PART 2

1156 Words
“Pak Joko nanti jangan lupa besok ingetin Lara untuk beli beberapa bunga untuk dan pupuk,” kata Lara mengingatkan Pak Joko agar besok tidak lupa memberitahu dirinya. Besok Lara ingin menanam beberapa bunga di taman belakang. Untungnya rumah Reza besar, sehingga ada saja hal yang bisa dia lakukan setiap hari seperti salah satunya adalah menanam dan menyiram bunga. Gadis ini segera memasuki rumah besar yang sudah tiga tahun lamanya telah menjadi tempat bernaungya. Tentunya sudah bukan hal aneh lagi kalau gadis ini merasa sendirian di sini, meskipun terkadang ada bibi yang menemaninya. Pak Joko dan bibi adalah pasangan suami istri. Mereka telah lama bekerja dengan keluarga Reza di sini. Keduanya memiliki dua anak perempuan dan laki-laki yang saat ini masih sama-sama duduk di bangku sekolah. Mereka ada di sini hanya sampai sore terutama bibi. Kalau Pak Joko terkadang hingga malam, hanya jika Lara membutuhkan bantuan beliau untuk pergi ke suatu tempat. “Bibi hari ini mau masak apa untuk malam nanti?” tanya Lara menyapa bibi yang nampak sibuk di dapur. Gadis ini segera menyimpang barang belanjaannya dan menuju ke tempat wanita paruh baya itu berada. Lara juga cukup sering membantu bibi memasak. Kasihan juga jika bibi harus memasak, yang mana mungkin hanya gadis ini saja yang makan. Terkadang juga Lara meminta bibi dan Pak Joko untuk ikut makan bersama. “Bibi masak makanan kesukaan Nona Lara.” “Cumi saus tiram, Bi?” tebak gadis ini dengan cepat yang dijawab anggukan kepala oleh wanita itu. Lara segera memakai celemek yang tersedia dan tidak lupa mencuci tangan terlebih dulu. “Nona mau ikut masak juga?” “Tentu, dong, Bi.” “Oh iya, Bibi juga memasak makanan kesukaan Aden,” kata bibi yang membuat pergerakan gadis ini mengiris beberapa bawang pun terhenti. “Mungkin saja Aden malam ini pulang, Non,” lanjutnya lagi yang tahu mengapa dengan keterdiaman majikannya ini. Lara pun memaksakan senyumnya sebisa mungkin, meskipun dia tidak yakin pemuda itu akan pulang mengingat seberapa sibuknya Reza saat ini karena kariernya yang naik dengan melejit. “Oh iya, Bi, anak Bibi yang perempuan sudah lama tidak Lara lihat.” Gadis ini mencoba mengalihkan pembicaraan mereka. “Oh, itu dia sedang sibuk untuk ujian, Non. Maklum sudah ada di tingkat akhir,” jelas bibi yang membuat Lara mengangguk mengerti. Terkadang bibi di sini juga dibantu oleh putrinya. Dan Lara juga terkadang menyapa gadis SMA itu. Meskipun masih sekolah, ternyata anak-anak bibi sangat sayang kepada orang tua bahkan tidak merasa malu dengan pekerjaan yang dilakukan orang tuanya mengingat anak jaman sekarang lebih mengutamakan image. “Oh begitu. Rencana mau lanjut kuliah di mana, Bi?” Dengan gerakan pelan wanita paruh baya itu mulai menumis beberapa bawang yang sudah Lara potong-potong. “Nggak lanjut, Non. Bibi menyarankan untuk langsung cari kerja,” jawabnya dengan kedua tangan yang lihai menggunakan wajan penggorengan. Lara terkadang takjub dengan keahlian bibi di dapur. Wanita ini bahkan bisa mendirikan rumah makannya sendiri jika mau. Karena seperti yang Lara rasakan bahwa makanan buatan bibi selalu enak. “Kenapa begitu, Bi?” tanya Lara penasaran. “Sulit di biaya, Non. Dan juga adiknya masih SMP, jadi dia memutuskan untuk kerja saja bantu Ibu dan Pak Joko, katanya,” jelas bibi. “Kenapa nggak coba bicara sama orang tua Reza, Bi? Mereka pasti akan bantu,” usul Lara yang membuat wanita itu seketika tersenyum mendengar usulan gadis ini. “Bibi nggak enak, Non. Tuan dan Nyonya sudah sangat baik. Dan rasanya kalau Bibi meminta itu, maka Bibi yang merasa ngerepotin banget.” “Mama dan Papa nggak akan berpikiran seperti itu, kok, Bi. Atau Bibi bicara sama Reza saja?” usul Lara lagi yang membuat bibi menggeleng penuh. “Nggak usah, Non. Anak Bibi juga setuju untuk cari kerja hitung-hitung bantu biaya sekolah adiknya. Kata dia nggak apa-apa kalau dia nggak bisa kuliah, yang penting adiknya bisa kuliah nanti,” cerita bibi yang membuat Lara tersenyum setiap kali mendengar bagaimana harmonisnya keluarga bibi dan Pak Joko. Nampak di dalam sebuah rumah banyak orang yang berlalu lalang memindahkan beberapa peralatan syuting. Ada satu ruangan di mana itu adalah tempat yang dikhususkan bagi para pemain, salah satunya adalah Reza. “Gue mau pulang, Bang,” pintanya sekali lagi kepada sang manajer. Dia sudah terlalu sering meninggalkan Lara di rumah meskipun ada bibi di pagi hingga sore hari. Pria yang menggunakan topi hitam serta kaos itu pun nampak meraup wajahnya dengan kesal melihat kelakuan pemuda ini. “Reza ... lo harus syuting. Ini untuk film, dan lo nggak bisa tiba-tiba tinggalin lokasi,” jelas Tama selaku orang yang selalu mengatur pekerjaan pemuda ini. “Bang ... please, gue harus pulang,” pintanya sekali lagi dengan tampang. “Gue harus lihat dia, Bang,” lanjutnya lagi yang sangat Tama tahu siapa yang dimaksud Reza saat ini. Gadis itu benar-benar membuat pemuda ini selalu tidak fokus. “Profesional, Za. Ingat kata-kata lo ke gue waktu pertama kali terjun ke industri ini. Lo bilang akan terus profesional apa pun keadaannya. Kalau lo lupa, gue akan ingetin sekali lagi,” kata Tama membuat bahu pemuda itu merosot. Reza pun menghempaskan tubuhnya ke kursi. Dia kesal karena tidak bisa melakukan apapun. “Kirim pesan atau telepon dia sudah lebih dari cukup,” kata sang manajer yang kemudian meninggalkan pemuda itu sendiri. Reza pun menatap ponsel miliknya di mana wallpaper HP-nya adalah potret diri Lara yang sudah dia ubah menjadi sebuah vector. Tidak mungkin juga dia memakai foto asli gadis itu mengingat siapa saja bisa melihat ponselnya. Menjadi artis bukanlah hal yang bagus bagi Reza dan Lara. Keduanya harus rela menyembunyikan status Reza yang sudah bertunangan dengan gadis ini. Mengingat industri hiburan adalah sangat sensitif mengenai sebuah hubungan, maka Tama sang manajer meminta pemuda itu untuk merahasiakan hubungan mereka. Reza pun sudah berbicara dengan Lara, dan gadis itu pun setuju mengingat ini semua demi karier pemuda itu. Reza pada awalnya kurang setuju dengan ide manajernya itu, namun mengingat Lara menyetujui dan membujuknya untuk setuju, maka Reza pun mau tidak mau harus terus berpura-pura masih sendiri. Bahkan dia tidak memakai cincin pertungan mereka karena perintah sang manajer juga. Potongan buah apel melesat dengan tepat ke dalam mulut Lara. Setelah makan malam, gadis ini memilih untuk menonton TV. Bibi dan Pak Joko sudah pulang tadi menjelang magrib, dan kini dia kembali sendirian di rumah. Ditemani semangkok buah apel yang sudah dia potong dan bersihkan, Lara serius melihat berita di TV. Kali ini infotainment kembali menayangkan sosok Reza di sana. Sepertinya acara infotainment akhir-akhir ini sering menyorot pemuda itu. Lara pun bangga ketika melihat pencapaian yang Reza saat ini. Pemuda itu semakin banyak dikenal orang karena aktingnya. Namun, Lara semakin muram ketika mengingat semakin terkenalnya Reza, maka semakin kuat juga mereka harus menutupi hubungan ini. Lara pun dilanda kesedihan mengingat mereka tidak bisa melakukan banyak hal seperti pasangan lainnya. Karena ini adalah jalan yang sudah mereka pilih, maka mau tidak mau Lara dan Reza harus menerima ini semua. Lara adalah tipe gadis yang mau menanggung risiko atas apa yang dia lakukan. Tipe gadis yang kuat dan berani menurutku. Bahkan aku sendiri tidak begitu yakin dengan hubungan tiga tahun yang dengan tanda kutip 'sembunyi-sembunyi' itu. Bagaimana menurut kalian? Apakah hubungan seperti ini tampak normal?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD