Pendidikan Adit Kelak

1045 Words
“Bos, kami sudah dapat kemajuan seputar benda yang kita cari itu” ujar anak buah Pak Suryo yang baru saja mendatangi bosnya untuk memberikan informasi penting yang memang baru saja di dapat. Perkembangan barang yang mereka cari memang harus selalu di laporkan secara konsisten agar bisa segera menemukan titik terang. Pak Suryo mengangguk beberapa kali, mendengarkan dengan saksama apa yang disampaikan oleh anak buahnya tersebut. Semakin cepat maka akan semakin baik karena akan menambah pundi-pundi kekayaan yang akan di dapatkan. Proyek kali ini amat sangat menggiurkan, nominal uang yang akandi dapatkan sungguh besar hingga Pak Suryo rela pindah untuk semakin memudahkan mobilitas para anak buahnya untuk mencari benda yang berharga mahal tersebut. “Hana, nanti mau kuliah di mana? Kan sebentar lagi kamu lulus sekolah?” tanya mama Hana ketika sedang ada kesempatan ketika mengobrol dengan Hana. Keinginan orang tua Hana ingin memasukkannnya ke universitas terbaik di luar negeri namun Hnaa sepertinya ingin menempuh perkuliahan di Indonesia saja, walaupun dengan konsekuensi harus berjauhan karena tempat tinggal sekarang yang cukup jauh dari pusat pendidikan tinggi seperti universitas. Untuk menuju salah satu universitas terbaik saja harus di tempuh beberapa jam dari sini. “Gampang lah ma, nanti Hana pikirin lagi” padahal sebenarnya Hana belum terlalu memikirkan bagaimana kelanjutan pendidikannya nanti. Semuanya akan dengan mudah ia dapatkan, di manapun Hana inginkan bisa jadi kenyataan. Jelas saja semua akan menjadi mudah karena semuanya telah di miliki oleh Hana, bahkan untuk memilih di mana kelak akan berkuliah tentulah hal yang sangat mudah bagi dirinya. Memilih di manapun tempat kuliah nanti, baik dengan harga yang mahal sekalipun tak akan menjadi masalah. Memiliki pendapatan dan pemasukan yang cukup besar membuat apa saja yang Hana inginkan akan dengan mudah menjadi kenyataan tak seperti anak-anak lain yang sebagian kesulitan dalam menjadikan kenyataan apa yang diinginkan. Oleh karena itulah, Hana beruntung memiliki orang tua yang berlebih dalam kehidupan walaupun memang orang tuanya memiliki kesibukan sehingga tak bisa menemani seperti orang tua kebanyakan, misalnya orang tua Adit yang begitu hangat. Memiliki banyak waktu untuk di habiskan bersama anak-anak dengan segala keserhanaan yang dimiliki, “Mau makan dulu pa” tawar mama Hana ketika melihat sang suami baru saja keluar dari ruangan kerjanya. Setelah sebelumnya dua kaki tangan Pak Suryo keluar lebih dahulu keluar. Cukup lama mereka bertiga berada di dalam. Sang istri seperti biasa tak banyak tahu secara mendalam mengenai apa yang dikerjakan oleh sang suami, yang ia tahu bahwa suaminya bekerja di bidang penjualan barang-barang antik. Pekerjaan yang memang telah di geluti cukup lama, pekerjaan yang telah membuat keluarga ini tercukupi dengan amat sangat layak, dari segi manapun. Segala gelimangan harta yang membuat Hana terbentuk menjadi pribadi yang keras kepala, sulit di bantah hingga apapun yang menjadi keinginannya harus menjadi sebuah kenyataan. Hana sedang berada di kamarnya. Memainkan ponselnya dan tentu saja mencari sebuah nama untuk ia hubungi. Siapa lagi kalau bukan nama Adit yang akan ia hubungi. Biasanya mereka saling berbalas pesan dalam jangka waktu yang cukup lama, terutama di malam hari karena Adit beralasan ia hanya bisa lebih leluasa menggunakan ponselnya ketika malam hari. Adit sendiri memang hanya menggunakan ponselnya untuk keperluan yang penting sjaa, maklumlah karena ia memang merahasiakan pnsel yang ia miliki. Bisa menjadi sebuah masalah besar apabila kedua orang tuanya tahu, apalagi jika lebih banyak orang yang tahu. “Kamu nanti bakal kuliah di mana Dit?” tanya Hana ketika mereka sedang asyik berkirim pesan. Hana merasa nyaman ketika berkomunikasi dengan Adit, memang ada banyak teman-temannya yang lain namun entahlahlah rasa nyaman itu seakan sulit ia dapatkan dari yang lainnya. Sekadar teman tentu saja banyak yang mau berteman dengan Hnaa, namun teman yang tulus, tanpa embel-embel apapun. Setelah pindah ke daerah ini, Hana pun jauh merasakan iklim berbeda di bandingkan. “Ya, maunya kuliah Han tapi ya liat kondisi keuangan nyak dan bapak juga sih, kasihan mereka kalau aku mau kuliah tapi dananya kurang” ujar Adit. Ia sendiri tak memaksakan apabila memang belum ada ya mau bagaimana lagi. Kuliah memang menjadi sesuatu yang mahal bagi Adit, apa yang ia inginkan sebenarnya adalah juga keinginan Nyak dan Bapak. Tanpa Adit tahu bahkan mereka berdua sudah jauh-jauh hari untuk menyisihkan uang untuk persiapan masuk kuliah Adit, namun terkadang uang yang ada hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Perjuangan orang tua untuk memberikan pendidikan tinggi dan jauh lebih layak dibandingkan dengan orang tuanya yang tak sampai bangku perkuliahan. Esok adalah hari minggu sehingga Adit dan Hana asyik berbalas pesan hingga larut malam, tampak Adhim yang telah terlelap karena asyik bermain dengan teman-temannya. Main layng-layang di lapangan kampung sebelah. Masa kecil yang menyenangkan, tanpa banyak ebban. Semakin dewasa maka akan semakin banyak pula permasalahan yang akan mendera. Adit beberapa kali memandangi Adhim, ia jadi memikirkn kelak adiknya apa akan hidup seperti dirinya yang berada di tengah kebimbangan untuk bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. “Abang akan bahagiain Adhim, Nyak sama Bapak nanti” gumam Adit dalam hati. Ia memandangi sang adik yang tampak terlihat nyenyak sambil memeluk guling. Mereka berdua tidur di kasur ukuran nomor tiga yang sudah tak begitu empuk lagi. Kasur yang tak memiliki rangka karena langsung mengenai lantai yang dilapisi tikar. Rumah sederhana yang keluarga Adit tempati adalah rumah sederhana yang tak begitu luas namun memiliki halaman belakang yang cukup besar sehingga bisa digunakan untuk bercocok tanam. Lumayan cukup membantu ketika uang yang di dapat bapak tak seberapa dari mengojek maka makan dengan lauk sekadar tahu tempe dan lalapan sayur yang di dapat dari kebun kecil di belakang rumah. Usai memutuskan untuk menyudahi perbincangan mereka berdua, Adit pun berusaha memejamkan mata. Teringat beberapa celotehan teman-teman sekelasnya dan juga beberapa teman di kelas yang berbeda. “Lah, masa elu kagak nyadar Dit, si Hana kayaknya naksir ma elu deh” celetuk Rian. Diiringi anggukan kepala Joko, teman sekelas Adit. Belum lagi ucapan Dito dan Hadi yang mengungkapan hal serupa seperti beberapa teman lain. Apakah benar Hana menyukainya, kalau iya mengapa Adit tidak sadar akan hal itu, namun beberapa kali ia menyingkirkan kabar burung yang membuat Adit seolah di atas angin walaupun sebenarnya ia pun tak ingin banyak berharap yang justru akan membuatnya kecewa, namun tak ditampik bahwa ada rasa ketertarikan antar lawan jenis yang normal dialami oleh anak seusia Adit dan juga Hana. Apalagi mereka berdua memiliki paras dan kepribadian yang sama-sama menyenagkan sehingga membuat keduanya cocok.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD