Vaux University

1165 Words
(CHLOE) Universitas Vaux adalah universitas terbesar dan terbaik yang ada di kota ini. Hampir semua jurusan ada di sini. Namun yang paling menonjol di Vaux adalah jurusan teknik dan ilmu komputer, karena universitas ini bekerja sama dengan CyberTech untuk mengirim para mahasiswanya menjalani magang di perusahaan itu. Dan saat ini, aku sedang berusaha mendapatkan tempat kosong itu dari ribuan mahasiswa yang sedang bersaing satu sama lain dengan tujuan yang sama. Aku menaiki bus untuk mencapai tempat kuliahku, dengan jarak yang hampir sama saat aku akan menuju apotek Marianne, namun sedikit lebih jauh. Aku harus selalu berangkat lebih awal karena bisa saja aku akan terjebak kemacetan setibanya di pusat kota. Ini merepotkan. Aku tahu itu. Tapi selama aku masih bisa kuliah di Vaux tanpa biaya hingga lulus, jarak jauh seperti ini bukanlah hal berat. Setelah bus berhenti di halte bus dekat kampus, aku turun dari sana dan berjalan sekitar lima menit menuju kampus. Dalam perjalanan itu ada beberapa gadis yang pernah menjadi temanku menatapku dengan tatapan tidak bersahabat. Mereka berbisik satu sama lain untuk membicarakanku meski aku tak bisa mendengarnya. Tidak ada pembicaraan yang lebih menarik selain melihat temanmu yang dulunya setara denganmu tiba-tiba ada di bawahmu. “Chloe!” panggil seseorang di belakangku. Aku menoleh ke belakang dan melihat Hugo, teman masa kecilku yang berlari menghampiriku. “Kenapa kau tidak membalas pesanku semalam?” tanyanya “Ah!” ucapku karena baru teringat akan pesan Hugo yang sudah k****a pagi ini. “Maaf, Hugo. Semalam aku terlalu lelah untuk melihat ponsel. Pagi ini aku juga terlalu sibuk untuk membalas,” jawabku. “Tidak apa. Aku bisa mengerti,” katanya dan kami berjalan bersama menuju kampus. Hugo dan aku sudah dekat sejak kecil. Ia adalah sahabatku. Ia adalah satu-satunya orang yang bersedia membantuku setelah apa yang menimpa keluargaku meski aku ingin sekali menolaknya karena aku tak ingin terlalu berhutang padanya. Lagipula, tidak seperti Hugo. Ibunya tidak menyukaiku. Ia tidak menyukai orang-orang kalangan bawah. “Sudah ada kabar soal magang itu?” tanyanya. “Belum. Aku sungguh berharap aku bisa mendapatkan tempat itu,” jawabku. “Sayang sekali kau gagal mengikutinya tahun lalu,” ucapnya prihatin. Aku sungguh tidak ingin lagi ada seseorang yang mengingatkanku akan kejadian itu. Hanya karena ibuku membuat kekacauan di rumah, aku yang harus membereskannya hingga aku telat mengikuti magang di hari pertama. Karena Vaux juga tak ingin merasa dirugikan karena ketidakhadiranku di hari pertama magang, mereka menggantikan tempat yang sudah kudapatkan dengan orang lain keesokannya. Jika aku jadi mereka, aku juga akan berbuat hal yang sama karena masih ada banyak mahasiswa yang ingin mendapatkan tempat di CyberTech. Aku merasa benar-benar berada di hari sial saat itu. “Aku tidak tertarik bekerja di sana, jadi aku memilih tempat lain,” ujarnya dengan hembusan napas, yang samar-samar menimbulkan uapan. Hugo berada di jurusan Teknik, sedangkan aku mengambil jurusan Ilmu Komputer di sini. Dulu kami sering bersama saat masa sekolah maupun di awal perkuliahan. Namun karena sekarang kami semakin disibukkan oleh tugas dari jurusan kami masing-masing, kami jadi jarang bertemu. Terkadang kami hanya saling sapa dan mengobrol sebentar di jam pagi sebelum perkuliahan dimulai seperti ini. “Kau punya keinginan untuk membuat sesuatu setelah kita lulus?” tanyaku. “Rasanya masih terlalu awal kau bertanya begitu. Hampir semua benda-benda menakjubkan telah diciptakan CyberTech,” jawabnya. “Tapi kau sudah dengar kabar soal teknologi penghubung pikiran manusia yang sedang mereka kerjakan, kan?” “Ya. Sejujurnya aku kurang nyaman dengan itu,” ungkapku. Kabar itu terdengar di tahun sebelumnya setelah beberapa bulan Android dipasarkan secara besar-besaran ke banyak negara. Saat awal kemunculannya mereka bilang itu masih dalam perencanaan. Jadi tidak ada berita lain soal itu. Tapi di tahun ini berita itu kembali muncul dan mengabarkan bahwa mereka sudah mengerjakan proyek teknologi penghubung pikiran manusia itu. Tak lupa dengan memasang sebuah foto para ilmuwan yang mengelilingi sebuah benda yang berbentuk seperti peti dengan penutup kaca. Berita itu cukup menggemparkan. Tapi tak lebih menggemparkan dari terciptanya Android. “Namanya linker, kan?” tanyaku. “Yeah. Sebuah teknologi baru yang dapat memindahkan pikiran manusia ke dalam komputer. Terdengar mengerikan,” ujar Hugo. “Rasanya kau takkan bisa menyembunyikan rahasiamu lagi karena semua orang akan mengetahuinya melalui layar komputer.” “Hugo!” panggil suara dari kejauhan. Aku dan Hugo menoleh dan melihat pria yang kuyakini sebagai teman Hugo meminta Hugo untuk mengikutinya. “Aku harus pergi,” pamitnya. “Baiklah,” balasku. “Kabari aku jika terjadi sesuatu!” teriaknya karena ia sudah di kejauhan untuk menghampiri temannya itu. Dan aku kembali berjalan menuju kelasku. *** Sepulang dari perkuliahanku aku mampir ke sebuah swalayan untuk membeli beberapa kebutuhan, terutama untuk makan. Penghasilanku dari bekerja di tempat Marianne tidak bisa membuatku membeli daging karena aku harus membaginya untuk kebutuhan yang lain. Aku harus selalu mengingatkan diri sendiri bahwa aku masih beruntung bisa mendapatkan pekerjaan dan bisa makan setiap harinya. Setelah selesai berbelanja dan keluar dari swalayan, aku melewati seorang pengemis wanita yang tertidur di pinggir jalan. Sebuah papan kardus bertuliskan ‘Android membuatku jadi begini’ bertengger dengan angkuh di depannya. Aku melihat kaleng tempat ia meletakkan uang hasil meminta. Hanya ada lima koin. Terlalu banyak orang meminta-minta sehingga banyak orang tidak lagi mempedulikan mereka. Sudah sering sekali para tunawisma memprotes CyberTech untuk menghentikan produksi Android, tapi teriakan keputusasaan mereka hanya dianggap sebuah angin yang lewat. Aku merogoh saku celanaku dan memasukkan selembar uang ke dalam kaleng tersebut. Lalu aku kembali berjalan pulang. Setelah aku melewati belokan dengan lampu yang berkedip-kedip, aku melihat orang-orang yang sedang mengelilingi sebuah api unggun di dalam tong di pinggir jalan. Mereka sedang menghangatkan diri bersama karena dinginnya udara di musim gugur ini. Dua dari mereka mengangkat tangannya untuk menyapaku, dan aku menyapa balik mereka dengan cara yang sama. Mereka orang-orang baik yang kukenal di sini. Aku kembali berjalan dan kali ini dari kejauhan, aku melihat sosok Tn. Elijah berdiri menatap sesuatu yang ada di depan sana. Aku bisa tahu dari postur tubuhnya yang kurus dan jangkung. Ia juga selalu mengenakan syal berwarna merah yang tidak pernah ia ganti hingga terlihat sangat lusuh. “Tn. Elijah!” teriakku memanggilnya dan menghampirinya. “Oh, Chloe! Chloe!” ucapnya dengan ekspresi khawatir. “Ibumu pergi ke arah sana,” lanjutnya. “Apa?!” ucapku terkejut. “Aku sempat menghentikannya, tapi ia malah mendorongku pergi.” Aku mulai panik. Aku memang membiarkan Ibu untuk keluar rumah selama ia tidak pergi lebih jauh, dan selama Tn. Elijah masih bisa memantaunya. Tapi jika ia pergi lebih jauh dari sebelum-sebelumnya, itu cukup mengkhawatirkan. “Kau tahu ke mana arahnya?” tanyaku. “Kurasa aku sempat melihatnya berbelok di gang kecil itu,” katanya sambil menunjuk arah gang itu. “Aku sungguh minta maaf, Chloe.” “Tidak apa,” balasku dan segera mengejar ibuku. Aku menuju gang tersebut dan samar-samar kudengar suara Ibu yang berteriak pada seseorang. “Ibu!” panggilku dan berbelok di gang tersebut. Napasku tercekat pada apa yang kulihat di hadapanku. Ibuku sedang berhadapan dengan sebuah Android yang mengenakan pakaian biasa, bukan seragamnya. Ini buruk. Ibuku sangat membenci Android.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD