Pendopo

1241 Words
Iffa pov Penjelasan dari Ina tadi memang cukup masuk akal dan juga semakin membuat penasaran. Aku melangkahkan kaki dengan santai bersama Citra menuju arah balkon. Saat melewati dapur, kurasakan hembusan angin yang begitu kencang dan seperti ada yang berlarian di dalam dapur. Aku mencoba mengacuhkannya, seakan tidak ada apa-apa karena tak ingin membuat Citra takut. "Villa ini dingin banget ya, Amih. Beruntung banget lo dan Mas Jaka memilih kamar yang bersebelahan, karena sepertinya kamar kita yang bersebelahan tidak terlalu dingin dan yang pasti enggak diatas sana seperti kamar-kamar yang lainnya. Kamar yang lain, sungguh terlihat sangat menyeramkan," tukas Citra tiba-tiba. "Iya dingin banget, maka dari itu gue minta Mas Jaka untuk diingatkan bawa jaket jangan cuma satu. Ya lo tau 'kan Kak, siang hari saja dinginnya seperti ini, apalagi malam hari, pasti akan lebih dari ini hawa dinginnya." "Dan untuk masalah kamar, memang kenapa kok menyeramkan? Menurut hue biasa aja, Kak," tanyaku sedikit agak bingung. "Iya karena kamar sebelahan, jadi kita semua enggak harus naik turun seperti kamar-kamar yang diatas itu. Jelas menyeramkan, coba lo liat deh tuh ke atas, serem banget 'kan? Gelap dan lembab juga kelihatannya, memperlihatkan sekali kesan horornya," ujar Citra mendelikkan matanya ke atas mengarah kamar-kamar yang berjejer manis disana. Ia bergidik ngeri seakan melihat sesuatu. Aku mengikuti arah mata Citra dan betapa terkejutnya mataku melihat sosok yang sulit dijelaskan oleh kata-kata, karena yang bentuknya aku sendiri tidak paham itu sebenarnya apa. Tuyul? Atau kerdil? Entahlah aku tak paham. "Hehe, iya kita cari yang langsung menghadap hamparan sawah, Kak. Jadi saat bangun, buka balkon sudah disambut hamparan sawah yang indah, nikmat sekali melihat pemandangan yang luar biasa bukan. Hehe," balasku dengan cepat. Agar ia tak menyadari keterkejutanku tadi. "Amih …, " ucap Citra tiba-tiba menghentikan langkah kakinya. Ah s**t! Dia pasti melihat apa yang kulihat tadi! Kucoba menormalkan kembali keterkejutanku. Ia mencengkram kuat sekali lenganku, kulihat kukunya sampai memutih. "Hm ... kenapa?" "Itu, tadi anu ... hm ... apa ya yang lewat di atas kamar itu," ujarnya masih mencekal lenganku dan kali ini sangat kuat sampai sakit sekali rasanya. Tubuhnya bergetar, terlihat sekali wajahnya sangat ketakutan. Aku mengikuti arah mata Citra. Dan sepertinya ia memang melihat sesuatu, karena memang banyak anak kecil yang berkeliaran di sana. Tuyul? Apa iya? Ditempat seperti ini? Untuk apa ya kira-kira, pikiranku berkecamuk bingung. "Ah enggak ada apa-apa. Salah liat kali, Kak. Udah deh ah, lo jangan bikin gue was-was," ujarku mencoba biasa aja. Dan sebenarnya, agar ia tak membahasnya lagi. Citra masih diam mematung dan matanya tetap mengarah ke makhluk tersebut. Sorot matanya sangat lekat sekali, benar-benar menunjukkan ketakutan yang luar biasa. "Udah ayo ah, cepet jalannya. Kelamaan disini ngapain juga. Ayo …, " ajakku menarik tangannya sedikit agak kasar. Pusing aku melihat banyak sekali yang berseliweran. Ia terkejut karena tarikan tanganku, berjalan terseok-seok tidak siap dengan tarikan tanganku. *** Saat mereka sampai di pendopo, terlihat beberapa orang yang sedang asik menatap laptop. Iffa dan Citra merasa heran dan hanya menggelengkan kepala saja, tak habis pikir sama anak-anak tak berakhlaq itu. Bagaimana bisa mereka punya pikiran nonton film horor di tempat seperti ini coba? Gila 'kan! Emang gila anak-anak ini, tidak ada takutnya, bahkan mereka saat ini terkesan sangat menantang. "Anjir, bangke ... bikin kaget aja!" Maki Mas Nono terkejut melihat kedatangan Iffa dan Citra. "Ya Allah, Mas. Emang gue sama Amih setan apa!!" balas Citra berkacak pinggang. "Ya kalian sih, ngapain coba datang tiba-tiba!" ujarnya kesal. Mengatur nafasnya agar stabil kembali. "Haha ... itu dasar lo nya aja yang penakut b**o!" ujar Mas Tomi. Tomi Nugraha, Ia salah satu senior yang bisa dikatakan hampir sama istimewanya seperti Iffa. Tetapi, ia ini cukup sembrono segala sesuatunya. Belum kena akibatnya. Sebelumnya, ia tak pernah ikut rapat, tapi setiap kegiatan pasti datang "Santai aja. Lo lihat tuh Iffa, dia takut tapi berusaha baik-baik saja," lanjutnya menasehati. k*****t emang, kenapa harus bahas. Iffa mendelik kesal dan mendekat ke arah Mas Tomi dan menjitak kepalanya, "Aw ... Kok, gue dijitak sih, Dik," gerutunya tidak terima. Iffa hanya mendelik dan mencabikkan bibirnya yang terlihat lucu. Di sini, cuma Mas Tomi yang memanggil Iffa dengan sebutan adik. "Lo sih Mas, sekate-kate aja kalau ngomong. Terlalu bar-bar lo!" Citra ikut kesal atas ucapan Mas Tomi. Mas Tomi hanya tertawa saja seperti itu. "Kalian ngapain coba! Pada enggak ada otaknya!" bentak Iffa. "Lo juga, Mas! Lo 'kan paham disini gimana!" "Tenang, aman." "Aslinya, gue gak habis pikir sama kalian tuh beneran, kalian tuh apa-apaan sih! Di tempat kayak gini juga, malah nontonnya film horor. b**o banget! Otaknya pada dimana! Heh! Jawab gue!" maki Iffa kesal karena sikap tingkah laku seniornya itu. "Lo pada bisa mikir enggak sih! Ini tempat baru loh. Jangan mengundang bisa 'kan!!" lanjut Iffa dengan nada sedikit tinggi. "Kita 'kan enggak lagi kondangan, Amih. Ngapain mengundang sih." Jaja mencoba untuk mencairkan suasana tetapi segera dijitak oleh Mas Tomi. Ia sadar, Iffa sedang marah jadi enggak berani bantah. Menurut Mas Tomi, jika gadis itu marah maka akan terlihat sangat menyeramkan. Sebab, pernah sekali waktu, ada salah satu peserta yang berbuat kesalahan entah hanya Iffa yang tau dan ia marah besar lalu tiba-tiba langit menjadi gelap, petir menggelegar sahut-menyahut satu sama lain. Sungguh, semua itu entah kebetulan atau memang karena amarah Iffa yang luar biasa. "Kalau ada apa-apa. Siapa yang mau tanggung jawab!!" bentak Iffa pada mereka yang hanya diam mematung. "Lo juga Mas, tau kondisinya disini seperti apa dan bagaimana, kenapa jadi bikin kesel sih!! Bukan nya dilarang malah ikutan nimbrung! Lo enggak bisa apa ya ngajarin yang baik sama adik-adik tingkatnya!" ujar Iffa makin kesal. "Tadi, Mas Jaka yang cari masalah karena ngotot pada mau berenang, sekarang nonton film horor! Otak lo semua dimana! Hah!" Suara Iffa makin meninggi, menandakan ia benar-benar marah. "Santai Dik. Aman kok semuanya. Ada gue. Gue yang tanggung jawab sekarang." Mas Tomi dengan santai nya mengucapkan sesuatu hal yang membuat Iffa jengah. "Lo tanggung jawab semuanya kalau ada sesuatu?" kali ini Citra ikut angkat suara juga. Ya betul, sekali-kali Mas Tomi harus diperlakukan seperti ini. "Iya, gue tanggung jawab. Tenang," balasnya santai. "Oke, gue pegang omongan lo!" "Dasar manusia bar-bar lo semua. Enggak ada otak dan akhlak!" ujar Iffa makin kesal. "Jangan marah. Mereka justru senang dengan aura lo yang seperti ini," balas Mas Tomi santai, dengan suara yang sangat jelas di telinga Iffa. Iffa hanya meliriknya tajam, tapi Mas Tomi tidak terima penolakan. Ia melototi Iffa agar sedikit tenang. "Tuh 'kan, Mas Tomi sih. Kata Ana juga apa. Pasti kena marah, Amih," ucap Ana polos. "Emang kenapa sih, Amih? Ini 'kan masih sore, emang masalahnya apa," jawab Jaja. Ia ini, Calon Peserta yang bandelnya masyaAllah kebangetan. Bisa-bisanya berbicara seperti itu. Iffa juga paham, ini masih sore tapi tanpa mereka sadari, justru eksistensi para makhluk astral sudah mulai perlahan menunjukkan diri nya. "Yaudah ah, terserah lo semua aja. Males gue, mau balik ke kamar aja. Silahkan nonton film tapi ingat segera mandi dan masuk kamar. Nanti malam, setelah isya kumpul kembali disini," terang Iffa menjelaskan pada mereka semua. Mereka menganggukan kepalanya. Ia merasa lelah berurusan dengan mereka semua, karena tak ada gunanya. Iffa dan Citra kembali ke kamar, diikuti oleh Ana yang mengekor di belakang. Seperti nya, sejak tadi ia ingin ke kamar tapi tidak berani karena sendirian. "Kok ikut? Kenapa?" tanya Citra bingun. "Hehe, dari tadi mau ke kamar. Tapi takut sendirian. Mau mandi, Kak." Benar dugaan Iffa, ia takut berjalan sendirian ke kamar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD