Malam Pertunangan

1254 Words
“Aku melakukan semua ini untuk Padre,” tegas Tristan begitu ekor matanya menangkap sebuah siluet yang berdiri tidak jauh di belakangnya. “Jangan buang waktumu, Nathan. Padremu sudah tenang di sana.” Suara tenang itu kembali memendar dalam keheningan kamar bercat putih dengan arsitektur minimalis pun dipenuhi perabotan serba hitam tersebut. Persis seperti pemiliknya yang memiliki duality kuat, hitam dan putih. Tristan mengepalkan tangan erat. Ia benci mendengar kalimat itu berulang kali. Hampir di setiap kali ia mengunjungi rumah keduanya tersebut. “JANGAN PANGGIL AKU NATHAN! DONATHAN MORENO TIDAK AKAN KEMBALI SEBELUM MENEMUKAN PEMBUNUH AYAHNYA!” Tristan berteriak nyalang seraya meninju dinding kamar. Membuat ia sedikit mengeraskan rahang saat merasakan denyutan pada kepalan tangannya. “Maaf, Madre,” ucapnya tiba-tiba, begitu membalikkan torso menghadap wanita paruh baya dalam penampilan anggun dengan tatapan sendu di hadapannya. “Aku ... adalah Tristan, Madre. Aku Tristan Selvagio.” Ia melemah sekarang. “Bagi Madre, kamu tetap ‘Donathan’ putra kebanggaan Madre. Nyawa Madre. Jadi, berhenti melakukan hal bodoh ini. Jangan menikahi gadis itu hanya karena sebuah keterpaksaan.” Wanita paruh baya yang dipanggil ‘Madre’ oleh Tristan tersebut mulai berkaca-kaca. Sakit sekali melihat putranya yang selama dua tahun terakhir ini terus berusaha mencari pembunuh sang ayah. Wanita bernama Amadhea itu tahu benar, putranya Donathan akan berubah gila dan haus darah setiap mengingat kematian sang ayah yang tidak wajar. Mengenaskan, dengan jasad tercabik-cabik oleh belati. Amadhea begitu miris. Kehidupan sang putra seolah berubah 180 derajat sejak larut dalam balas dendamnya. Caesar Moreno yang dikenal sebagai revolusioner organisasi kriminal rahasia di klan-nya itu, harus mati sebelum menuntaskan misinya. Yaitu mengubah kode etik klan dengan menggaungkan penghentian pengonsumsian obat-obatan terlarang di Italia. Menyabotase setiap pengedaran obat terkutuk itu. Revolusi Moreno tersebut mendapat respon positif dari warga Italia saat itu, karena obat-obatan terlarang dianggap sangat meresahkan bagi generasi muda. Namun di balik itu, ada juga yang memandang tidak suka misi Moreno untuk menumpas penyalahgunaan narkoba tersebut. Sampai pada suatu hari, Moreno ditemukan oleh Donathan dalam keadaan mengenaskan. Sejak itu pula Donathan berubah menjadi sosok psikopat haus darah yang menghalalkan segala cara untuk bisa menemukan pelaku pembunuhan sang ayah. “Cukup, Madre. Tinggalkan aku sendiri sekarang. Malam ini, aku akan tetap bertunangan dengan putri Henry. Sekalipun Madre tidak merestuinya. Tetapi, satu hal yang harus Madre tahu. Aku melakukan semua ini untuk padre dan Madre. Aku akan membalaskan dendamku untuk kalian.” “Tidak, Nathan. Tidak dengan menjadi gila seperti sekarang. Ingat, Nathan. Kamu itu sekarang menjadi buronan FBI atas masalah yang kamu buat. Penyelundupan senjata itu sangat berbahaya. Dan ka—“ “Aku tetap tidak menyelundupkan obat-obatan terlarang seperti yang padre ajarkan. Lalu, apa yang harus Madre khawatirkan? Aku tahu kapan harus bergerak dan kapan harus berhenti, Madre.” “TETAPI JANGAN SAMPAI MENGORBANKAN HIDUPMU UNTUK BALAS DENDAM LALU MENIKAHI WANITA YANG TIDAK PERNAH KAMU CINTAI, NATHAN!” Amadhea meluapkan semua emosi yang ia pendam. Terlalu lama bersarang di dalam hati dan pikirannya. Ia bergetar hebat sekarang. Untuk pertama kalinya dalam hidup, Amadhea membentak putra kesayangannya. “Maaf ...” tambahnya kemudian, langsung terduduk lemas di tepi tempat tidur sang putra dengan buliran bening yang terus melesat di kedua pipinya. Tristan tidak jauh berbeda sekarang. Dadanya bergemuruh hebat. Bukan karena amarah yang memendar kepada ibunya. Akan tetapi, Tristan terjerat rasa bersalah. Seumur hidupnya, ia tidak pernah melihat sang ibu menangis kecuali saat melihat kematian ayahnya. Lalu sekarang, Tristan menjadi penyebab deraian air mata sang ibu. Bukankah ia kejam? Demi apa pun, Tristan rela menggiring nyawanya untuk kebahagiaan sang ibu tercinta. Seperti malam ini contohnya. Ia terjebak perjanjian tertulis dengan Henry, tangan kanan ayah tirinya. Pertunangan yang akan dilaksanakan malam ini merupakan salah satu isi perjanjian yang harus ia jalani, sebelum melangkah pada poin perjanjian selanjutnya, yaitu pernikahan. “Madre ...” Tristan berlutut tepat di depan ibunya. Netranya memanas. Sekuat tenaga ia menahan bulir hangat itu agar tidak melesat jatuh. Tidak di depan Amadhea. “Restui Tristan, Madre. Doakan kebahagiaan Tristan. Tidak masalah menikah tanpa cinta. Tristan tetap akan memperlakukan istri Tristan dengan sangat baik nantinya. Madre jangan khawatir. Putramu akan menemukan kebahagiaannya,” tutur Tristan kemudian bersama getar hebat yang mengguncang pundaknya. “Di klan kita sebenarnya tidak mengenal perjodohan. Bebas menikah dengan orang yang dicintai tanpa memandang strata sosial. Namun, ini pilihan kamu sendiri. Madre tidak dapat melakukan apa pun selain merestuimu. Hanya ... jika kamu berlaku baik pada istrimu nantinya,” terang Amadhea. “Maka, semua akan terjadi seperti yang Madre inginkan. Walau ... tanpa cinta.” Tristan menarik sudut birainya, lanjut menghapus jejak basah yang terbingkai nyata di wajah ibunya. Ia kembali menegakkan torso dan menggandeng wanita anggun tersebut keluar dari kamar. “Untuk pertama kalinya, aku sangat berdebar, Madre. Aku penasaran siapa tunanganku nanti.” Hening. Tristan yang masih menggerakkan tungkai di atas lantai marmer mengilap rumah mewah ayah tirinya itu, kini mengernyit. Ia menunduk untuk menjangkau wajah sang ibu dan berakhir menghembuskan napas berat. “Apa aku harus merias ulang wajah Madre sebelum Gustav menyadarinya? Suami Madre sangat posesif. Bahkan ia mencemburuiku juga. Aku senang ternyata lelaki itu memperlakukan Madre dengan sangat baik sejauh ini. Tetapi ... aku tidak akan tinggal diam jika melihat Madre menangis karenanya. Bahkan Luca, anak sambungmu yang manja itu, akan aku cincang jika berani menyakiti Madre.” Amadhea langsung menghentikan langkahnya begitu mendengar untaian kalimat dingin yang keluar dari birai tipis kemerahan sang putra. Ia menggerakkan tangan untuk merapikan tuxedo hitam Tristan dengan terus menguar tatapan dalam. “Kendalikan jiwa psycho-mu, Nathan. Madre sangat takut jika suatu hari kamu hancur karena itu. Dan, kenapa Madre menyuruhmu menikahi perempuan yang kamu cintai? Itu karena ... cinta mampu mengontrol hatimu untuk tidak menjadi sekejam sekarang. Walaupun, cinta juga yang akan menyeretmu ke dalam masalah tiada akhir. Setidaknya, dengan cinta kamu bisa merasakan ketenangan dan meredam semua kebencian.” Amadhea meletakkan kedua tangannya di atas d**a sang putra. Sebagai tanda, semua yang diucapkannya untuk mengontrol sebuah hati yang tengah terluka. Hati Tristan. “Terima kasih, Madre. Aku akan mengingatnya. Tapi, aku tidak bisa berjanji akan melakukannya. Bisakah kita langsung ke bawah saja? Aku yakin, Henry dan putrinya sudah tiba di sini sekarang.” Melihat ibunya mengangguk pelan, Tristan kembali melangkah, namun segera berhenti begitu mengingat satu hal. “Bisakah Madre berjanji untuk tidak memanggilku Donathan lagi setelah pesta pertunangan ini selesai?” *** Tristan melangkah dengan pongah ke atas stage, di mana acara pertukaran cincin akan segera dilangsungkan. Setelah berdiam diri puluhan menit dalam ketikaksabaran, akhirnya acara puncak yang ditunggu-tunggunya datang. Netranya mengedar setajam elang, mencari keberadaan wanita yang akan bertunangan dengannya malam itu. Ia melihat posisi Henry berada tidak jauh di depan stage. Namun, tidak ada tanda-tanda kehadiran wanita muda yang diyakini akan mengikuti jejaknya naik ke atas stage. Padahal, Master of Ceremony sudah memanggil mereka berdua. Ia menghela napas berat berkali-kali. Tristan yang tergolong tidak sabaran dan suka menggebu itu, kelabakan sendiri menunggu calon tunangannya. Ia menunduk setelah menarik napas dalam. Tatapan-tatapan angkuh yang memendar dari tamu undangan dan para penjilat dari klan sekutu semakin membuat ia frustrasi berat. Pada detik terakhir di sisa kesabarannya, tiba-tiba suara derap langkah anggun yang menguar di keheningan malam pesta tatkala itu, membuat Tristan mendongak dan berakhir terperanjat. "Dia ...?" Presensi satu sosok wanita cantik dalam balutan sleeveless satin dress berwarna hitam senada dengan tuxedo-nya, tengah melangkah provokatif ke arahnya. Mengesampingkan rasa terpesonanya, Tristan malah mengernyit dalam. Sosok yang menjadi ratu pesta malam itu sangat familiar dalam penglihatan. Tristan dengan duality-nya langsung menguar smirk. Buruan telah berada tepat dalam kendalinya. Membuat permainannya semakin menarik, dan ... Tristan sangat menyukainya. *** To be continued ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD