3. Ditolong Dokter Tampan

1404 Words
Seorang pria melangkahkan kaki memasuki hotel begitu tiba di Los Angeles setelah melalui penerbangan selama berjam-jam. Seusai check-in, ia beranjak masuk ke dalam lift menuju lantai kamarnya berada. Sesampainya di dalam kamar, pria itu meletakkan kopernya di samping lemari lalu menyampirkan jas dan ID card-nya di tiang gantung. ID card yang menampilkan nama Christian Frans Alexander. Dia adalah seorang dokter ahli bedah terbaik yang terkenal jenius, karena berhasil menyelesaikan semua tahap studinya dalam waktu singkat di usia yang terbilang masih muda. Ia bahkan telah dipercaya untuk melakukan operasi bedah besar yang cenderung sulit dan langka, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Seperti saat ini, Christian baru saja kembali dari Jerman setelah melakukan operasi besar yang melibatkan beberapa dokter ahli lainnya. Ketika baru saja melepas dasinya, ia tiba-tiba mendengar suara jatuh dan rintihan dari arah balkon kamar. Dari tempatnya berdiri, Christian dapat melihat seorang wanita yang mengenakan dress hitam tergeletak di lantai balkon dengan penampilan yang sedikit berantakan. Benar. Wanita itu adalah Eleanor. Tanpa pikir panjang, ia melangkah menghampiri wanita tersebut. Eleanor lantas mendongak dan menatapnya. Terlihat jelas bahwa wanita itu sedang gugup. Tak lama, Eleanor terlihat takut dan tiba-tiba jatuh pingsan. Melihat seseorang pingsan di hadapannya, Christian segera membopong wanita itu ke dalam kamar lalu membaringkannya di tempat tidur. Matanya kemudian tertuju pada lutut Eleanor yang terus mengeluarkan darah. Ia tak tahu siapa dan dari mana wanita yang tengah berbaring di tempat tidurnya saat ini berasal. Tapi, mengobati orang yang terluka adalah yang utama. Tanpa pikir panjang, Christian beranjak mengambil tas yang selalu dibawanya ke mana-mana dari dalam koper. Tas yang berisi obat-obatan dan peralatan pemeriksaan lengkap, serta perlengkapan operasi darurat. Dalam sekejap, Christian telah mengenakan sarung tangan medis di kedua tangannya setelah menyuntikkan anestesi lokal pada Eleanor agar wanita itu tidak terbangun karena kesakitan di tengah operasi. Ia lalu mengolesi luka Eleanor dengan kasa yang telah diberi cairan betadine. Setelah meletakkan kain duk bolong di sekitar lutut Eleanor dan mempersiapkan peralatan operasi sederhananya, Christian mulai menjahit luka yang cukup lebar di lutut wanita tersebut. Itu bukan operasi sulit mengingat ia adalah seorang dokter ahli bedah terkenal. Tak butuh waktu lama, operasi kecil tersebut selesai dan Christian kembali membereskan peralatannya dengan telaten. Merasa tubuhnya agak kotor, ia memutuskan untuk mandi dan membersihkan tubuhnya. Beberapa saat berlalu, Christian kembali keluar dari kamar mandi dengan pakaian lengkap sembari mengeringkan rambutnya menggunakan handuk dan berjalan ke arah balkon. Christian menoleh ke arah kamar sebelah ketika mendengar suara seorang pria berteriak marah. Itu berlangsung cukup lama. Ia lalu menoleh pada Eleanor yang masih pingsan kemudian menghela napas panjang dan kembali berbalik memandang kota Los Angeles yang penuh gemerlap di malam hari. Selama beberapa saat, Christian hanya berdiri dengan tatapan kosong bersama handuk basah yang tersampir di pundaknya. Pikiran pria itu melayang entah ke mana. Hingga beberapa saat kemudian, ponselnya berdering. Segera ia beranjak meraih ponselnya yang terletak di atas meja lalu menjawab panggilan yang masuk seraya berjalan kembali ke balkon. “Halo,” sapa Christian dengan suaranya yang berat. “Maafkan kami, Bos. Kami tidak berhasil menemukannya. Kami telah mencari di lokasi terakhir yang berhasil dilacak, tapi jejaknya kembali hilang begitu saja.” Selama beberapa saat, ia terdiam setelah mendengar laporan dari pria yang berada di seberang telepon. “Tidak peduli berapa lama dan bagaimana caranya, kalian harus menemukannya,” pinta Christian. “Baik. Saya mengerti, Bos.” Christian meremas ponselnya dengan kuat setelah panggilan berakhir. Tatapannya menjadi tajam dan jantungnya berdebar dengan sangat kencang. Di lain sisi, mata Eleanor perlahan terbuka disertai ringisan kecil saat merasakan sakit pada kepalanya. Dengan hati-hati ia bangkit dari posisi tidurnya sembari memegang kepalanya yang terasa pening. Eleanor mengerjapkan mata beberapa kali sembari mengamati kamar tempatnya berada. Belum sempat ia beradaptasi, sosok pria yang mendekat membuatnya terkejut dan seketika bersikap waspada. “Siapa kau?” tanya Eleanor seraya bergerak mundur sambil menahan rasa pening di kepalanya. “Bukankah harusnya aku yang bertanya seperti itu? Tiba-tiba kau berada di balkon kamarku dan jatuh pingsan,” balas Christian dengan sebelah alis terangkat. Kedua tangannya berada di dalam saku celana. Eleanor terdiam dan kembali mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Tanpa aba-aba, air matanya menetes ketika mengingat tindakan kejam yang Margaret lakukan terhadapnya. Dalam sekejap, Eleanor menangis sesenggukan. Ia masih tak percaya bahwa ibu kandungnya sendiri tega menjualnya demi uang. Hatinya berdenyut sakit. Dadanya terasa sesak hingga membuatnya sulit bernapas. Itu adalah pengkhianatan paling kejam dan menyakitkan di dalam hidupnya. Di lain sisi, Eleanor juga marah. Ia merasa terhina dan tak terima diperlakukan seperti itu. Bagaimanapun mereka memiliki darah yang sama. Ia juga anak kandung Margaret, sama seperti Yelena. Christian yang menyaksikan Eleanor menangis hanya bisa diam dan tanpa kata langsung beranjak duduk di kursi. Sampai tak lama kemudian, tangisan wanita itu mulai reda dan hanya menyisakan isakan kecil. “Aku ... aku minta maaf. Aku ... tidak ber-” “Tidak perlu menjelaskan jika kau tidak mau,” sela Christian dengan mata biru elangnya. Eleanor menunduk sembari menyeka air mata yang kembali mengalir di pipinya. Hatinya masih terasa sakit, tapi ia juga malu telah menangis seenaknya di hadapan pria yang bahkan tak dikenalnya. “Aku sudah menjahit lukamu. Pergilah jika kau sudah pulih,” sahut Christian yang membuatnya tersentak. Eleanor lantas melihat luka di lututnya yang telah diperban. Karena terlalu fokus meratapi keadaannya, ia jadi tak memerhatikan lukanya yang telah diobati. “Terima kasih,” ucap Eleanor segan. “Tapi, aku tid-” “Kau tidak perlu membayar biayanya. Itu hanya pertolongan darurat.” Christian lagi-lagi menyela yang membuat Eleanor kembali tersentak tak percaya. “Tapi, bagaimanapun kau sudah menolongku. Aku harus membayar utangku,” sahut Eleanor merasa tak enak. “Dengan kau segera pergi dari sini, itu sudah cukup untuk membayarnya,” ujar Christian. Eleanor menggigit bibir bawahnya dengan perasaan campur aduk. ‘Benar juga. Dia pasti merasa tidak nyaman dengan orang asing yang tiba-tiba berada di kamarnya. Lagi pula, aku harus segera pergi dari sini. Aku tidak tahu, tapi pria tua bangka itu pasti masih mencariku. Bagaimanapun, dia telah mengeluarkan banyak uang untuk membeliku.’ Tanpa pikir panjang, ia segera turun dari tempat tidur sambil menahan rasa sakit di lututnya akibat efek anestesi yang telah hilang. “Sekali lagi terima kasih telah menolong dan mengobati lukaku,” ucap Eleanor sambil sedikit membungkuk kemudian bergegas keluar dari kamar Christian dengan langkah tertatih. *** Eleanor terus mengamati sekitarnya begitu keluar dari kamar Christian. Ia takut kalau orang suruhan pria paruh baya tadi melihatnya. Setelah tiba di lobi hotel, tanpa sengaja Eleanor melihat beberapa pria bersetelan hitam sedang mencari sesuatu. Dengan segera, ia bersembunyi di balik pilar yang cukup besar untuk menyembunyikan dirinya. Jantungnya berdegup kencang karena gugup dan takut. ‘Mereka pasti orang-orang suruhan pria tua bangka itu.’ Eleanor lalu mengintip sedikit dan melihat orang-orang tersebut telah pergi entah ke mana. Tanpa menunggu lama, ia segera melepas heels-nya dan langsung keluar dari persembunyiannya lalu berlari dengan kaki tertatih sambil mengendap-endap keluar lobi. Setelah berhasil keluar dengan selamat, Eleanor kembali memaksakan kakinya untuk berlari menjauh dari hotel seolah ada yang mengerjarnya. Ia lalu menghentikan langkahnya ketika lututnya kembali berdenyut sakit. “Akh!” ringisnya sembari menekan area di sekitar lututnya. Namun begitu, ia kembali memaksakan diri untuk berjalan sambil menenteng heels-nya. Setelah merasa telah berjalan cukup jauh, Eleanor memutuskan untuk berhenti sejenak. Ia menatap dirinya yang tampak menyedihkan. Dress hitamnya kini terlihat kusut, rambutnya acak-acakan, lututnya terluka, dan kakinya yang tidak mengenakan alas kaki terlihat bengkak. Eleanor merutuki dirinya yang bodoh karena meninggalkan ponselnya di rumah. Bahkan sepeser uang pun ia tak punya. Benar-benar menyedihkan. Ia lalu melihat sekeliling kemudian menghampiri seorang wanita yang tengah duduk di halte bus. “Permisi,” sapa Eleanor yang membuat wanita tersebut menoleh padanya. “Apa aku boleh meminjam ponselmu sebentar untuk menelepon?” tanyanya dengan wajah memelas. “Tentu,” ucap wanita tersebut kemudian memberikan ponselnya. “Terima kasih,” ujar Eleanor seraya tersenyum. Ia lalu duduk di samping wanita itu dan bergegas menghubungi seseorang. Dengan gugup, Eleanor menunggu panggilannya dijawab. Namun hingga dering terakhir, orang tersebut tak kunjung menjawab panggilannya. Bahkan beberapa panggilan berikutnya pun tak ada yang diangkat sampai membuat Eleanor semakin gelisah. “Apa kau sudah selesai? Bus-ku sudah tiba,” celetuk wanita yang meminjamkan ponselnya tersebut bertepatan dengan bus yang berhenti di depan halte. “Ah, iya. Terima kasih,” ucap Eleanor tersenyum canggung kemudian mengembalikan ponsel itu dengan enggan. Sepeninggal wanita tersebut, Eleanor mendesah panjang. Ia tak memiliki ponsel dan uang. Lalu, apa yang harus ia lakukan sekarang? *** To be continued.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD