1. Dipalak Ibu dan Kakak

1706 Words
“Lea!” Teriakan itu telah menggema di gudang minimarket sejak beberapa saat yang lalu. Namun, sang empunya nama tak kunjung menampakkan batang hidungnya. “Lea! Aku tahu kau ada di sini! Cepat keluar!” Wanita dengan rambut dicepol itu kembali berteriak sembari berkacak pinggang. Wajahnya terlihat kesal kala orang yang dipanggilnya tak kunjung keluar. “Di mana anak itu?” gerutunya mendecak. “ELEANOR!” teriaknya lagi. Dan saat ia hendak berteriak kembali, seorang wanita berambut blonde sebahu tiba-tiba mengintip dari balik rak. “Ivy, kau memanggilku?” tanya wanita yang dipanggil Eleanor tersebut. “Sudah kuduga kau ada di sini. Aku memanggilmu dari tadi. Apa kau tidak mendengarku?” gerutu Ivy kesal. “Maaf. Tadi aku memakai earphone, jadi suaramu tidak terdengar jelas,” ujar Eleanor cengengesan. “Sudah kubilang kau harus menghilangkan kebiasaan burukmu yang selalu pakai earphone saat bekerja,” omel Ivy. “Iya, iya. Aku mengerti,” gumam Eleanor terkekeh kecil. “Sudahlah. Ayo, keluar. Sekarang waktunya ganti shift,” ajak Ivy. “Eh, sudah waktunya?” tanya Eleanor terkejut kemudian segera mengecek jam tangannya. Dan benar saja, jam telah menunjukkan pukul 12 siang. Itu artinya, sekarang gilirannya yang berjaga di kasir. Eleanor lalu buru-buru meletakkan kertas dan pulpennya di atas rak dan bergegas menyusul Ivy yang telah berjalan lebih dulu. “Entah kau baru saja pulang dari planet mana sampai tidak sadar waktu,” oceh Ivy memutar bola matanya. “Aku terlalu sibuk mendata barang yang baru masuk hari ini, jadi tidak sadar sudah jam begini,” elak Eleanor membela dirinya. “Kenapa kau tidak jadi pengacara saja? Semakin hari kau semakin pandai membela dirimu,” cibir Ivy sembari membereskan barangnya di dalam lemari loker. “Jika aku jadi pengacara, kau tidak akan bisa bertemu denganku,” ucap Eleanor percaya diri. “Tidak masalah. Aku akan mencari teman yang lebih baik darimu,” balas Ivy tersenyum miring. “Tapi, kau tidak akan bisa menemukan teman yang lebih baik dariku. Kenapa? Karena, aku satu-satunya orang yang mampu menahan serangan badai darimu,” tutur Eleanor dengan senyum bangga. Ivy mendengus sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia sungguh tidak bisa menang melawan Eleanor. “Sudahlah. Aku harus segera pulang, orang tuaku tiba-tiba datang pagi ini.” “Tidak masalah. Tolong sampaikan salamku untuk orang tuamu. Katakan aku sangat merindukan mereka,” ujar Eleanor. “Kau merindukan orang tuaku atau masakan Ibu-ku?” cibir Ivy. “Keduanya,” jawab Eleanor lalu tertawa yang membuat Ivy ikut terkekeh. “Baiklah. Kalau begitu, aku akan pergi sekarang,” pamit Ivy kemudian keluar dari ruang ganti. “Hati-hati di jalan,” seru Ivy melambaikan tangannya. Sepeninggal Ivy, Eleanor ikut keluar dari ruang ganti menuju meja kasir. Hari ini minimarket tampak agak sepi dari biasanya yang membuat Eleanor memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan bermain game. Untungnya ia telah selesai mendata barang baru yang masuk hari ini, jadi ia bisa bermain game dengan tenang. Eleanor Chatarina Josephone. Ia adalah seorang wanita cantik yang memiliki lesung pipit di kedua pipinya. Di usianya yang telah menginjak 25 tahun, Eleanor harus bekerja keras untuk menghidupi ibu dan kakaknya. Untuk itu, Eleanor terpaksa harus mengambil 2 shift sekaligus di minimarket dan bekerja di kafe di hari yang sama. Jika bisa, ia akan mengambil lebih banyak pekerjaan paruh waktu untuk mendapatkan uang lebih banyak. Namun, Eleanor sadar bahwa dirinya bukan robot. Ia tak bisa bekerja selama 24 jam dalam 7 hari penuh. Tubuhnya bisa runtuh jika lebih dipaksakan lagi. Tak berapa lama, perhatian Eleanor teralihkan ketika seorang pria bertubuh tinggi tegap masuk lalu berjalan menuju lemari pendingin dan mengambil sebotol air mineral. Setelahnya, pria itu berjalan menuju rak makanan dan mengambil 3 bungkus roti. Seusai mengambil barang belanjaannya, pria tersebut kembali melangkahkan kakinya menuju meja kasir yang langsung disambut oleh Eleanor. “Totalnya 10 dolar,” ucap Eleanor seraya memasukkan air botol dan roti-roti tersebut ke dalam kantong plastik. Setelahnya, ia menerima uang kertas 10 dolar pas dari pria tersebut. “Terima kasih,” ucapnya dengan suara serak dan berat kemudian keluar dari minimarket sembari membawa barang belanjaannya. Sepeninggal pria itu, Eleanor memiringkan kepalanya bingung. Entah kenapa ia merasa ada yang aneh dari pria tersebut, meski ia sendiri tak tahu apa hal aneh itu. Eleanor hanya merasa jika pria itu tidak seperti orang pada umumnya. Tak ingin berpikir terlalu banyak, ia kembali memainkan bermain game di ponselnya untuk mengusir kebosanan. Hingga tanpa sadar beberapa jam telah berlalu dan seorang pria masuk ke minimarket. Saat Eleanor mendongak, ia mengulas senyum ketika melihat bahwa pria itu adalah Frank. Rekan kerja yang akan berganti shift dengannya. “Kau sudah datang,” sapa Eleanor. “Kau sudah menunggu lama,” balas Frank sambil berlalu menuju ruang ganti untuk meletakkan tasnya. “Tidak selama menunggu hari gajian tiba,” seru Eleanor seraya mengikuti pria itu ke ruang ganti untuk mengemas tasnya. Frank lantas terkekeh. “Semua orang menunggu lama untuk itu.” “Kalau begitu, sekarang giliranmu untuk menunggu. Bekerjalah dengan baik, Kawan,” ucap Eleanor sembari menepuk pundak Frank yang membuat pria itu kembali tertawa. “Siap, Bos!” serunya. “Bagus. Aku akan pergi sekarang. Ingat, jangan merindukanku,” gurau Eleanor kemudian beranjak dari sana dengan disertai tawa Frank. “Kau yang jangan merindukanku,” sahut Frank geleng-geleng kepala. “Tidak akan. Aku pergi. Bye,” pamit Eleanor kemudian benar-benar pergi dari minimarket. Eleanor berjalan menuju halte bus yang berjarak kurang lebih 1 km dari minimarket. Bertepatan dengan ia yang tiba di halte bus, bus yang mengarah ke tempat tujuannya juga berhenti di depan halte. Tanpa pikir panjang, Eleanor langsung masuk ke bus dan melaju hingga 2 halte berikutnya. Setelah bus berhenti, Eleanor turun dan kembali berjalan dengan jarak kurang lebih 500 meter dari halte bus hingga akhirnya ia tiba sebuah cafe yang buka 24 jam. “Kau sudah datang, Lea,” sambut seorang pria dengan tubuh sedikit berisi yang merupakan seorang barista di cafe, Jordan. Pria itu tengah membersihkan peralatannya di area minuman. “Aku juga merindukanmu, Jor,” balas Eleanor seraya mengedipkan mata yang membuat pria itu terkekeh geli. “Aku yang bosan melihatmu,” celetuk Shanon, yang bertugas di bagian kasir. “Aku juga mencintaimu, Shan,” goda Eleanor lalu memberikan kecupan jauh padanya yang membuat wanita itu mendengus. “Dasar gila,” cibir Shanon yang mengundang tawa Eleanor dan Jordan. “Sepertinya hari ini mood-mu sedang baik,” sahut Jordan. “Begitulah,” balas Eleanor. Setelahnya, ia beranjak menuju ruang ganti lalu mengganti bajunya dengan baju khusus disertai celemek yang disediakan oleh pemilik cafe. Seusai mengganti baju, Eleanor keluar dan segera melakukan pekerjaannya sebagai pelayan. Mulai dari membersihkan meja kotor yang telah digunakan hingga mengantar pesanan pelanggan. *** Hari sudah gelap dan bulan telah menampakkan cahayanya. Eleanor berdiri di depan sebuah rumah sederhana berlantai 2. Ia menatap rumah tersebut selama beberapa saat. Itu adalah satu-satunya peninggalan yang tersisa dari mendiang ayahnya yang meninggal 3 tahun lalu karena kecelakaan. Karena itu pula, Eleanor terpaksa tidak melanjutkan pendidikannya dan harus bekerja serabutan menggantikan mendiang ayahnya. Uang hasil ganti rugi atas kecelakaan dan harta peninggalan mendiang ayahnya telah habis digunakan oleh ibu dan kakaknya yang gemar berfoya-foya. Itulah yang membuat Eleanor harus menanggung beban berat di kedua pundaknya. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya membuka pintu gerbang lalu melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. “Ma! Lea sudah pulang!” teriak seorang wanita berambut panjang kemerahaan yang tengah berbaring di sofa sambil menonton siaran televisi begitu melihat kedatangan Eleanor. Dia adalah Yelena Elizabeth Josephone, kakak kandung Eleanor yang lebih tua 2 tahun darinya. Tak berapa lama kemudian, Margaret –sang ibu- segera berlari keluar dengan tergopoh-gopoh menyambut kedatangan putrinya dengan senyum lebar. “Kau sudah pulang, Lea,” sahut Margaret menghampiri Eleanor. “Mana?” tanyanya dengan mata berbinar mencari sesuatu di kedua tangan putrinya. “Aku belum terima gaji, Ma,” ucap Eleanor lemah. “Jangan bohong! Mama tahu kalau hari ini adalah tanggal gajianmu. Setiap bulan juga selalu di tanggal ini,” tuduh Margaret marah. “Dasar pelit! Uang sedikit saja kau sembunyikan dari kami,” cibir Yelena dengan ketus. “Aku tidak bohong dan aku tidak berniat menyembunyikannya. Tapi, aku benar-benar belum terima gaji hari ini. Bosku sedang berada di luar kota dan baru akan kembali minggu depan,” tutur Eleanor menjelaskan. “Apa?! Minggu depan?! Lalu, apa yang harus kulakukan selama satu minggu ini? Uangku sudah habis!” bentak Margaret panik. “Aku juga! Kau pikir uang yang kau hasilkan selama ini cukup untuk kami? Itu bahkan hanya bertahan selama 1 jam,” sambung Yelena mendelik. “Kalau begitu, kenapa kau juga tidak bekerja jika uang dariku tidak cukup?” dengus Eleanor. “Bicara apa kau?! Beraninya kau menyuruh Yelena bekerja. Dia tidak pantas untuk melakukan pekerjaan kasar sepertimu. Dia harus merawat tubuhnya yang halus untuk memikat pria kaya. Kau pikir hanya dengan mengandalkanmu saja sudah cukup? Kita harus mencari cara lain untuk keluar dari lingkaran kemiskinan ini,” maki Margaret marah. “Lagi pula, beberapa hari lagi adalah ulang tahun Yelena. Kita harus membelikan dress yang mahal untuknya. Tapi, sekarang kau malah menyembunyikan gajimu dari kami,” sungutnya. “Benar. Aku tidak bisa membuang-buang waktuku dengan bekerja sepertimu, karena aku ditakdirkan untuk menjadi istri pria kaya. Tapi tenang saja, aku akan membawamu juga jika aku berhasil nantinya,” tutur Yelena angkuh. “Terserah. Aku lelah dan ingin istirahat,” gumam Eleanor kemudian beranjak dari sana. “Lea! Eleanor! Kau mau ke mana? Aku masih belum selesai bicara! Eleanor!” pekik Margaret yang diliputi amarah. “Sudahlah, Ma. Tidak usah pedulikan dia,” sahut Yelena. “Dasar anak tidak tahu diri itu!” rutuk Margaret kesal. Eleanor membuka pintu kamarnya yang terletak di lantai 2 rumah. Itu hanya berupa ruangan yang lebih kecil dari milik kakak dan ibunya. Ia lalu melempar tubuhnya ke atas tempat tidur seraya mendesah lelah. Ingin rasanya Eleanor menghilang dari dunia ini saja. Setelah menjalani rutinitas melelahkan yang sama setiap hari tanpa istirahat, ia juga masih harus berdebat dengan ibu dan kakaknya setelah pulang ke rumah. Eleanor bahkan tak memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Tapi, satu-satunya keluarganya hanya memikirkan uang, uang, dan uang. Namun, ia juga tak bisa mengabaikan mereka dan pergi begitu saja. Bagaimanapun, hanya mereka keluarga yang dimilikinya saat ini. Eleanor menghela napas berat. Ia lelah dan sangat ingin mengakhiri semua ini. *** To be continued.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD