Banyak Teman

1184 Words
“Hei, Ga, Bi,” sapa beberapa orang gadis yang menjadi teman baru Raga maupun Bian. Meski beda jurusan, namun mereka cukup terbuka untuk berteman. Selain itu ada salah seorang dari mereka yang merupakan teman saat SMA. “Baru selesai kelas?” tanya salah seorang dari mereka, seorang gadis berambut pendek dengan hiasan jepit rambut di bagian kiri poni. Gadis itu berjalan di samping Raga dan seorang lagi di sebelahnya. Sementara dua orang gadis juga berjalan di samping Bian dan tampak mengukir tawa renyah kala Bian menjawab sapaannya. “Iya. Bagaimana denganmu? Setahuku teman yang satu kejuruan denganmu sudah pulang setengah jam yang lalu,” jawab Raga. Gadis bernama Ririn yang berjalan di sebelah Raga tampak menggaruk belakang kepala. “Hehe, iya sih. Aku dan teman-teman sengaja menunggumu selesai kelas,” jawabnya tanpa ada yang ditutup-tutupi.  Raga yang mendengarnya hanya tersenyum tipis. Seperti ini lah kehidupannya di kampus. Kuliah, juga dikelilingi banyak teman terutama para gadis. Namun hal itu tak akan menggoyahkan niatnya kuliah. Sama halnya saat SMA, meski banyak para gadis yang menyatakan cinta, namun ia selalu menolaknya dengan cara halus. Sekalipun ia bisa memanfaatkan mereka, ia tak akan melakukannya. Mungkin salahnya juga, karena ia yang terlalu ramah pada semua orang. Tapi mau bagaimana lagi? Memang seperti itulah kepribadiannya.  “Hei … para gadis, menyikir!” Raga dan Bian juga para gadis yang berjalan bersama mereka seketika menghentikan langkah saat tiga orang pemuda berdiri menghadang mereka.  Tap! Tap! Tap! Dua orang pemuda melangkah dan mengusir gerombolan gadis di sebelah Raga dan Bian.  “Hei! Apa yang kau lakukan?!” teriak gadis-gadis itu tak terima namun pada akhirnya mereka terusir.  “Waktu kalian telah habis. Hush .. hush …” kata kedua pemuda kembar yang mengusir para gadis. Mereka berdiri tegap dengan bersedekap d**a membelakangi Raga dan Bian dan seolah menjadi tameng dari para gadis itu agar tak lagi mendekat. Sementara pemuda yang sebelumnya berdiri di hadapan Raga dan Bian, melangkah dan berhenti tepat di antara Raga dan Bian. Ia membalikkan badan kemudian merangkul keduanya. “Nah, kalian selamat,” ucapnya dengan mengukir tawa lebar.  “Hahaha, sialan kau, Yo,” ujar Bian dengan meninju kecil perut Yoga, temannya saat SMA dan kini kembali menjadi temannya satu kelas karena mengambil jurusan yang sama yakni jurusan bisnis. Sementara Raga terlihat berdecak meski diikuti tawa kecil setelahnya.  “Hei, Ga, kau itu harus sedikit tegas pada mereka, tahu!” seru Yoga yang melepas rangkulannya pada Raga dan Bian kemudian memasukkan kedua tangan masuk saku celana.  “Benar, tuh, Ga, sisakan juga para gadis untuk kami,” sahut Gio dan Zio, pemuda kembar yang sebelumnya mengusir para gadis. Mereka kini berjalan di sebelah Raga. “Memangnya aku memakan mereka?” jawab Raga disertai kekehan ringan. “Hah … terserah kau saja lah, orang tampan mah bebas,” celetuk Zio dengan mengedikkan bahu. “Hei, kau pikir cuma dia yang tampan? Aku juga tampan, oi!” sahut Bian penuh kebanggaan.  “Hahahaha,” kelakar tawa pun membahana dari kelima pemuda yang saat ini berjalan melewati koridor kampus. Gelak tawa mereka pun mengundang perhatian para mahasiswa lain yang melihat. Ceria dan penuh tawa adalah kehidupan perkuliahan yang wajar di saat awal masuk semester pertama dengan gelar sebagai mahasiswa baru.  “Hei, kalian nanti malam pergi ke pesta kan?” tanya Yoga dengan menoleh menatap Raga dan Bian bergantian.  “Tentu saja, memangnya kau tidak?” jawab Bian yang juga kembali mengajukan pertanyaan. “Tentu saja kami datang,” jawab Yoga dengan menunjuk dirinya sendiri dan pada kedua sahabatnya. “Hei, awas saja jika kalian nanti malam mengambil tempat kami, ya. Kalian sudah terlalu sering tebar pesona, jadi nanti malam biarkan kami yang mengambil alih,” ucapnya kemudian. “Kalau soal itu biarkan para gadis yang bicara,” jawab Bian seraya mengangkat kepala congkak kemudian sengaja mempercepat langkah di depan Yoga. Ia bahkan sengaja berjalan layaknya prajurit. “Woi! Dasar! Awas kau ya!” Brugh! Yoga melompat ke punggung Bian dan membuat Bian nyaris saja jatuh. Namun ia berhasil mempertahankan keseimbangan. Gelak tawa pun kembali terlontar dari mereka. Jika dilihat mereka masih seperti pemuda tanpa beban dengan persahabatan yang kental dan hangat. Dan memang seperti itulah kenyataannya. Raga hanya mengukir tawa kecil melihat kelakuan teman-teman di sekitarnya. Dan entah kenapa tiba-tiba saja ia tak ingin kehilangan momen seperti ini sampai ia lulus.    *****  Malam telah tiba dan waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Sesuai rencana saat ini Bian telah menunggu Raga di depan rumah Raga. Ia tampil menawan dengan celana jeans warna navy dipadukan dengan kemeja kerah mandarin berwarna putih dibalut cardigan rajut warna abu tua. Dan sepasang sepatu cats hitam putih menjadi penyempurna penampilannya malam ini. “Hm … selalu tampan,” gumam Bian saat ia menatap pantulan wajahnya pada kaca spion motornya.  “Sayangnya tidak terlalu tampan,” celetuk Raga yang tiba-tiba telah berdiri di belakang Bian. Tak mau kalah dari Bian, malam ini Raga tampil sempurna meski hanya mengenakan sweater lengan panjang warna abu tua dengan dalaman kemeja kerah warna putih dan celana joger dengan warna senada. Sneakers warna putih menjadi pilihannya malam ini. Rambut emonya yang sedikit panjang dikuncir sebagian dan menyisakan anak rambut yang tak terikat. Sementara dari depan poni menyampingnya membuatnya terlihat seperti aktor korea didukung dengan wajahnya yang rupawan.  “Heee … kenapa kau pakai warna yang sama?!” pekik Niko dengan menarik cardigan yang dipakainya dan sweater Raga.  “Mana kutahu,” jawab Raga enteng dengan mengedikkan bahu. “Ah, sudahlah cepat berangkat,” perintahnya. Ia yang sebelumnya telah membawa helm miliknya sendiri segera memakainya dan naik ke atas motor CBR 250 RR milik Bian.  “Kau yang depan kenapa, Ga?!” dengus Bian karena Raga tak berniat menggantikan posisinya di depan. “Dingin, tahu!” imbuhnya seraya memakai helm.  “Maka dari itu aku di belakang,” jawab Raga tanpa rasa bersalah. “Huuh, dasar!” sela Bian dengan dengusan. Akhirnya tanpa ingin lebih lama berdebat, ia segera menghidupkan start motornya kemudian berangkat menuju pesta yang bertempat di salah satu rumah senior panitia ospek kemarin. Pesta ini sama sekali tak ada hubunganya dengan kegiatan kampus. Acara ini murni sebagai penyambutan non resmi dari para senior agar lebih dekat dengan mahasiswa baru yang akan menjadi junior mereka.  Dalam perjalanan sesekali keduanya mengobrol ringan dimana Raga yang duduk di belakang bertugas sebagai penunjuk arah dengan melihat maps.  “Hei, kau yakin ke sini?” tanya Bian memastikan saat Raga memberi arahan dan memasuki jalanan yang cukup sepi.  “Di sini menunjukkan demikian,” jawab Raga dengan menunjukkan ponselnya pada Bian.  Bian sesekali melihat layar ponsel Raga tanpa menghentikan terlebih dulu laju rendah motornya. Bahkan nyaris saja ia menabrak seekor kucing yang lewat. “Hei! Apa kau gila?!” teriak Raga saat mengetahui kucing yang menyeberang selamat. “Hei, aku tak sengaja, tahu!” balas Bian yang seketika menghentikan laju motornya dengan menepi di pinggir jalan. “Hah … untung saja kucing itu selamat,” ucapnya kemudian seraya menoleh ke belakang dan tak mendapati kucing berwarna putih yang nyaris tertabrak motornya tergeletak. “Mana, berikan padaku!” Bian merampas ponsel Raga dan ia hanya bisa mendecih. “Ya, Tuhan, Ga! Apa kau gila?!”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD