Ketahuan

1132 Words
Langit kembali dipenuhi dengan taburan bintang yang indah. Flavia terlihat bersemangat setelah ia berhasil menyelesaikan pekerjaannya. Bahkan rasanya wanita itu tidak sabar untuk melepas seragam hotel yang kini ia kenakan. Dia ingin segera bertemu dengan Alberto. Malam ini mereka sudah mengatur pertemuan di sebuah cafe. Flavia ingin menceritakan tentang kehidupannya yang baru. Ia terlihat tidak sabar. Rasanya setiap detiknya terasa sangat lama. "Dia pasti akan membawakanku hadiah. Biasanya saat pulang dari luar kota dia selalu membawakanku hadiah." Flavia cukup percaya diri malam itu. Memang seperti itu karakter Alberto. Pria itu akan membelikan oleh-oleh untuk Flavia setiap kali dia pergi ke luar kota atau ke luar negeri. Walau terkadang hadiah yang ia berikan tidak terlalu mahal, tetapi Flavia selalu menerimanya dengan penuh rasa syukur. “Aku ingin akan mengganti pakainku dengan gaun putih yang tadi aku beli,” gumamnya lagi dengan wajah berseri. "Flavia, apa kau bisa mengantarkan pesanan ini ke kamar 185?" perintah seorang pria yang tidak lain adalah atasan tempat Flavia bekerja. “Setelah ini kau sudah boleh pulang.” Pria itu membuat Flavia tersadar dari lamunannya. Dia memandang gelas dan kain yang ada di tangannya sebelum memandang atasannya itu. "Baik, Tuan." Flavia meletakkan gelas yang sudah mengkilap. Dia ingin segera menyelesaikan pekerjaan terakhirnya itu agar bisa segera pulang. Karena hanya tamat SMA, Flavia hanya bisa bekerja di sebuah hotel sebagai waitress. Dengan rok selutut dan kemeja biru ia terlihat nyaman dengan pekerjaannya. Hotel yang ia tempati juga hotel kelas atas. Sudah pasti gajinya cukup lumayan. Flavia merasa sangat beruntung bisa bekerja di hotel tersebut. Setibanya di depan kamar bernomor 185, Flavia kembali mengatur ekspresi wajahnya. Dia menghirup oksigen yang ada di sekitarnya beberapa detik sebelum mengetuk pintu kamar tersebut. Flavia tersenyum ramah agar terlihat profesional. Tidak butuh waktu lama, pintu kamar terbuka. Seorang wanita dengan handuk kimono menyambutnya di depan sana. Wanita itu juga mengukir senyuman ramah. "Masuklah." Flavia menunduk sejenak. "Baik, Nona." Wanita itu memberikan jalan kepada Flavia. Ia membiarkan pintunya terbuka karena merasa Flavia tidak akan lama ada di sana. Flavia berjalan dengan santai ke arah sofa yang ada di dekat jendela. Baru beberapa meter masuk ke dalam kamar, Flavia sudah di buat kaget. Di kamar itu, dia melihat tubuh pria yang sangat ia kenali. Pria itu membelakanginya seperti sedang mengancing kemejanya satu persatu. “Alberto?” lirihnya di dalam hati. "Aku harus bertemu dengan gadis kecilku. Dia akan marah jika aku datang terlambat," ucap pria itu sebelum mengambil jam yang tergeletak di atas sana. “Aku akan menghubungimu lagi nanti.” “Baiklah Honey,” jawab wanita tadi dengan senyuman manis. Flavia merasa tenggorakannya kering. Suaranya hilang dan tubuhnya gemetar. Bahkan nampan yang ia genggam gemetar seperti ada gempa di sana. Kedua matanya bergerak ke arah tempat tidur yang acak-acakan. Seperti baru digunakan untuk bergulat di sana. "Kenapa kau tidak meletakkannya di sana!" Wanita tadi terlihat tidak suka dengan Flavia yang terkesan mengamati tubuh Alberto secara diam-diam. "Maaf!" jawab Flavia singkat. Alberto segera memutar tubuhnya saat mendengar suara Flavia. Betapa kagetnya dia ketika melihat gadis kecilnya ada di dalam kamar tersebut. Memakai pakaian seragam waiters dan dalam keadaan menahan marah. "Baby," celetuk Alberto masih dengan ekspresi tidak percaya. Flavia meletakkan minuman itu begitu saja di atas meja. Untuk sejenak ia melupakan sikap profesionalnya. Ia merasa sakit hati dan kecewa. Bahkan dia ingin berteriak. Namun, bibirnya seperti bisu. Flavia tidak mampu mengatakan satu katapun saat itu. Dengan segera ia berbalik untuk meninggalkan Alberto. Bahkan ia tidak mau meminta maaf ketika tanpa sengaja ia menabrak tubuh wanita seksi tersebut. “Hei, apa yang kau lakukan?” protes wanita itu tidak suka. "Flavia, tunggu!” Alberto memegang tangan Flavia. Ia tidak mau Flavia pergi begitu saja. Sorot matanya menatap wanita seksi itu dengan tatapan kesal. Seolah-olah kesalahan ini wanita itu yang buat. "Pergi dari sini Angel? Tinggalkan kami berdua!" ketusnya dengan rahang mengeras. "Baiklah," jawab Angel tanpa mau protes lagi. Ia mengambil mantel dan tasnya sebelum pergi meninggalkan kamar tersebut. Flavia merasa sesak. Entah sejak kapan ia memiliki sakit asma. Tapi, sesak itu benar-benar sangat menyakitkan. Seperti ada yang terluka di dalam hatinya. Tapi, tidak tahu kenapa bibirnya masih belum bisa berbicara. Dia benar-benar bisu malam itu. Seharusnya dia marah dan memaki kekasihnya. Minimal ia meminta penjelasan dari pria itu. "Via sayang, kenapa kau ada di sini?" bisik Alberto dengan mesra. Ia ingin merayu kekasihnya tanpa lebih dulu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. "Untuk melihat kebenaran. Takdir mengantarkanku ke tempat ini untuk melihat apa yang kau lakukan selama ada di belakangku!" protesnya di dalam hati. Ya, sebenarnya Flavia ingin menjeritkan kalimat itu di telinga Alberto. Tapi tidak tahu kenapa masih juga tidak bisa. "Sayang, jangan marah ya. Dia Angel. Kami bertemu karena ada beberapa masalah di perusahaan yang harus kami bahas. Dia sekretarisku. Bajunya kotor jadi dia mengenakan handuk seperti itu. Jangan berpikir yang aneh-aneh ya." Alberto mempererat pelukannya. Ia berharap kalau kini Flavia mau memaafkannya dan menerimanya kembali. Toh mereka tidak kepergok kalau sedang melakukan perbuatan tidak senonoh. Di mata Alberto, Flavia adalah wanita polos yang sama sekali tidak paham dengan urusan orang dewasa. Flavia melepas paksa tangan Alberto. Ia berjalan ke arah pintu tanpa berkata sepatah katapun. Alberto mematung di tempatnya. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Biasanya sangat mudah mendapatkan ide untuk membujuk kekasihnya. Tapi malam ini ia kesulitan menemukan cara untuk membujuk Flavia. Flavia berjalan dengan kepala menunduk. Bibirnya tersenyum. Tapi, kedua matanya mulai berkaca-kaca. Kedua tangannya meremas rok yang ia kenakan. Sepatu high heels yang ia kenakan terdengar sangat jelas. Flavia tidak tahu harus bagaimana. Mendadak Flavia berubah menjadi wanita bodoh. "Alberto? Dia Alberto?" tanyanya masih dengan wajah tidak percaya. Ia berharap semua ini hanya mimpi buruk. Bibirnya mulai berkata. Buliran air mata mulai jatuh membasahi pipinya yang mulus. Kakinya tiba-tiba terasa lemas. Flavia merasa tulang kakinya hilang entah ke mana. Bersamaan dengan itu ia terduduk di lantai. "Alberto. Dia Alberto. Ya benar. Dia Alberto." Tangisannya pecah. Flavia menutup wajahnya dengan tangan. Ia menangis sejadi-jadinya di tempat yang sunyi tersebut. "Dia Alberto. Dia benar-benar Alberto. Apa yang dia lakukan dengan wanita tadi? Mereka sama-sama tidak mengenakan pakaian." Rasa cemburu dan sakit hati melebur menjadi satu. Flavia tidak tahu harus bagaimana lagi. Ia merasa kecewa dan sedih. Selama ini Alberto satu-satunya orang yang ia percaya dan ia yakini akan selalu berada disisinya. Tapi, dengan kejadian ini Flavia merasa kalau harapannya selama ini sia-sia. Tidak ada yang bisa di percaya lagi dari semua kalimat yang terucap dari bibir Alberto. "Kenapa dia melakukan semua ini? Dia sudah berjanji untuk setia. Kenapa semua harus terjadi? Apa ini yang pertama? Atau jangan-jangan ini pertama kalinya aku tahu sifat aslinya. Apa selama ini dia sudah sering membohongiku?" Flavia menghapus air matanya sambil melihat langit di luar jendela. "Apa benar dia hanya mempermainkanku saja selama ini? Kenapa aku begitu bodoh. Kenapa aku selalu menganggapnya pria sempurna yang tidak akan mungkin berbohong! Kenapa!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD