Perpisahan

1655 Words
Perpisahan   Manik bening Nabira bergulir, kembali menelisik hingga ujung terdalam mata Athar yang masih menatap calon istrinya tajam. Ia melengkungkan segaris senyum. Senyum kemenangan karena mengetahui kelemahan terbesar Nabira. Ara adalah kelemahan gadis itu. Dia tak akan pernah sanggup jika seseorang menyakiti satu-satunya perempuan yang pernah menjadi kekasihnya. Tidak, Nabira enggan menyebut Ara sebagai mantan kekasih karena sekalipun ia telah menikah dengan Athar, Nabira tak akan benar-benar pergi dari gadis itu. “Kamu pasti heran kan kenapa aku tahu soal identitasmu sebagai lesbian juga tentang Ara Agatha? Gadis berambut panjang pemilik toko kue, juga membuka kursus baking. Pasangan yang manis untuk gadis tomboy, yang lupa pada kodratnya.” Tatapan Athar tak lepas menyasar pada tampang innocent Nabira. Nabira lagi-lagi terdiam. Lidahnya kelu. Tentu ia begitu penasaran tapi ia menjaga diri untuk tidak terlihat seperti gadis kepo di hadapan laki-laki arogan itu. “Kamu perempuan yang beruntung, Nab. Itu kalau kamu menyadari. Banyak gadis mengejarku, banyak orang tua menginginkanku menjadi menantu mereka, banyak pengusaha berlomba untuk menjadi mitra bisnisku. Berita pernikahan kita akan menjadi berita paling sensasional. Aku ini orang penting dan berpengaruh. Kamu pikir, sekolah tempat kamu bekerja bukan bagian dari yayasan di bawah perusahaanku? Kamu pikir aku nggak kenal dengan rektor maupun dosen di universitas kamu kuliah? Kamu mungkin juga nggak pernah menduga, aku kenal dengan beberapa orang yang mengenalmu semasa SMA dan kuliah. Tak sulit untukku mendapatkan informasi tentangmu.” Nabira masih terpaku, bergelut dengan pikirannya. Mungkin selama ini ia terlalu sibuk dengan dunianya hingga tak menyadari wajah pria 29 tahun itu pernah menghiasi halaman sampul depan majalah bisnis favorit ayahnya. Ia tak peduli sekalipun banyak orang mengelukannya sebagai pengusaha real estate sukses yang juga mengelola beberapa yayasan. Athar menaikkan sebelah sudut bibirnya seakan mencemooh gadis tomboy yang bungkam seribu bahasa. Ia tak pernah memaafkan siapapun yang berani memandangnya remeh, termasuk gadis bertubuh langsing cenderung kurus yang tengah menatapnya datar, tak berkutik.   Ia amati Nabira dengan lebih awas. Dari satu sampai sepuluh, Athar memberi nilai  tiga untuknya. Mau memberi satu poin saja tapi mungkin terlalu kejam. Tomboy, tak cukup cantik, body kurang seksi, kurang menarik, rambut kurang terawat, warna kulit tidak hitam juga tidak putih, semua yang ada pada Nabira tidak ada yang mampu menarik minatnya apalagi membangkitkan hasratnya. Karena itu, tak masalah untuknya jika nanti tak menyentuh gadis itu. Ia yakin bisa dengan mudah menahan diri. Lagipula selama hidupnya ia belum pernah membawa perempuan ke ranjang dan tentu saja ia menutupi hal ini dari teman terbaiknya, Tama. Jika temannya tahu, dia bisa ditertawakan habis-habisan. Sebenarnya ia tak menyukai karakter perempuan siapapun perempuan itu. Menjadi anak piatu di umurnya yang baru tujuh hari, membuatnya terbiasa tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu. Ayahnya menikah lagi saat ia berumur sebelas tahun, dan itu sangat menyakitkan untuknya. Hubungannya dan ibu tirinya begitu buruk, begitu juga dengan Alzen, anak yang dibawa sang ibu tiri, dari pernikahan pertamanya. Ayah kandung Alzen meninggal saat Alzen berumur lima tahun. Athar hanya setahun lebih tua dari adik tirinya itu. Sama seperti ibu tirinya, dia tak pernah bisa akur dengan Alzen Revano. Dari pernikahan ayahnya dan ibu tirinya, lahirlah Tiara, gadis manja yang sekarang ini berusia 16 tahun. Athar tak menyukai sang ibu tiri yang ia nilai hanya bisa menghamburkan uang ayahnya untuk mempermak penampilannya dan menaikkan derajatnya sebagai wanita sosialita terdepan yang selalu tampil dengan barang branded di sekujur tubuhnya. Batu kali tetaplah batu kali, itu yang Athar pikirkan tentang ibu tirinya. Wajah ber-make up tebal dan baju branded berharga puluhan juta tak akan mampu menyembunyikan dari mana ia berasal. Baginya, ayahnya sudah banyak berjasa dengan mengentaskan wanita materialistis itu dari kemiskinan. Namun rupanya hanya sekedar tinggal di rumah besar dan liburan rutin ke luar negeri saja tak akan pernah cukup untuknya. Tak penting menaiki mobil mewah berharga milyaran atau sekedar menenteng tas Hermes seharga ratusan juta, selama perusahaan tidak diserahkan pada Alzen, sang ibu tiri masih merasa kurang. Athar selalu merenung, kenapa wanita-wanita yang ada dia sekitarnya selalu menyebalkan? Termasuk juga mantan kekasih yang meninggalkannya demi laki-laki yang jauh levelnya di bawahnya. Ia bukan tipikal pria yang hobi gonta-ganti pacar. Ia hanya pernah mencintai satu perempuan bernama Mauren Dinata. Sejak kandasnya hubungan mereka dua tahun yang lalu, ia tak berminat untuk terlibat dalam hubungan romantis dengan perempuan manapun. Ia bukan gay, ia sepenuhnya straight. Hanya saja ada kebencian mendalam terhadap sosok perempuan. Salah satu sahabatnya mengatakan bahwa kemungkinan ia mengidap sindrom misoginis, yaitu sindrom kebencian pria terhadap wanita. Seorang pria misoginis selalu membenci, memandang rendah, dan mendiskriminasi perempuan. Ia tak segan untuk menyakiti dan mengolok perempuan dengan bahasa yang frontal dan vulgar. Baginya bisa membuat sang wanita sakit hati adalah sebuah kemenangan. Namun Athar selalu menampik tuduhan temannya. Ia merasa baik-baik saja dan tak memiliki permasalahan apapun. Athar kembali terfokus pada sosok dingin di hadapannya. Ada kepuasaan dan kesenangan yang tak dapat didefinisikan tatkala melihat Nabira mematung tanpa sepatah katapun. “Jadi bagaimana? Kamu akan tetap mencoba kabur?” Athar tersenyum meremehkan. Nabira memalingkan wajahnya ke arah lain lalu kembali menatap calon suaminya dengan tatapan yang tak setajam sebelumnya. “Jangan pernah menyakiti Ara,” tandas Nabira. “Aku tak akan menyakiti pasangan lesbianmu selama kamu tunduk padaku. Kamu harus bisa memainkan sandiwara terbaik. Di depan umum bersikaplah selayaknya istri. Jangan pernah membicarakan hal buruk tentangku atau keluargaku. Dan kamu harus belajar bagaimana memperbaiki penampilanmu yang kumal dan membuat mataku sepat.” Nabira mengangkat wajahnya yang sedikit menunduk. Laki-laki ini berkata begitu pedas dan terang-terangan menghina penampakan fisiknya. “Aku akan mendatangkan ahli yang khusus mendandani dan menata gaunmu setiap kali kita mendatangi acara di luar. Tentu akan terlihat aneh jika orang berkelas sepertiku harus berjalan beriringan dengan wanita dekil sepertimu.” Nabira melongo, “Kamu benar-benar kasar. Apa dengan mencaci fisik seseorang serta merta akan menaikkan derajatmu? Semua ini justru menunjukkan siapa sebenarnya Athar Anggara Pramudya. Sama sekali tak dewasa, tak berkelas, dan tak cerdas!” Athar hanya tersenyum picik. “Aku hanya bicara jujur.” Athar menaikkan alisnya. Nabira mengepalkan tangannya. Belum menikah saja, Athar sudah memperlakukannya begitu buruk, bagaimana nanti. ****** Selama perjalanan pulang, Nabira enggan menoleh pada laki-laki tampan itu. Matanya menerawang ke luar jendela. Entah kenapa, hatinya bergerimis. Ayahnya belum lama meninggal, ia harus melepas pekerjaannya dengan paksaan dari Athar yang tak ingin orang tahu bahwa calon istrinya bekerja di bagian tata usaha di salah satu SMA. Bagi Athar itu sangat memalukan. Ia juga harus meninggalkan Ara jika ingin gadis itu baik-baik saja. Athar bisa melakukan apa saja. Dan sebentar lagi ia akan menikah dengan seseorang yang kasar, arogan, tak tahu caranya menghargai perempuan. Kata-kata hinaan dari Athar seolah terekam kembali di memorinya. Dia pernah menjadi korban body shaming saat SMP yang membuatnya berdiet ketat karena risih dipanggil “gendut” oleh teman-temannya. Berat badannya berhasil turun drastis, tapi cemoohan kembali datang yang menyebutnya si d**a datar, mirip laki-laki, dan jelek. Ketika SMA, laki-laki yang ia sukai mengatakan bahwa warna kulitnya tak seputih Rhea, wajahnya tak secantik Rhea, karena itulah ia lebih memilih Rhea untuk dijadikan pacar. Ia tak menyangka di usianya yang sekarang, ia masih saja menjadi korban body shaming bahkan oleh calon suaminya sendiri. Setiba di depan rumah, gadis itu turun dari mobil tanpa mengucap sepatah katapun pada Athar. Athar menatap langkah gontai Nabira yang seperti terpaksa diseret saat memasuki halaman rumahnya. Ia menyunggingkan seulas senyum tipis, “Kamu tidak akan pernah bisa menang dariku, Nab.” ****** Prang... Suara piring pecah menggema di segala sudut. Tak puas sampai di situ, gadis berambut panjang itu kembali mengambil mangkok berbahan pastik lalu ia lemparkan ke sudut lain. “Sudah Ra... sudah....” Nabira tercekat. Ia meraih tangan Ara agar berhenti mengambil barang dan melemparkannya. “Aku mohon jangan lempar-lempar lagi barangnya.” Setitik bulir bening bergulir. Gadis berambut panjang itu menghentikan aksinya setelah menatap perempuan istimewanya menangis. Ia ikut menangis. Disekanya air matanya berkali-kali. “Silakan kamu menikah, Nab...Silakan... Siapa yang bisa menolak cowok semapan dia. Atau mungkin kamu udah ngrasain gimana rasanya bercinta dengan laki-laki makanya kamu memilihnya dan meninggalkanku.” Gadis bernama Ara meninggikan intonasi suaranya. Ia begitu sakit... Luar biasa sakit... “Aku nggak serendah itu, Ra. Aku nggak pernah melakukan kontak fisik apapun dengannya. Mengertilah posisiku. Aku terpaksa menikah dengannya... Aku terpaksa.... Aku hanya ingin memenuhi pesan terakhir ayah dan juga permintaan ibu. Aku nggak bisa menyakiti ibu... Aku ingin ayahku tenang.... Selama hidupku, aku belum pernah membahagiakan ayah... Sekarang adalah kesempatanku untuk berbakti pada ayah meski itu sudah terlambat...” Deru tangis Nabira semakin mencekat. Ia terkulai lemas di lantai rumah Ara dengan tangis yang semakin deras. Ara terpekur menyaksikan Nabira menangis dengan duduk dan menekuk lututnya. Ia tak tega melihat kekasihnya menderita. Ia juga merasakan perih... Ia pun terluka sama seperti Nabira. Ara menundukkan badannya dan mendekatkan kepalanya pada kepala Nabira hingga kedua kening itu beradu. “Maafkan aku, Nab... Maafkan aku... Aku sudah begitu egois dan tak memahamimu... Please jangan menangis lagi...” Keduanya saling berpelukan, menumpahkan kesedihan yang tak tertahankan... Rasa sakit sedemikian menggila dan segala yang ada di d**a seakan menghimpit begitu ketat hingga sulit mengambil napas. Bagian terburuk dari jalinan cinta sesama jenis adalah perpisahan. Perpisahan yang terpaksa ditempuh atas alasan demi kebaikan bersama. Meski Ara sendiri tak bisa menjawab, ini untuk kebaikan siapa? Kebaikan Nabira? Kebaikannya? Sementara keduanya harus mengorbankan perasaan yang masih menguat. Semesta tak akan pernah tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang  begitu dalam tapi perasaan itu diartikan sebagai sesuatu yang menyimpang. Bahkan hanya jatuh cinta saja sudah dicap abnormal. Terlebih untuk hubungan yang sudah jauh, orang menyebutnya haram, dosa, sesat, melenceng, menyimpang, menjijikan.... Ya dia tahu, agama tak akan pernah membenarkan. Namun ia terlanjur mencintai Nabira begitu dalam. Dia juga tahu, suatu saat nanti mereka akan berpisah jua di saat keluarga mendesak keduanya untuk mengakhiri masa lajang. Namun saat harus dihadapkan pada kondisi itu, nyatanya ia tak pernah siap... Tak pernah siap... Biar saja kisah itu akan menjadi kenangan. Bagi Ara, Nabira tak akan pernah tergantikan. Meski sakit, terluka, kecewa, ia hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk pernikahan wanita terindahnya. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD