2. Dijual Ibu

1396 Words
Eleanor menatap pantulan dirinya di cermin. Malam ini penampilannya tampak berbeda dari biasanya. Dress hitam yang terlihat kontras dengan kulit putihnya terlihat sempurna di tubuhnya. Agar tidak terlalu polos, ia menyematkan sebuah jepitan di sisi kanan rambut pendeknya. Hari ini adalah hari ulang tahun Yelena, sang kakak. Sebenarnya tidak ada yang spesial baginya di hari yang paling penting bagi kakaknya itu. Karena setiap tahun pun Eleanor akan melewati harinya seperti biasa. Hanya Yelena dan Margaret yang akan berpesta. Tapi, entah kenapa berbeda untuk tahun ini. Sudah beberapa hari ini, Yelena dan Margaret terus ribut untuk mengingatkannya agar datang ke pesta ulang tahun sang kakak. Mereka bahkan sampai membeli dress untuk ia kenakan di pesta tersebut. Padahal baru beberapa hari yang lalu keduanya mengeluh tidak memiliki uang. Namun begitu, Eleanor tak terlalu memikirkan hal tersebut dan terpaksa cuti dari tempat kerjanya di cafe agar bisa menghadiri pesta ulang tahun Yelena. Setelah mengenakan heels-nya, Eleanor keluar dari kamar lalu turun ke bawah di mana Yelena dan Margaret telah menunggunya. “Kenapa kau lama sekali? Pesta ulang tahunku akan segera dimulai. Bagaimana bisa pemilik pesta datang terlambat? Kau sengaja ingin mempermalukanku? Mentang-mentang ini bukan pestamu! Harusnya kau bersyukur sudah kuundang ke pestaku,” gerutu Yelena bersedekap dadaa kesal. “Sudah. Jangan marah-marah, nanti riasanmu luntur,” sahut Margaret dengan lembut menenangkan putrinya. “Hah! Andai bukan karena itu, aku pasti tidak akan memembiarkanmu datang!” rutuk Yelena yang membuat Margaret terperanjat kaget. Eleanor mengerutkan keningnya. “Itu? Apa maksudmu?” “Bukan apa-apa. Kau tahu, dia memang selalu mengatakan hal yang tidak penting jika sedang marah,” celetuk Margaret terlihat gugup. “Sudahlah. Ayo, pergi sekarang. Kita benar-benar akan terlambat.” Tanpa basa-basi lagi, Margaret langsung menarik kedua putrinya keluar rumah lalu masuk ke dalam taksi online yang telah tiba beberapa saat lalu. Mobil tersebut kemudian melaju dengan kecepatan rata-rata menuju hotel yang menjadi tempat Yelena merayakan ulang tahunnya. Tak butuh waktu lama, mereka tiba di hotel tersebut. Dengan tergesa-gesa, Yelena dan Margaret menyeret kaki mereka menuju ballroom hingga tak sadar jika Eleanor tertinggal di belakang. Setibanya di depan pintu ballroom, langkah Yelena dan Margaret terhenti yang membuat Eleanor ikut menghentikan langkahnya. “Ma, bagaimana penampilanku? Apa rambutku berantakan? Riasanku baik-baik saja, ‘kan? Lalu dress-ku, apa dress-ku sudah sempurna?” tanya Yelena sembari sibuk merapikan penampilannya. “Iya, Sayang. Kau sudah cantik. Kau putriku yang paling cantik di dunia. Tidak akan ada yang bisa mengalahkan kecantikanmu malam ini,” tutur Margaret seraya tersenyum lebar penuh percaya diri. “Aku tahu,” gumam Yelena angkuh. Sementara itu, Eleanor memalingkan pandangannya ke arah lain. Saat ini, ia sedang memikirkan alasan ia diikutsertakan dalam pesta ulang tahun Yelena jika dirinya bahkan seolah tak dianggap di sini? Eleanor juga terus memikirkan ucapan Yelena sebelum mereka pergi tadi. Apa maksudnya dengan itu? Margaret juga terlihat gugup saat menjawabnya. Kenapa mereka berdua bersikap aneh hari ini? Lamunan Eleanor buyar ketika pintu ballroom akhirnya terbuka. Mata Eleanor langsung menyapu seisi ballroom yang telah dihuni oleh beberapa orang yang tak ia kenal. Hampir semuanya adalah orang-orang seusia Yelena dengan menggunakan barang-barang dari brand terkenal. Dalam sekejap, Yelena dan Margaret menghilang di balik kerumunan orang yang menyambut kedatangan keduanya dengan heboh. Eleanor yang merasa tak dianggap memutuskan untuk menyendiri di meja kosong yang terletak di sudut ruangan. Lagi pula, ia tak mengenal satu orang pun yang ada di sana. Selama beberapa saat, Eleanor hanya duduk diam di tempatnya seperti orang bodoh di antara banyaknya orang yang saling mengenal satu sama lain. Sampai tak lama kemudian, semua orang duduk di kursi masing-masing dan Yelena memulai ritual pesta ulang tahunnya. Menyanyikan lagu ulang tahun, meniup lilin, memotong kue, kemudian Yelena menyuap potongan kue tersebut pada Margaret. Tepuk tangan meriah lantas terdengar begitu ketiga ritual tersebut selesai. Satu per satu dari para tamu pun menghampiri Yelena untuk memberikan hadiah. Sementara Eleanor hanya bisa mengamati mereka semua dengan wajah datar tanpa minat sedikit pun. Tak berapa lama, seorang pelayan meletakkan segelas jus jeruk di hadapannya. Seraya tersenyum, Eleanor mengucapkan terima kasih pada pelayan tersebut. Sepeninggal pelayan tersebut, ia langsung meminum jus jeruknya. Bertepatan dengan itu, seorang pria tiba-tiba duduk di sampingnya. “Hai,” sapa pria itu yang hanya dibalas senyum tipis oleh Eleanor. “Aku pertama kali melihatmu di pesta ulang tahun Yelena. Siapa namamu?” tanya pria tersebut. Namun, Eleanor tak menjawab dan justru mengalihkan pandangan. Pria itu kembali tersenyum lalu berkata, “Maaf, aku lupa memperkenalkan diriku. Aku Bryce, teman SMA Yelena. Bisa dibilang kami adalah teman dekat dan aku sudah mengenal hampir semua temannya. Tapi, baru kali ini aku melihat wajah baru di pesta ulang tahunnya. Karena itu, aku ingin berkenalan denganmu.” Setelah mendengar penjelasan pria tersebut, Eleanor masih ragu untuk menggubrisnya. Akan tetapi, ia takut akan dicap tak sopan jika masih tak membalasnya. “Aku Eleanor,” ucap Eleanor seadanya. “Eleanor? Nama yang bagus. Kalau boleh tahu, bagaimana kau bisa mengenal Yelena sampai datang ke pesta ulang tahunnya? Setahuku dia sangat pilih-pilih dalam berteman,” tanya Bryce. Baru saja Eleanor hendak menjawab, tiba-tiba ia merasa kepalanya pusing dan pandangannya menjadi buram. Beberapa kali Eleanor mengerjapkan matanya yang terasa berat. Ia bahkan tak bisa mendengar suara Bryce yang mengajaknya bicara dengan jelas. Hingga akhirnya, pandangan Eleanor menjadi gelap. *** Eleanor membuka matanya dengan perlahan. Kepalanya masih terasa pusing dan pandangannya pun masih terlihat buram. Namun, ia tahu bahwa sekarang dirinya berada di dalam kamar hotel. ‘Apa yang terjadi? Kenapa aku ada di sini? Apa Bryce yang membawaku? Tapi, kenapa aku tiba-tiba pingsan? Ada apa denganku?’ batin Eleanor berusaha mengumpulkan kesadarannya. Saat hendak bangun dari posisi tidurnya, tiba-tiba Eleanor mendengar dengan samar suara percakapan dari pintu. Dan ia sangat mengenali suara dari salah satu dari mereka. “Tidak salah aku memercayaimu. Dia sangat cantik. Aku menyukainya.” “Tentu saja. Aku yang melahirkan dan merawatnya hingga besar. Tentu kecantikannya menurun dariku.” “Hahaha .... Kau memang sangat jahat. Bagaimana bisa kau menjual putrimu sendiri?” “Tidak ada yang namanya jahat di hadapan uang. Bukankah semua orang berhak melakukan apa saja demi mendapatkan uang?” “Hahaha .... Aku suka dengan ucapanmu.” “Kalau begitu, uangnya ....” “Kau memang tidak bisa bersabar. Kemarilah. Aku akan menambahkan beberapa untukmu.” Eleanor menutup mulutnya dengan sebelah tangan setelah mendengar percakapan tersebut. Semiskin apa pun mereka, namun mereka tetap memiliki darah yang sama. Tapi, bagaimana bisa ibu kandungnya sendiri tega menjual dirinya pada seorang pria paruh baya? Tak ingin menerima nasib begitu saja, Eleanor memaksakan dirinya untuk turun dari tempat tidur. Ia harus kabur. Dengan langkah lunglai, Eleanor menyeret kakinya menuju balkon. Beberapa kali ia mengerjapkan mata dan menggelengkan kepala untuk memfokuskan pandangannya. Saat ini Eleanor sedang berada di lantai yang cukup tinggi, lalu bagaimana caranya agar ia bisa kabur? Ketika sibuk memikirkan cara untuk melarikan diri dari sana, Eleanor kembali mendengar suara pria paruh baya itu mendekat. Tak ada cara lain. Eleanor nekat memanjat ke atas pagar pembatas balkon sambil berpegang pada dinding. Saat ini jantungnya berdegup sangat kencang karena takut. Untungnya dress yang ia gunakan memiliki belahan sampai paha sehingga tak menghambat setiap gerakannya. Saat ia mendengar suara pria paruh itu semakin mendekat, Eleanor membulatkan tekadnya dan langsung melompat ke balkon sebelah yang berjarak kurang lebih satu langkah dari tempatnya. “Akh!” ringis Eleanor setelah berhasil mendarat di balkon sebelah. Napasnya terengah-engah karena takut sekaligus lega. Ia baru saja menantang maut yang bisa mencabut nyawanya kapan saja. Pandangan Eleanor lalu tertuju pada lututnya yang terasa nyeri. Dan benar saja, lututnya terluka sampai mengeluarkan darah. Mungkin ia terluka saat melompat tadi. Namun, itu tak masalah baginya. Lebih baik terluka dari pada dijual pada pria paruh baya. Itulah yang Eleanor pikirkan. Akan tetapi, baru saja ia merasa lega karena berhasil kabur dari pria paruh baya tadi, tiba-tiba saja seorang pria telah berdiri di hadapannya. Eleanor mendongak menatap pria tersebut dengan gugup. Dia adalah pria dengan tubuh tinggi yang kokoh. Cahaya lampu yang tepat berada di atas kepalanya membuat Eleanor tak bisa melihat wajah pria itu dengan jelas. Ketika ia sedang berusaha melihat wajah pria tersebut dengan jelas, perhatiannya langsung teralihkan saat mendengar suara pria paruh baya tadi berteriak marah mencari dirinya. Karena panik, Eleanor bermaksud untuk segera berdiri. Namun sialnya, kepalanya kembali terasa pusing ditambah lututnya yang terluka. Baru saja ia hendak meminta tolong pada pria itu, pandangannya kembali berubah menjadi gelap. Eleanor kembali pingsan. *** To be continued.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD