Dilema Ketika Harus Pindah (lagi)

1020 Words
            Merasa bersalah karena menyuruh ketiga lelaki kesayangannya untuk mencoba memasak atau membeli menu makan malam, namun di sisi lain nyak juga merasa lucu akan seperti apa hasilnya bila menyeerhakan urusan lidah keada para lelaki yang berada di rumah ini. Ingin rasanya memasak di dapur, namun kewajiban yang harus nyak selesaikan bisa terlaksana dengan baik, apalagi kalau bukan upah yang akan di terima tentu menjadi penyemangat tersendiri bagi nyak untuk sedikit membantu suami tercinta memenuhi kenutuhan sehari-hari.             “Cak, beli sate tujuh puluh rebu yak” ujar Adit sambil menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan yang bapak berikan ke dirinya dan uang lima puluh ribu, sisa uang yang masih ada di tangan Adit. Alhamdulillah, dengan nominal yang di beli seperti itu sepertinya akan sangat cukup untuk mereka makan berempat. Tak lama kemudian, pesanan Adit telah jadi, ia kemudian melajukan roda duanya untuk menuju ke rumah. Perutnya pun terasa sudah lapar, karena makan siang telah terlwati beberapa jam yang lalu ketika ia sedang istirahat. Akhirnya, beberapa saat kemudian Adit telah sampai di rumah.             “Assalamualaikum, Adit pulang” ujar Adit sambil menenteng sekeresek sate ayam yang cukup banyak.             “Waalaikum salam” ujar nyak, Adhim dan bapak hampir berbarengan.menjawab salam dari Adit. Terlihat bungkusan yang Adit bawa di letakkan di atas piring, tampaknya pekerjaan nyak sudah selesai atau mungkin beristirahat dulu sejenak sebelum melanjutkan mengerjakan jahitan.             “Lahh, kok banyak amat Dit. Emang ini dua puluh rebu yak belinya?” tanya bapak ketika melihat nyak membuka bungkusan sate yang terlihat cukup banyak untuk ukuran seharga dua puluh ribuan.             “Emmm, ini. Tadi Adit ketemu temen Adit, ehh terus di tambahin gitu pak” ujar Adit sambil berlalu ke dapur untuk mengambil sesuatu.             Adhim tak ambil pusing, ia menyerahkan piring ke nyak untuk diisikan nasi, nyak dan bapak pun melakukan hal yang sama. Walaupun mungkin mereka bertanya-tanya dan amsih penasaran mengapa Adit bisa seberuntung itu.             Mereka berempat makan dengan lahap, apalagi Adit yang memang suka sekali dengan menu sate yang rasanya gurih dnegan siraman sambal kacang kental yang tentu menggugah selera.Lumayan banyak sate yang Adit beli sehingga semua anggota keluarga bisa menikmati. Senang rasanya bisa melihat mereka makan dengan lahap, Adit pun makan dengan lahap pula karena melihat semua anggota keluarga makan dengan lahap juga, raasanya makanan apapun yang di makan bersama-sama akan terasa lebih nikmat. Tak perlu makanan mahal, makanan sederhana pun sudah cukup asal di nikmati bersama orang-orang terkasih. Tak terasa puluhan tusuk sate tandas, yang tersisa hanya tusuk sate dan keresek pembungkusnya saja.             “Alhamdulillah bisa makane nak hari ini” ujar Adhim sambil mengelus perutnya yang membuncit usai makan sate dengan amat sangat lahap. Nyak dan bapak tersenyum melihat tingkah Adhim itu.             “Udeh bilang makasih kan yak sama temen lu Dit, Alhamdulillah puas kita makan sate. Kalo cumin ngandelin uang yang bapak kasih mungkin kita kagak bakal sekenyang ini” ujar bapak menambahkan.             “Udeh dong pak. Adit mah kagak pernah lupa ngucapin etrima kasih ke orang yang sudah berbaik hati membantu Adit” ujar Adit sedikit jumawa.             Usai makan, mereka berempat bahu membahu membantu untuk membereskansisa makan malam. Adit dan Adhim membawa piring bekas makan ke belakang dan langsung mencucinya, nyak menyapu lantai yang mungkin saja ada tertinggal nasi dan remahan makanan lain yang akan mengundang semut dan sebangsanya sedangkan bapak membuang sampah bekas makan ke depan rumah. Jarak beberapa rumah ada tong sampah berukuran sedang yang digunakan untuk menampung sampah penduduk yang akan dikumpulkan di bak sampah yang lebih besar dan selanjutnya akan di bawa ke penampungan akhir. Koordinasi antara pemangku daerah sangat berkesinambungan sehingga lingkungan tempat Adit tinggal, bersih dan juga tertata dengan rapi.             “Hana, makan malam dulu, papa sudah nunggu tuh” ujar mama Hana di balik pintu. Tak lama kemudian Hana membukakan pintu kamar kemudian menuju ruang makan bersama mama. Di atas meja telah tersedia banyak makanan, seperti biasa ada beberapa jenis lauk, sayur-sayuran dan juga buah-buahan segar. Setelah Hana dan mama datang, mereka makan malam bersama. Tenang dan hanya ada sesekali celetukan, karena papa Hana tak suka kalau di meja makan malah berbincang-bincang. Tidak sopan menurutnya. Masing-masing makan dengan tenang, bahkan denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring sebisa mungkin diminimalisir.             Usai makan maalam, Hana kembali ke kamar. Ia hendak mengeck profil sekolah yang kata papa akan menjadi sekolahnya sebentar lagi. Perlahan-lahan Hana mengamati gambar sekolah, lingkungan sekolah dan penjelasan mengenai sejarah sekolahnya itu.             “Ihh kayaknya kampungan banget ni sekolah, bangunannya aja masih kek gini” ujar Hana sambil menatap malas ke layer hape yang tengah ia buka untuk mencari informasi seputars ekolah yang papanya bilang akan menjadi sekolah terakhir sebelum Hana berstatus menjadi anak kuliahan nanti.             Bangunan yang tidak semegah bangunan sekolah Hana sekarang, warna cat sekolah yang mulai memudar hingga bangunan yang tampak seperti bangunan tua, Hana bergidik. Masa ia harus sekolah di tempat yang kualitasnya kurang baik speerti itu. Memang lingkungan sekolahnya asri dengan banyaknya pepohonan yang mengitari di bagian sisi sekolah, tampak bersih juga walaupun bukan bangunan baru. Hana kemudian berbaring, membayangnkan suasana sekolah yang seperti itu tentu ia berpikir akan seperti apakah teman sekolahnya kelak. Semoga saja ia bisa beradaptasi dengan baik dan bisa berbaur bersama masyarakat di kampung itu. Ingin sekali masih menato di sini, namun anmanya papa sudah berkehendak maka emmang harus di ikuti agar semua aman terkendali, pernah suatu hari mama sempat menolak usulan papa ketika pindah beberapa tahun lalu, yang ada mama malah di diamkan oleh papa. Uang belanja dan kebutuhan mama dikurangi hingga mau tak mau mama pun luluh karena berkaitan langsung dengan hajat hidup mama yang setelah Hana pahami, ia memiliki sifat seperti mama yang ingin selalu memiliki segalanya, mama pun sama. Suka dengan barang-mahal mahal, persis sekali dnegan Hana. Memang istilah buah jatuh tak jauh dari pohonnya itu benarlah adanya, sebba mama dan Hana pun memang benar-benar setipe, yang mirip papa adalah keras kepala Hana dan sikap tak mau kalah. Ingin selalu menjadi yang terdepan.             Hana masih inngin berada di tempat ini, sekolah dan bertemu dnegan teman-temannya seperti biasa, namun keinginan papa yang ia tahu takkan bisa di tolak membuat Hana menguatkan hati agar sanggup menjalani kehidupan setelahnya, apalagi bukan hanya Hana yang keberatan tapi mama juga.                                                                         
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD