Pesona Dosen Mafia

1206 Words
Sepasang tungkai gagah itu terus melangkah perlahan pun tenang mengitari puluhan rak buku yang menjulang tinggi di sisi kiri dan kanannya. Sesekali ia berhenti saat merasa menemukan sesuatu yang mencuri atensi dari buku-buku yang terpampang. “Sial. Ini sudah yang keenam kalinya aku ke rak ini. Berapa lama lagi aku di sini dan harus menghabiskan seluruh waktu istirahatku mencari buku yang kau maksud, Vitto?” Ia terus bersuara dalam pendaran lampu temaram dengan pandangan tidak berhenti mengedar. Bersiaga satu. Bukan bermonolog, lelaki pemilik rambut hitam legam tersebut tengah berbicara dengan anggota klan yang dipimpinnya, melalui handsfree bluetooth berwarna hitam yang tersampir nyaman pada rungu kirinya. “Tujuh kali? Kau gila, Vit. Tetapi mereka lebih gila karena menyisipkan kode brankas itu di dalam barkode buku Akuntansi. Yang benar saja? Jika itu bukan karena aku membutuhkan Henry, aku sudah membunuh Gustav dengan tanganku sendiri.” Lelaki dengan torso jangkung itu berdecak, lanjut mengepal tangan erat saat atensinya terus terpusat pada buku-buku yang berjajar rapi pada rak di hadapannya itu. Mulai frustrasi. “Ya, Gustav memang suami madre-ku. Tetapi jika dia terus mengaturku seperti abdi begini, aku juga bisa memberontak, Vit. Kau tahu, putra Moreno tidak akan selemah itu. Sekalipun Palazzo itu klan sekutu, kita harus tetap berhati-hati. Nyawa madre-ku taruhannya. Aku tidak memikirkan apa pun selain keselamatan madre.” Menghela napas berat untuk kesekian kali, ia lantas memijat pelipis yang mulai berdenyut akibat rasa frustrasi yang mengambil fokusnya sedari tadi. “Okay. Cukup, Vit. Hentikan bualanmu itu. Iya, aku tahu hanya aku yang bisa masuk ke universitas ini. Aku harus mengakui, selain karena memuja IQ 142-ku, aku harus berterima kasih pada Henry. Dia bisa dengan mudah memanipulasi identitasku tiga bulan terakhir ini. Kerja yang sangat bagus.” Volume suaranya kini beralih semakin mengecil. “Hei, aku bilang hentikan. Jangan terus membual, atau aku matikan teleponnya sekarang. Kenapa aku merasa buku yang dimaksud Gustav bukanlah buku Akuntansi? Atau ... mungkinkah tidak berada di rak Akuntansi? Bagaima—“ “Astaga. Iya, Vitto. Tentu aku tidak akan lupa dengan acara pertunanganku nanti malam. Kau tidak perlu mengingatkan. Aku muak, Vitto. Tetapi tidak masalah. Menikahi gadis yang tidak aku kenal, itu sungguh bukan masalah.” Ia menghela napas berat begitu perkataannya dipotong begitu saja. Mengusap wajahnya kasar ia kembali memijat pelipis dalam kegusaran. Sebenarnya, ia bohong pada anggota klan sekaligus sahabatnya itu. Pertunangan dadakan yang menjadi perjanjian tertulis antara ia dan seorang tangan kanan bos mafia kelas kakap—sekutu mendiang ayahnya dulu—membuatnya begitu frustrasi, lagi. Lelaki itu masih terlalu fokus mengecek buku-buku di rak perpustakaan induk kampus tempatnya mengajar, sampai tidak menyadari ada pergerakan significant dari sebuah siluet yang kini mengendap diam-diam. Tepat di sisi rak belakangnya. “Apa? Failed? Bagaimana bisa, Vit? Kau ... yang benar saja? Kau itu hacker kebanggaan klan Moreno. Meretas sistem kampus ini tentu tidak akan su—“ Ucapannya terhenti begitu mendengar suara benda jatuh yang memendar dari belakangnya. Ia buru-buru berbalik, setelah menekan tombol off pada handsfree di rungunya, dan sukses terperangah melihat sebuah siluet dalam balutan outfit serba hitam tengah berlari menjauh. Dengan cergas ia mengejar sosok yang ia curigai telah mengintainya sejak tadi. “Berhenti!” Jarinya yang panjang dan kekar mampu dengan mudah menangkap torso dengan kepala tertutup tudung hoodie hitam tersebut. Pergelangan tangan putih itu berhasil digenggamnya erat. “Siapa kau?!” tanyanya. Mengerjap singkat untuk melihat sosok yang kini ia buka tudungnya, karena terlalu kesusahan dalam cahaya temaram ruang perpustakaan yang memang sudah ditutup sejak dua jam yang lalu. “Kau ... Cate??” Netranya melebar sempurna. Tentu saja ia mengenal sosok ringkih yang kini berhasil ia cengkeram erat tangannya. Seorang mahasiswi yang mengikuti kelasnya. Cate. Hanya itu yang ia ingat. “S-Sir Tristan?? Sa-saya ...” Gadis berkaca mata pemilik nama Cate tersebut kesusahan menelan saliva sekarang. Sosok yang tengah mencengkeramnya adalah sosok yang paling ingin dihindarinya, setelah ia mengetahui sebuah fakta dari padrenya tadi siang. Kenapa juga sekarang ia harus kembali terjebak bersama laki-laki yang sudah tiga bulan ini menjadi dosen most wanted di kampusnya itu? Cate mendadak pusing. Melihat tatapan yang memicing tajam ke arahnya saat itu, Cate pun terpaku. Pandangannya seakan terhisap ke dalam obsidian kecoklatan tersebut. Ia muak harus mengakui kalau yang dikatakan teman-temannya itu benar. Dosennya ini memiliki pesona kuat. Apalagi jika dilihat dari jarak sedekat ini. Bagaimana alis tebal itu terukir indah pada wajah yang terbingkai rahang tegas sempurna. Pun, netra tajam kecoklatan bak elang yang haus ketika melihat mangsanya. Demi apa pun, Cate memujanya. Hanya beberapa detik, hingga suara bariton yang menyapa rungunya itu membuat ia mengerjap seketika, tersadar dari lamunannya. “Sedang apa kamu di sini?!” tanya lelaki pemilik durja tampan tersebut dengan tatapan yang masih sama, tajam. Tangannya masih mencengkeram kuat tanpa berniat melepaskan sedikitpun. Seakan begitu takut jika mangsanya akan kabur. “Saya sedang mencari buku referensi untuk tugas makalah saya, Sir,” terang Cate pelan. Hatinya bergetar. Sejatinya bukan takut pada dosennya tersebut. Akan tetapi, ia takut ketahuan tengah melakukan sesuatu hal urgen di dalam sana. “Mencari buku referensi di saat perpustakaan sudah tutup? Astaga. Lain kali, cari alasan yang tepat untuk menipu. Dan ...” Tristan mendekatkan wajahnya hingga hanya beberapa senti lagi akan beradu dengan wajah mahasiswinya. “Saya bukan orang yang bisa kamu tipu dengan alasan se-klise itu.” Tristan yang menghempas tangan Cate, membuat gadis itu menggigit bibir, menahan rasa kebas akibat cengkeraman yang diterimanya. Di saat Cate tengah menggosok pergelangan tangannya, di saat itu pula Tristan memicing. Ia menangkap sebuah tattoo dengan lambang mahkota ratu terukir jelas di sana. Ia seakan familiar dengan tattoo tersebut. Namun, setelah berusaha berpikir keras, Tristan tidak mengingat apa pun. Seolah ingatan itu telah dipaksa pergi darinya. “Apa saja yang sudah kamu dengar?” Tristan kembali memicing curiga. “Mi scusi, Sir. Saya tidak peduli dengan apa yang saya dengar. Karena keberadaan saya di sini memang bukan untuk menguping pembicaraan. Saya permisi.” Cate berucap cepat lalu memutar torsonya, berniat pergi dari sana. “Tunggu!” Tristan kembali menahan tangan gadis berkaca mata dengan rambut dikuncir satu di belakang itu. Namun, tarikan yang cukup kuat dari Tristan membuat Cate terhuyung ke belakang. Kakinya kehilangan keseimbangan. Dan .... Cate memejamkan netra saat berpikir ia sudah terjerembab ke lantai marmer ruang perpustakaan temaram tersebut. Ternyata tidak. Sesuatu menahannya. Persis mendekap erat hingga napas hangat terasa lembut menyapu wajahnya. Tristan. Lelaki itu sudah mendekap Cate erat, menolong dengan spontan tanpa ia duga. Bagaimana sekarang Cate tengah mengerjap indah dengan netra hazel-nya di balik kaca mata bergagang putih itu, hingga Tristan merasakan sesuatu yang berbeda untuk pertama kalinya. Sebuah debaran gila yang telah lama padam di dalam hatinya. Tristan benci harus mengakui bagaimana obsidian indah itu menghisap seluruh atensinya. Ia benar-benar kehilangan fokus untuk sekedar melanjutkan misi di dalam ruangan yang sudah satu jam dikelilinginya. Bertahan dalam posisi sedekat itu pun tidak kalah membuat Cate menegang di tempatnya. Ingin bersuara, namun semua seolah tertahan. Cate tak mampu berpaling dari netra kecoklatan yang sejak beberapa detik lalu membuatnya terjerat dalam pesona mematikan seorang Tristan Selvagio, dosen barunya. “Kamu tidak akan bisa melarikan diri, Cate. Sekarang kamu sudah terlibat terlalu dalam. Jangan berharap bisa terlepas dari pantauan saya. Tidak akan saya biarkan tenang. Sedikitpun tidak.” *** To be continued ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD