasil jerih payahnya tanpa harus bersusah-susah bekerja lagi. Cukuplah dengan memiliki benda itu saja, maka apapun yang ia inginkan bisa ia dapatkan. Sayangnya ia masih harus banyak bersabar agar bisa mendapatkan benda yang sedang ia cari tersebut, anak buahnya masih terus mencari agar bisa menemukan keberadaan benda yang ia cari. Menurut penerawangan dan penyelidikan yang mendalam melalui beberapa orang kepercayaannya yang juga bekerja sama dengan para ‘orang yang di anggap pintar’untuk bisa membantu menemukan apa yang ia cari selama ini. Barulah di dapat dan di arahkan untuk mencari di sekitar lokasi yang sudah ia canangkan akan menjadi tempat tinggal selanjutnya. Bahkan niatan untuk kepindahan sekolah Hana yang awalnya di tentang oleh Hana namun dengan bujukan dan memberikan apa yang anak gadisnya inginkan, akhirnya Hana pun mau untuk menuruti keinginan sang Papa. Hana memang tipikal anak yang harus bisa mengambil hatinya agar ia menuruti apa yang kita inginkan, namun sebagai orang tua papa dan mama Hana menekankan juga untuk tidak mudah percaya dnegan orang lain dan selalu berusaha untuk menjaga diri dari orang dan perilaku buruk yang sering terjadi di usia belasan seperti Hana. Untunglah sampai saat ini taka da keluhan berarti dari seorang Hana hingga anak perempuannya itu masih bisa di kontrol dengan baik.             Papa Hana kahirnya berangkat meninjau lokasi bersama anak buahnya, karena belum bisa mengajak anak dan istri untuk ikut mengecek kesiapan selama di tempat yang baru. Papa Hana harus benar-benar meyakinkan diri bahwa di sanalah tempat, ia akan mulai pencarian dari sudut ke sudut perkampungan yang terletak di pinggiran kota ini. Untungnya di sini ada sekolah menengah umum yang bisa menjadi sekolah Hana, walaupun bukan sekolah bergengsi seperti sekolah asal tempat Hana menuntut ilmu sebelumnya.             Butuh waktu sekitar tiga jam untuk bisa sampai ke lokasi yang di tuju, sebuah perkampungan di tepi kota yang asri namun tak terlalu ramai layaknya di pusat kota. Entah seperti apa respon istri dan anaknya kelak bilat ahu lokasi kepindahannya nanti jauh dari fasilitas yang biasa mereka gunakan. Jauh dari mall, supermarket hingga salon kecantikan.                                       
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD