Human-Android

1118 Words
(CHLOE) Ketertarikanku akan pameran tersebut membuatku lupa akan waktu bekerja. Ketika aku melihat jam di ponselku saat baru saja keluar dari gedung CyberTech, aku baru menyadari bahwa aku sudah menghabiskan waktu selama empat puluh menit di dalam sana! Aku terlambat sepuluh menit, dan itu bukanlah hal bagus. Aku berlari menuju tempat kerjaku, melewati kerumunan manusia yang sedang berjalan demi agar bisa sampai di tempat kerja lebih cepat. Aku membayangkan bagaimana Marianne, pemilik apotek tempatku bekerja memarahiku karena keterlambatanku. Satu menit saja aku terlambat ia sudah tidak menyukainya, dan kali ini aku benar-benar mengacaukannya. Di tengah-tengah aku berlari, aku menabrak seseorang dengan badan yang begitu keras karena itu membuatku meringis kesakitan. Aku terjatuh ke tanah dan sempat kesulitan untuk berdiri kembali karena sisi tubuhku yang menabrak tadi terasa cukup sakit. “Aku akan menolongmu, Nona,” ucap suara perempuan sambil mengulurkan tangannya padaku. Aku mendongak dan menyadari bahwa yang kutabrak baru saja adalah Android. Ia mengenakan seragam tipe Pekerja Rumah Tangga dengan namanya yang sudah terukir di d**a kiri seragam tersebut. Alia. “Terima kasih, Alia,” ucapku sambil menerima uluran tangannya dan bangkit berdiri. Sesuai tipenya, Alia adalah Android Pekerja Rumah Tangga yang bertugas mengurus pekerjaan rumah. Aku sudah melihat banyak sekali Android tipe ini dan sepertinya, Android tipe ini dimiliki hampir semua orang di dalam rumahnya mulai dari kelas menengah hingga atas. Setelah berlari hingga rasanya aku hampir tak bisa bernapas lagi, akhirnya aku sampai di apotek. Marianne yang sedang melayani pembeli melihat kedatanganku langsung mengungkapkan kekesalan lewat pancaran matanya saat menatapku. Aku kagum ia masih bisa menahan emosinya saat melayani pembeli itu. Aku berharap pembeli itu bisa bertahan lebih lama di sini agar aku bisa menghindari luapan emosi Marianne. Tapi sayangnya pembeli itu telah mendapatkan apa yang dinginkannya dan keluar dari apotek. Oh, sial! Rasanya aku ingin menghilang saat ini juga. “Chloe Auguste…,” ucapnya dengan nada nyaring dan penuh kekuasaan seolah ia adalah ratu yang sedang memerintahkan seseorang. Ia melipat kedua lengannya di d**a. “Kupikir kau ingat bahwa aku tidak suka keterlambatan bahkan jika itu satu menit.” “Maaf, Marianne. Aku menghadiri pameran di CyberTech tadi,” kataku mencoba menghindari tatapannya. “Kau ingin aku memecatmu?” “Apa? Tidak! Tolong jangan lakukan itu! Aku benar-benar minta maaf untuk kali ini. Kumohon, Marianne. Aku juga tidak menyangka bahwa aku akan seterlambat itu.” Ia menghela napas dengan keras. “Aku mengerti kau begitu tertarik untuk masuk CyberTech. Tapi kau harus ingat bahwa saat ini aku lah atasanmu,” katanya tegas. “Baiklah, aku mengerti. Aku benar-benar minta maaf.” Bel pintu berbunyi menandakan ada pengunjung yang datang. Aku menoleh dan melihat sesosok Android perempuan tipe PRT masuk dengan seorang gadis kecil dalam balutan jaket yang tebal. Mata gadis itu bertemu denganku sesaat dan wajahnya terlihat tidak sehat. “Halo. Aku ingin membeli obat penurun demam,” kata si Android. Marianne mengambil obat penurun demam di rak belakang kami lalu memberikannya pada Android itu. “Ada yang lain?” “Tidak,” jawabnya. Sementara Android itu melakukan pembayaran digital dengan memindai kode yang terukir di punggung tangannya, aku melihat nama yang terukir di d**a kirinya. Cleo. Setelah Marianne mendapatkan pembayaran itu, Cleo mengucapkan terima kasih dan keluar dari apotek masih dengan menggandeng gadis kecil itu. “Aku ingin tahu mengapa orangtuanya membiarkan ia dirawat oleh Android?” tanyaku dan menoleh pada Marianne. “Android adalah suatu pencapaian dari kemajuan zaman. Mereka bergerak dengan begitu fleksibel seperti manusia. Sekarang orang-orang lebih menaruh kepercayaan pada Android ketimbang manusia, karena mesin tak bisa melakukan tindak kejahatan,” ujar Marianne. “Memberikan kepercayaan pada mesin untuk mendidik seorang anak terdengar tidak waras, Marianne.” “Tapi kenyataannya sekarang tidak begitu, Chloe. Lagipula, membeli sebuah Android jauh lebih murah ketimbang membayar seorang pengasuh setiap bulan. Memperbaiki mereka bahkan tidaklah mahal,” balas Marianne. Ia lalu duduk di meja kerjanya dan mulai berkutik dengan komputernya. Aku beralih menatap keluar pintu kaca apotek dan melihat seorang pria kurus dengan pakaian yang lusuh berjalan terhuyung seolah sedang mabuk. Orang-orang yang berjalan berpapasan dengannya langsung menjauh dan memberikan tatapan jijik sekaligus takut karena melihat penampilannya. Pria itu adalah salah satu dari sekian banyak pengangguran yang mulai muncul semenjak Android diciptakan lebih dari setahun yang lalu. Kurasa pria itu sudah kehilangan kewarasannya, dan ia juga bukan satu-satunya yang mengalami hal itu. Aku jadi ingat bagaimana aku begitu putus asa dalam mencari pekerjaan setahun yang lalu. Sudah banyak sekali tempat yang menggantikan karyawan manusia dengan Android. Bagai mencari sebuah jarum dalam tumpukan jerami, aku hampir menyerah karena tidak bisa menemukan pekerjaan di manapun, sampai aku menemukan apotek Marianne. Apotek ini adalah satu-satunya tempat di mana tidak ada Android yang dipekerjakan. Pengunjung yang lain datang dan kali ini aku yang melayani mereka. Dalam jarak kurang dari satu menit ada pengunjung lagi yang datang. Tiba-tiba tanpa kusadari apotek ini sudah ramai oleh para pembeli. Marianne bahkan sampai bangkit dari kursi kerjanya dan membantuku melayani mereka. Setelah para pembeli itu pergi dan akhirnya apotek ini sepi kembali, Marianne kembali ke meja kerjanya dan bertanya, “Bagaimana kabar ibumu?” Aku menoleh padanya sesaat. “Seperti biasa,” jawabku menghela napas. “Kau terlihat putus asa,” ucapnya. “Tidak ada kemajuan?” “Tidak. Tidak sekali pun.” “Jika kau perlu bantuan Android untuk membantumu merawat ibumu, kabari saja aku. Aku mungkin bisa meminjamkan Android temanku padamu.” “Tidak. Aku benar-benar menolak,” balasku. “Kau lupa kelemahan ibuku?” “Ah!” ucapnya sambil menutup mulutnya. “Maaf. Aku lupa ibumu membenci Android.” “Aku baik-baik saja. Setidaknya untuk saat ini,” ucapku. “Aku hanya khawatir padamu,” kata Marianne dan berputar di kursinya untuk kembali menghadap layar komputer. “Kau berusaha begitu keras untuk bisa mendapatkan tempat magang di CyberTech. Dan kau bercerita kalau ibumu menggagalkan kesempatanmu tahun lalu.” “Tolong jangan ingatkan aku lagi soal itu,” balasku menghela napas. Itu adalah kenangan terburuk dan aku berusaha untuk tidak mengingatnya lagi. “Aku benar-benar berharap kau bisa menyelesaikan semuanya,” ujar Marianne. Kuharap juga begitu, ucapku dalam hati. Sepulang dari apotek Marianne, aku berjalan kaki menuju halte bus. Aku melihat jam yang ada di ponselku. Pukul sepuluh lebih tiga malam. Masih ada waktu dua belas menit sebelum bus tiba. Dan itu adalah bus terakhir yang beroperasi di malam hari. Setelah tiba di halte bus, aku menunggu di sana bersama tiga orang. Sebenarnya ada lima termasuk aku, tapi satu diantara kami adalah Android. Saat bus yang ditunggu tiba, Android itu langsung masuk ke pintu bus belakang di mana di sana adalah tempat yang dikhususkan untuk para Android. Bus lalu melakukan perjalanan terakhirnya di jam malam. Dalam perjalanan itu, hanya satu yang kuharapkan. Kuharap ibuku tidak membuat kekacauan di rumah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD