the Mad Mother

1208 Words
(CHLOE) Selama berjalan kaki menuju rumah, gemuruh petir terdengar di atasku. Aku mendongak dan melihat langit mendung yang berwarna merah di malam hari. Angin juga mulai berhembus kencang. Aku mulai mempercepat langkahku dan sedikit berlari-lari sebelum hujan turun. Aku melihat sebuah belokan dengan lampu jalan yang berkedap-kedip yang menjadi penanda untuk masuk ke kawasan terpinggir di kota ini. Di sanalah aku tinggal. Aku melewati belokan itu dan melihat sebuah pemandangan yang kurang memanjakan mata. Deretan rumah yang jelek dan bobrok. Lampu-lampu jalan yang tidak terlalu terang. Sampah-sampah yang berserakan di beberapa tempat, bahkan jalanan berlubang yang tidak pernah diperbaiki. Sebagai tambahan, ada banyak tunawisma juga yang menetap di tempat ini. Heaven Hills, itulah nama distrik ini. Distrik yang terletak di paling ujung dan jauh dari pusat kota, tempat di mana para tunawisma, orang-orang tak punya, bahkan mantan kriminal yang tak diterima oleh masyarakat tinggal. “Chloe!” panggil suara serak seorang pria. Aku berhenti dan menoleh ke belakang, melihat seorang pria tua dengan pakaian lusuh dengan warna celana, jaket, syal yang terlihat tidak menyatu. Pria itu berjalan mendekatiku. “Apa kau punya makanan?” tanyanya. “Ah!” ucapku dan lalu merogoh ranselku. Aku hampir lupa aku masih memiliki sisa camilan makan siangku. Aku mengambil makanan yang masih terbungkus dalam kantong kertas dan memberikannya pada pria yang memiliki nama Elijah. “Ini, Tn. Elijah. Maaf jika ini sedikit tak enak. Aku menyimpannya di dalam ranselku dari siang.” “Ohoho…,” ucapnya dengan ekspresi bahagia sambil menerima makanan yang kuberikan. Meski jika rasanya benar-benar tak enak, Tn. Elijah tak akan mempermasalahkan itu karena bagi dia, memiliki makanan untuk mengisi perut sudah lebih dari cukup. “Terima kasih, Chloe. Aku akan terus mengawas ibumu selama kau pergi,” ucapnya. “Aku mengandalkanmu. Bagaimana dia hari ini?” tanyaku. “Dia tidak keluar sama sekali,” jawabnya sambil mengunyah makanan pemberianku tadi. Tidak keluar dari rumah bukan berarti ia tidak akan membuat kekacauan. Ia akan membuat kekacauan di dalam rumah. Itu membuatku khawatir karena ia akan menghancurkan barang-barang yang dilihatnya. Aku berpamitan pada Tn. Elijah dan menuju rumah. Aku menaiki beberapa undakan dan segera membuka pintu. Dan apa yang tidak kuinginkan terjadi. Seisi rumah terlihat sangat berantakan. Gelas yang tergeletak di lantai yang untungnya tidak pecah. Bantal. Beberapa barang yang awalnya berada di atas meja kini sudah berserakan di lantai. Sisa-sisa makanan yang juga mengotori lantai. Mataku lalu beralih menatap ibuku yang sedang duduk di kursi meja makan dengan kepala mendongak menatap entah apa yang ada di langit-langit atap. Aku berdecak kesal dan menutup kembali pintu di belakangku. “Bisakah sehari saja Ibu tidak membuatku bekerja dua kali?” ucapku kesal seraya memunguti barang-barang di lantai. Dan seperti biasa, ia tidak menanggapi perkataanku. Aku meletakkan peralatan makan yang kotor ke tempat cuci piring dan melihat makan malam yang kubuatkan untuk ibuku terlihat utuh. Ia tidak memakannya, dan ini juga bukan pertama kalinya ia tidak makan malam. Aku menghela napas dengan berat. Aku berbalik dan berjalan menuju ibuku. “Kenapa Ibu tidak makan?” tanyaku padanya. Dia masih berada di posisi yang sama; kepala menyandar ke belakang dan mendongak menatap langit-langit atap. Ia lalu menurunkan kepalanya dan menatapku. Matanya terlihat menyeramkan, seperti orang yang tidak tidur berhari-hari. “Pierre… di mana?” tanyanya bergumam. “Aku masih belum menemukan Ayah hari ini. Aku akan mencarinya lagi besok,” balasku. “Di dalam benda itu… disembunyikan… pria itu yang melakukannya,” ucapnya tak karuan. Aku bahkan tidak tahu pria mana yang dia maksud meski sering menggumamkannya. “Tolong tenanglah,” kataku menghela napas. “Aku masih berusaha untuk mencari Ayah. Tidak mudah karena tidak ada petunjuk apa pun.” Ia terdiam. Rambutnya yang berantakan menutupi wajahnya. Aku masih ingat betapa cantik dan anggun penampilan ibuku dulu. Sekarang benar-benar lain. “Memangnya siapa pria yang Ibu maksud?” tanyaku. Ia diam. Aku menghela napas. Ia tak pernah menyebutkan namanya dan hanya mengucapkan ‘pria itu.’ Entah ia tak ingin memberitahuku atau tak lagi mengingatnya, tapi berkomunikasi dengan ibuku itu sedikit tak berguna. Ia menjadi begini semenjak ayahku menghilang setahun yang lalu. Aku khawatir karena semakin lama keadaannya semakin tidak membaik. Ia selalu menyebut nama Ayah untuk mencari sosoknya yang juga tak kunjung kutemukan. “Baiklah. Terserahlah!” ucapku mengangkat kedua tangan tanda menyerah. Aku melangkah menuju tangga dan naik ke lantai atas. Sesampainya di lantai atas, aku masuk ke dalam kamar ibuku dan melihat botol obat antidepresan yang ada di nakas. Obat di dalam botol itu hampir habis, padahal aku baru membelinya seminggu yang lalu. Aku berdecak kesal. Seharusnya aku memang tak memberikannya sebotol penuh atau ia akan meminumnya semaunya sampai ia bisa tenang. Aku mengambil obat itu dan menyisakan satu butir saja di nakas, lalu keluar dari kamar untuk menuju kamarku yang ada di ujung lorong. Aku segera melepas tas dan jaket yang kukenakan begitu sudah berada di kamar. Dari jendela kulihat hujan sudah turun. Aku melepas sepatuku dan menguncir rambut pirang panjangku. Saatnya untuk menyelesaikan kekacuan, batinku dan menghembuskan napas. Lalu aku keluar dari kamar dan kembali turun ke lantai bawah. Kulihat sekarang ia duduk di sofa. Aku mengambil alat pel di ruang cuci yang ada di belakang dapur, lalu membersihkan lantai yang kotor. Sesekali aku melirik ibuku. Ia hanya duduk diam sambil menyandarkan tubuhnya dan mendongak. Setidaknya ia bisa tenang. Itu saja sudah cukup. Saat aku membersihkan lantai yang ada di depan tangga, aku melihat sebuah surat yang ada di meja kabinet dan memeriksanya. Ternyata itu adalah lembar tagihan dari perusahaan penyedia listrik karena aku belum membayar listrik bulan lalu. Itu karena aku terpaksa menggunakan uang itu untuk kebutuhan lain. Aku meletakkan kembali lembar tersebut sambil menghela napas. Setiap hari aku harus membanting tulang untuk mendapatkan uang untuk biaya hidup kami di sini. Kebutuhan kami juga bertambah karena keadaan ibuku yang tak kunjung membaik dan aku harus selalu menyediakan obatnya yang juga tidak murah. Keadaan kami begini setelah orang-orang misterius mendatangi rumah kami dan menyita semua yang ada di dalam rumah tidak lama setelah ayahku menghilang. Mereka tidak menjelaskan alasan apa pun selain hanya bahwa ayahku membawa sesuatu yang seharusnya tidak ia bawa. Aku juga tidak bisa melapor karena mereka menunjukkan surat resmi. Alhasil kami mencoba mencari tempat tinggal yang lebih murah dengan sisa uang yang kami miliki dan menemukannya di Heaven Hills. Setelah selesai membersihkan lantai bawah, aku kembali ke lantai atas untuk mengambil pakaian kotor yang ada di kamarku dan ibuku. Lalu aku membawanya turun ke ruang cuci. Aku memasukkan pakaian tersebut ke mesin cuci dan meninggalkannya untuk menyetrika beberapa pakaian. Hampir setiap hari keadaanku selalu seperti ini. Setahun yang lalu aku tidak pernah membayangkan bahwa aku akan ada di keadaan seperti ini. Jika bicara soal kesal, tentu saja aku kesal. Aku lelah. Kami menjadi begini karena sesuatu yang bahkan tidak kuketahui. Ayahku menghilang, dan kami tidak mendapatkan bantuan sepeser pun. Rekening milik Ayah diblokir sehingga tidak ada apa pun yang tersisa untuk kami. Aku terpaksa menjual barang-barang berharga yang masih kumiliki demi mendapatkan uang. Meski begitu, aku masih beruntung karena aku bisa menjalani kuliah di tempat terbaik dengan beasiswa yang kudapatkan. Hanya beasiswa ini satu-satunya kunci emas yang kumiliki saat ini demi mencapai tujuanku. Aku harus bisa mendapatkan tempat magang di CyberTech. Tempat ayahku dulu bekerja. Tempat di mana aku bisa mencari informasi tentang keberadaan ayahku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD