Garaga Jupiter

2042 Words
“Jadi bagaimana, Ga, nanti malam apa kau akan datang?” “Sepertinya, bagaimana denganmu?” “Tentu aku akan datang. Aku tak akan menyia-nyiakan kerja keras senior yang telah menyiapkan pesta untuk kita.” “Cih, bilang saja karena kau ingin berkenalan dengan para gadis.” “Hahahaha, tebakanmu tepat sekali. Dan tujuanku hanya satu, yaitu gadis itu.” Arah pandang Raga seketika mengarah pada arah tunjuk Bian, sahabat yang sedari tadi mengoceh dengan suara cemprengnya.  Raga alias Garaga Jupiter namanya, pemuda berusia 19 tahun yang kini tengah menempuh semester pertamanya di salah satu perguruan tinggi Bandung, saat ini tengah duduk bersama teman seangkatannya Bian Sammad di bawah pohon tanjung di taman belakang kampus. Garaga merupakan salah satu mahasiswa baru yang cukup terkenal di kampus. Selain parasnya yang tampan, ia juga cukup ramah meski tak seramah Bian. Itulah yang menjadikannya idola baru di sana mulai dari junior hingga senior.  Raga dan Bian adalah salah satu mahasiswa dari banyaknya mahasiswa yang telah menyelesaikan ospek dua minggu yang lalu. Dan seperti yang Bian katakan bahwa nanti malam diadakan sebuah acara penyambutan oleh para senior dengan mengadakan pesta kecil-kecilan. Meski tak diwajibkan untuk hadir, tapi sepertinya antusias para mahasiswa baru begitu tinggi terutama Bian yang sudah bersemangat. Dan tentu semangatnya bukan tanpa alasan. “Kau di sini untuk kuliah atau mencari pacar?” cibir Raga disertai lirikan sinis pada Bian yang duduk di sebelahnya.  “Ah, kau ini. Tentu saja keduanya, lah. Sambil menyelam minum air, tahu,” jawab Bian seraya meninju kecil bahu Raga dengan kelakar tawanya yang nyaring. Arah pandang Raga kembali pada gadis yang sebelumnya Bian tunjuk kemudian pada seorang gadis yang duduk di samping gadis itu. “Heleh, kau juga mengincar gadis di sebelahnya itu kan?! Ayo, mengaku saja,” goda Bian yang melihat Raga mengarah perhatiannya pada gadis di samping gadis incarannya. Tuk! Raga mengetuk kepala Bian dengan pinggiran telapak tangannya membuatnya terdengar mengeluh tak terima. “Apa kau gila? Dia itu Ratna teman seangkatan kita. Apa otakmu sudah karatan sampai lupa wajah temanmu sendiri?” ucapnya mencebik. Perhatiannya tertuju pada gadis itu semata untuk memastikan apakah gadis itu temannya saat SMA atau tidak dan dugaannya ternyata benar. “Hee? Iyakah? Masa?” Bian kembali mengarah pandanganya pada dua gadis yang kini duduk cukup jauh darinya. Dua gadis itu terlihat seperti tengah mendiskusikan sesuatu mengenai buku di tangan mereka masing-masing. “Heee, kau benar. Aku tak mengira banyak teman kita yang kuliah di sini!” pekik Bian yang terkejut karena tak menyadari jika gadis itu adalah temannya sendiri. Meski beda kelas tapi tetap saja mereka satu angkatan saat SMA dulu. “Alasanmu sama sekali tak masuk akal,” cibir Raga dengan memutar bola mata malas. Bian tampak tak mendengarkan ucapan Raga dan tetap mengarah pandangan pada gadis cantik berambut panjang dengan wajah nan manis dan terlihat kalem. “Hm, itu bagus. Aku bisa memintanya mengenalkanku pada gadis cantik itu,” gumam Bian namun masih dapat didengar oleh Raga. “Cih, jika kau seorang pria kau tak akan menggunakan orang lain untuk berkenalan dengan gadis incaranmu,” cibir Raga disertai decihan ringan. “Ya, Tuhan, Ga, gadis itu terlihat begitu anggun dan kalem. Aku justru tak bisa berkenalan dengan gadis selembut, seanggun dan sependiam itu. Aku butuh perantara yang memberitahuku semua tentangnya agar aku bisa menjaga sikap saat berhadapan dengannya. Kau tahu sendiri aku ini blak-blakan saat bicara, aku takut gadis cantik itu ilfeel padaku nanti,” pungkas Bian memberi alasan.  Raga hanya melirik Bian lewat ekor mata. Pemuda yang menyandang status sebagai teman juga sahabat karibnya sejak SD itu tak berubah. Sejak kecil Bian memang memiliki pribadi yang ramah dan mudah berteman dengan siapa saja, kecuali dengan gadis pendiam. Dan untuk pertama kalinya selama dua belas tahun pertemanan mereka baru kali ini Bian melirik seorang gadis dan menjadikannya incaran. “Kau bahkan belum berkenalan denganya, bagaimana bisa kau menilainya kalem dan pendiam?” sela Raga yang lagi-lagi hanya bisa memutar bola mata malas.  “Hah …” Helaan nafas berat terdengar lolos dari mulut Bian. Ia membungkuk meletakkan siku tangannya bertumpu di atas paha. Arah pandangnya tak sedikitpun teralihkan dari gadis yang belum ia ketahui namanya itu. “Kemarin aku tak sengaja bertabrakan dengan di koridor. Tapi kau tahu apa yang ia lakukan?” Alis Raga terlihat mengernyit menatap Bian dari samping. “Dia memarahimu?” tebaknya. Bian menggeleng sebagai jawaban kemudian menoleh menatap Raga. “Ayo tebak lagi,” perintahnya.  “Dia meminta kau bertanggung jawab?” tebak Raga kembali dan seketika membuat Bian menegakkan punggungnya. “Hei! Apa katamu?! Aku bahkan tak pernah menyentuhnya!” pekik Bian dimana semburat kemerahan terlihat menghiasi wajahnya. “Pft ... “ Raga memegangi perutnya menahan tawa. “Sekarang aku tahu apa yang ada di otak kotormu,” ucapnya kemudian dengan tangan yang terkepal berada di depan mulut berusaha agar kelakar tawanya tak meledak.  “Hei! Apa katamu?!” Wajah Bian kian memerah sempurna. Padahal niat sebelumnya hanya bercanda, tapi Raga menganggapnya sungguhan. Tapi sepertinya hanya alasannya saja, wajah yang memerah tak bisa membohongi kenyataan. “Dasar bodoh. Kau pikir bertanggung jawab hanya saat kau menghamili seorang gadis?” ucap Raga di sela tawanya yang terus ia tahan.  “Tsk. Aku kan hanya bercanda. Kau saja yang menganggapnya serius,” kata Bian seraya menoleh membuang muka dari Raga.  “Ah tidak-tidak. Aku melihat sesuatu yang berbeda. Apa itu artinya kau benar-benar jatuh cinta?” goda Raga seperti tak mempedulikan Bian yang jengkel. “Tsk, kuberitahu, kau hanya kagum dengan kecantikannya. Kau baru masuk kuliah, tahun depan kau akan jadi senior dan melihat gadis baru yang lebih cantik lalu kau akan melupakannya,” ucapnya kemudian dengan merangkul bahu Bian. Bukan bermaksud untuk mematahkan semangat Bian, ia hanya ingin mengingatkan. “Tsk. Kau ini terlalu berlebihan. Kita ini pria dan sudah dewasa, jadi jatuh cinta kan hal yang wajar,” ucap Bian yang menatap Raga dengan raut wajah sedikit lebih serius dari sebelumnya. “Dan kau ini, harusnya sebagai teman kau mendukungku tahu,” ucapnya kemudian dengan melepas rangkulan Raga dari bahunya. Raga terkekeh ringan. “Terserah kau saja lah,” batinnya. “Ah, sudahlah, sebaiknya kita segera ke kelas. Aku tak mau dosen killer itu menghukum kita jika terlambat.” Bian bangkit dari duduknya dan mengajak Raga segera ke kelas karena kelas akan dimulai setengah jam lagi. Daripada terlambat memang lebih baik datang sebelum waktunya. Lain daripada itu juga untuk mengalihkan topik pembicaraannya dengan Raga. Raga pun mengikuti Bian dan berjalan bersama menuju kelasnya di lantai dua. Selama berjalan menuju kelas tak jarang mereka berdua menjadi incaran beberapa pasang mata. Wajar memang, bukan hanya Raga, Bian juga memiliki wajah lumayan tampan dengan sikapnya yang humoris dan terlampau ramah. “Bi, Ga!” Baik Bian dan Raga menghentikan langkah saat mendengar nama mereka dipanggil. Keduanya pun menoleh dan mendapati seorang gadis berlari kecil ke arah mereka. “Hah … hah … hah ….” Nafas gadis itu tersengal dengan kedua tangan bertumpu lutut saat berhenti di hadapan Raga dan Bian. Alis Bian dan Raga mengernyit dimana mereka saling tatap satu sama lain. “Apa kau mengenalnya?” batin Bian maupun Raga lewat tatapan mereka masing-masing.  “E … hehe, maaf, ada apa?” tanya Bian dengan menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. Jujur saja ia bingung, seingatnya ia tak memiliki teman seperti gadis yang saat ini telah menegakkan punggungnya dan menatapnya juga Raga bergantian. Ah, lebih tepatnya ia memang tak mengenalnya.  “Hehe, tidak apa-apa. Kenalkan, namaku Cindy,” kata gadis itu seraya mengulurkan tangannya pada Raga.  Raga melirik Bian sekilas namun akhirnya menerima uluran tangan gadis bernama Cindy itu. “A … Raga,” jawab Raga sekenanya. Sudah biasa memang jika ada seorang gadis yang ingin berkenalan dengannya, hanya saja Cindy sampai berlari mengejarnya itu yang tak biasa.  Cindy melepas jabat tangannya dengan malu-malu dimana semburat kemerahan pun tampak menghiasi wajahnya.  “Bagaimana denganku?” seru Bian yang menunjuk wajahnya sendiri dengan jari telunjuk. Meski tentu ia tahu gadis yang memperkenalkan diri dengan nama Cindy itu sudah tahu namanya mengingat gadis itu memanggil namanya dan Raga sebelumnya. Cindy tampak tersenyum malu dan segera mengulurkan tangannya pada Bian. “Maaf, namaku Cindy,” cicitnya. Tujuannya yang sebenarnya hanyalah Raga tapi ia juga tak bisa mengabaikan Bian karena Bian adalah sahabat Raga. “Hoho … Cindy, nama yang manis seperti orangnya,” kata Bian seraya melepas jabat tangannya dengan Cindy dan merekahkan senyuman ramah. “Jadi … Cindy, ada yang bisa kami bantu?” tanya Bian kemudian.  “A … ti-- tidak, sebelumnya aku minta maaf karena sudah mengganggu waktu kalian,” jawab Cindy dengan menyelipkan anak rambut ke belakang telinga.  “Hehe, tidak mengganggu, kok. Kebetulan masih ada waktu sebelum kelas dimulai,” sahut Bian menimpali. Sementara Raga hanya diam mendengarkan.  “Be-- begini, apa kalian nanti malam akan datang ke pesta yang para senior adakan?” Cindy bertanya dengan suaranya yang lembut yang mana arah pandangnya lebih tertuju pada Raga meski sesekali melirik Bian.  “Sepertinya kami akan datang, kenapa?” Kali ini Raga yang bersuara.  Wajah Cindy tampak bersemu merah hanya karena mendengar suara Raga yang menjawab pertanyaannya. “Um … begini, sebenarnya … aku ingin datang tapi tidak tahu dengan siapa. Bagaimana jika aku ikut dengan kalian? Bolehkah? Ah, maksudku, mungkin kita bisa datang bersama-sama. Semua teman-temanku bilang mereka tak akan datang. Dan tadi samar-samar aku mendengar pembicaraan kalian bahwa kalian akan datang nanti malam,” papar Cindy yang menjelaskan alasannya. “Ta-- tapi, maaf, aku sama sekali tak menguping. Aku hanya tak sengaja mendengar kalian mengatakan akan datang ke pesta nanti malam,” imbuhnya saat menyadari penjelasannya terdengar ambigu karena mengatakan jika ia mendengar seakan ia menguping pembicaraan Raga dan Bian.  “Oh … Bagaimana menurutmu, Ga?” tanya Bian dengan menyikut ringan lengan Raga.  Raga menatap Bian seolah memberinya isyarat untuk menjawab.  Kelakar tawa Bian merekah dimana ia menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. “Tapi kami berangkat tidak membawa mobil, bagaimana kau akan ikut bersama kami?”  “Ah, itu tidak masalah, kita bisa pergi menggunakan mobilku,” pungkas Cindy segera. Sepertinya ia sangat antusias dan ingin pergi bersama Raga dan Bian. “Bagaimana jika kita bertemu di sana saja?” sahut Raga memberi usulan. Sepertinya ia mulai mencium bau-bau kesengajaan.  Bian menjentikan jarinya menyetujui saran Raga. “Ah, iya, Raga benar. Yang penting di sana kau tidak sendiri, kan? Sebaiknya kita bertemu di tempat pesta saja,” sahutnya membenarkan perkataan Raga. “A-- ta-- tapi ….”  “Lagi pula akan sangat merepotkan jika kau harus menjemput kami, kan? Rumah kami jauh dari jalan besar, yang ada mobilmu tak bisa masuk ke daerah rumah kami,” sambung Bian kembali sebagai alasan. Meski alasannya itu tak sepenuhnya benar. Rumahnya dan Raga memang jauh dari jalan besar tapi mobilnya masih dengan mudah bisa lewat.  Merasa tak punya lagi alasan untuk memaksa keduanya, akhirnya senyum putus asa terukir di bibir Cindy. “A … be-- begitukah? Baiklah, kalau begitu tidak apa-apa. Tapi, boleh aku minta nomormu, Raga? Mungkin aku bisa menghubungimu jika sudah sampai sana atau sebaliknya,” pinta Cindy dengan menaikan ekspresi keimutan wajahnya.  “Pft ...” Raga ingin tertawa namun segera menahannya, sayangnya dalam hati ia sudah tertawa terbahak. Dugaannya benar, ia sudah tahu jika pada akhirnya pasti akan berujung seperti ini. Helaan nafas ringan lolos dari mulutnya kemudian mengangguk kecil sebagai jawaban. Ia pun mengeluarkan ponsel dari saku celana dan memberikan nomornya pada Cindy. Tawa Cindy merekah, ia segera mengambil ponselnya dari dalam tas dan mencatat nomor Raga. “Terima kasih,” ucapnya dengan senyum lebar menghiasi wajah.  “Ya … kalau begitu sampai jumpa nanti malam, Cind. Sepertinya kelas akan dimulai sebentar lagi. Senang berkenalan denganmu. Oh, ya, kau jurusan apa?” ujar Bian dengan sedikit berbasa-basi agar tak terlihat jelas jika ia ingin segera pergi. “Ah, aku? Aku mengambil jurusan desain,” jawab Cindy dengan ekspresi wajahnya yang masih menunjukkan raut sumringah. Sepertinya hanya mendapat nomor Raga saja sudah membuatnya sangat senang.  “Baiklah, sampai jumpa,” ucap Raga dengan melambaikan tangan ringan kemudian berbalik dan melangkah meninggalkan Cindy yang masih berdiri di sana menatap punggungnya. Bian pun mengikuti dan juga melambai dengan melempar senyum ramah pada Cindy yang terlihat tersnyum manis hingga matanya menyipit.Namun tanpa Raga maupun Bian ketahui, senyum manis yang sedari tadi Cindy tunjukkan tiba-tiba saja berubah menjadi seringai tipis.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD