Menolak untuk Menerima

1076 Words
Flavia meninggalkan hotel dengan penampilan yang tidak karuan. Rambutnya yang biasa rapi kini acak-acakan. Flavia berjalan menunduk seperti orang yang kehilangan arah. Sepatu high heels yang tadi dia kenakan kini dijinjing. Wanita itu melangkah sempoyongan. Flavia kehabisan tenaga karena terlalu banyak menangis. Suara klakson yang diiringi sorot terang membuat Flavia mengangkat kepalanya. Wanita itu kini ada di tengah jalan. Ia melebarkan kedua matanya ketika ada mobil dihadapannya. Flavia segera memeriksa lampu jalan. Betapa kagetnya wanita itu ketika melihat warna lampu masih hijau. "Astaga, apa yang aku lakukan? Bagaimana bisa aku menyebrang jalan saat lampu berwarna hijau." Flavia mengelus d**a. Karena kecerobohannya, hampir saja ia kehilangan satu-satunya nyawa yang ia miliki. “Maaf,” ucap Flavia sebelum minggir. Flavia memandang mobil sedan hitam yang melintas di hadapannya. Kaca belakang mobil itu terbuka hingga membuat Flavia bisa melihat seseorang yang ada di dalamnya. Lampu berubah merah dan mobil itu berhenti. Flavia hanya mematung melihat pria yang ada di dalam mobil tersebut. Pria itu terlihat sedang sibuk memainkan laptop yang ada dihadapannya. Ia bahkan tidak peduli dengan Flavia yang sejak tadi memperhatikannya dengan saksama. Alberto baru saja keluar dari mobil. Dia berlari ketika melihat Flavia berdiri di pinggir jalan. Langkah Alberto terhenti ketika melihat wajah pria yang ada di dalam mobil hitam. “Paman Fedric? Apa itu Paman Fedric?” gumam Alberto di dalam hati. Ia berlari lagi agar bisa menyapa pria yang ada di dalam mobil. Namun, lampu telah berubah hijau. Mobil itu kembali melaju cepat sebelum Alberto berhasil mendekat. Alberto memperhatikan mobil itu hingga jauh. “Apa benar itu Paman Fedric? Bukankah dia ada di luar negeri?” gumam Alberto lagi. Ia tersadar ketika melihat Flavia berdiri sambil melamun. Pria itu menghela napas sebelum memeluknya dari belakang. "Via, Sorry!" Tiba-tiba kedua tangan yang begitu dingin melingkar di perut Flavia. Wanita itu kaget. Ketika sadar kalau yang memeluk adalah Alberto, Flavia berusaha melepas pelukan pria itu. "Kenapa kau mengikutiku?” ketusnya dengan wajahtidak suka. "I love you. I love you so much." Alberto tidak bergeming dengan penolakan Flavia. Ia sangat mencintai wanita itu dan tidak ingin kehilangan. Pelukannya semakin erat ketika Flavia ingin melepasnya. "”Cukup Alberto! Jangan katakan kau mencintaiku! Kau bersenang-senang dengan wanita itu tadi. Sekarang dengan mudahnya kau bilang kalau kau mencintaiku?" “Sayang, kau tidak tahu cerita sebenarnya. Ini hanya salah paham.” “Lepaskan, Alberto!” Flavia terus berusaha agar pelukan itu terlepas. Namun, pelukan Alberto memang sangat kuat. Hingga akhirnya Flavia memilih diam dan menyerah. "Aku membutuhkan sesuatu yang tidak bisa aku dapatkan darimu," bisik Alberto mesra hingga membuat Flavia merasakan udara hangat di telinganya. Kedua matanya terpejam karena kesal. Ia berusaha kembali tenang. Baginya percuma saja berteriak. Alberto tetap tidak akan melepaskannya. "Apa maksudmu?" tanya Flavia dengan nada yang mulai rendah. Tidak ada lagi emosi di raut wajahnya. Alberto memutar tubuh Flavia. Ia mengusap pipi wanita itu dengan lembut dan penuh cinta. "Bahkan untuk menciummu saja aku takut," ucap Alberto sambil mengusap bibir merah Flavia yang sangat menggoda. Rasanya ingin sekali Alberto menerkam kekasih kecilnya detik itu juga. Tapi dia tidak sejahat itu. “Alberto, katakan saja sebenarnya apa yang ingin kau sampaikan!” ketus Flavia lagi. “Jika tidak ada yang dibicarakan lagi, aku akan pergi.” "Aku pria normal. Aku menginginkanmu. Tetapi, aku tahu kalau kau belum siap. Maka dari itu setiap kali aku menginginkannya, aku selalu membayar w************n itu. Tidak ada ikatan apapun antara kami. Bisa di bilang semua yang kau lihat, hanya sebuah bisnis. Dia butuh uang aku butuh …." Tidak tahu kenapa tiba-tiba saja Flavia merasa lelah. Kedua kakinya tidak sanggup berdiri. Kedua matanya terpejam sebelum tubuhnya terhuyung ke depan. Bahkan kalimat yang diucapkan Alberto tidak sepenuhnya dia dengar. "Flavia, apa kau baik-baik saja? Baby." Alberto segera menangkap tubuh kekasihnya. Ia mengangkat tubuh mungil Flavia ke dalam gendongannya. Wajahnya terlihat sangat khawatir. Alberto segera berlari ke mobil yang terparkir di pinggiran jalan. "Baby, bangun. Kenapa kau bisa sampai seperti ini!" Supir yang sejak tadi menunggu kedatangan Alberto membukakan pintu belakang. Alberto segera membawa Flavia masuk ke dalam mobil. Bersamaan dengan itu sang supir juga masuk dan duduk di balik kemudi. "Tuan muda, kita mau ke mana?" "Pulang ke rumah!" jawabnya cepat. Tanpa banyak protes lagi supir itu melajukan mobilnya menuju rumah utama keluarga Alexander. *** Waktu berlalu dengan begitu cepat. Flavia membuka kedua matanya ketika merasakan udara sejuk menyelimuti wajahnya. Ia menggerakkan tubuhnya untuk menyingkirkan selimut yang membuat tubuhnya mulai gerah. Kedua matanya mengerjap beberapa kali sambil memperhatikan plavon rumah yang kini tersaji di hadapannya. "Aku ada di mana?" Flavia beranjak dari tempat tidur tersebut. Dia memperhatikan pakaian yang kini dikenakan. Piyama warna biru muda dengan ukuran yang pas dengan tubuhnya. Motifnya cantik hingga membuat Flavia suka dengan piyama itu. Namun, dalam hitungan detik Flavia kembali sadar. Dia mengingat semua yang terjadi tadi malam. Flavia meremas piyamanya karena membayangkan pakaian yang ia kenakan telah diganti seseorang. Wajahnya semakin marah ketika membayangkan tubuh polosnya di lihat oleh Alberto. "ALBERTO! KELUAR KAU!" teriak Flavia histeris. Ia merasa tidak nyaman lagi berada di atas tempat tidur. Dengan wajah penuh emosi, Flavia berjalan ke arah pintu. Ia ingin segera keluar dan meninggalkan kamar tersebut. Pintu terbuka lebih dulu sebelum Flavia berhasil menggenggam handlenya. Alberto muncul dengan pakaian yang sangat rapi. Kemeja peach dengan dasi warna hitam. Melihat wajah Alberto muncul di hadapannya, Flavia menarik dasi pria itu dengan geram. " Apa yang kau lakukan!" teriak Flavia dengan penuh emosi. Alberto merasa tercekik ketika dasi itu di tarik Flavia dengan kasar. Ia mengangkat tangannya berharap ada ruang di lehernya untuk bernapas. "Flavia sayang, apa kau ingin membunuhku?" Flavia segera melepas dasi Alberto. Dengan napas terputus-putus Flavia memalingkan wajahnya. "Kenapa kau membawaku ke sini? Di mana ini? Kenapa kau mengganti pakaianku tanpa izin dariku?" Alberto tersenyum. Kini ia tahu apa yang sudah membuat kekasihnya marah. "Ini rumahku. Lebih tepatnya rumah kita ketika sudah menikah nanti. Dan soal pakaianmu. Pelayan wanita yang menggantinya. Bukan aku. Tadi malam kau pingsan. Kata dokter hanya kelelahan jadi aku membiarkanmu istirahat di kamar ini. Apa kau suka kamarnya?" Flavia memandang wajah Alberto dengan tajam. "Jangan bersikap seolah di antara kita tidak terjadi apa-apa. Aku masih belum memaafkanmu!" Alberto terlihat kecewa mendengarnya. Ia meraih tangan Flavia dan menggenggamnya dengan erat. "Aku sudah menjelaskan semuanya. Flavia, aku janji tidak akan seperti itu lagi. Maafkan aku. Aku khilaf. Please, maafkan kesalahanku." Ini pertama kalinya Alberto melakukan kesalahan. Pria itu merasa sangat percaya diri kalau kekasihnya pasti akan memaafkan kesalahan yang sudah ia perbuat. "Apa kau mau memaafkanku, Baby?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD