Perjanjian Memuakkan

1580 Words
Sepasang cincin emas putih dengan mata berlian di dalam ring-nya, telah saling disematkan oleh pasangan muda tersebut. Tepuk tangan meriah dalam keangkuhan memendar riuh. Kompak membuat pasangan muda itu muak. Terukir jelas bagaimana wajah tampan dan cantik keduanya begitu sarat akan rasa jemu. “Kamu sepertinya tidak menyukai ini, Cate Emilio? ” Tristan sedikit menunduk untuk sekedar berbisik pada tunangannya. Sontak membuat gadis cantik itu tercekat di tempat. Tristan kini menaikkan satu sudut birai. “Aku Caterina Valerio. Siapa itu yang kamu panggil Cate Emilio?” Ia mencoba tenang. Bersiaga dengan segala kemungkinan yang akan dipaparkan laki-laki berbahaya di sampingnya sekarang. Lagi, dalam kekehan devil-nya, Tristan segera menarik pinggang ramping tunangannya tersebut. Begitu posesif. Ia kembali berbisik, “Kamu pikir aku sebodoh itu untuk tidak bisa mengenali mahasiswiku sendiri, sekalipun dengan penampilanmu yang sekarang? Kamu tidak tahu seberapa berbahayanya aku, Cate?” “Okay ... buktikan padaku jika memang kamu seberbahaya itu.” “Hmm ...?” Tristan sukses mengernyit. “Bawa aku pergi dari sini,” pinta Caterina. Tristan tersenyum asimetris. Merasakan jika permainan ini semakin menarik. “Kemana? Ke apartemenku?” tanyanya semakin mengeratkan tangan pada torso putri semata wayang Henry tersebut. “Kemana saja. Aku semakin muak berada di sini,” tambah Caterina dengan netra hazel yang kembali menjerat Tristan. “Okay. Tidak sulit untuk seorang Tristan Selvagio. Ikuti aku.” Tristan lantas menarik tangan Caterina, menggandengnya turun dari stage. Mereka melewati kerumunan tamu yang melempar ucapan selamat, yang Tristan anggap semua itu hanyalah basa-basi penuh dusta. Ia hanya tersenyum asimetris dengan wajah datar yang terus memendar. Tepat saat torsonya melewati Gustav dan Henry, kedua lelaki paruh baya bertubuh tegap dan bongsor itu memanggil Tristan. Namun ia berpura-pura tidak mendengar. Malah, semakin mengeratkan gandengan tangannya pada Caterina. “TRISTAN, BERHENTI! MAU KEMANA KAMU?! PESTANYA BELUM SELESAI!” Gustav, ayah tirinya yang sudah tertinggal jauh di belakangnya itu kembali memanggil. Tristan acuh tak acuh. Tidak berniat berhenti atau sengaja berpaling. Pintu keluar sudah di depan matanya. Semakin menggebu untuk membawa tunangannya pergi dari sana. “HADANG MEREKA! JANGAN BIARKAN MEREKA PERGI! AKU BELUM SELESAI DENGAN TRISTAN.” Teriakan Gustav cukup mampu menarik atensi dua penjaga aula pesta megah dengan tubuh besar tersebut. Mereka bersiaga untuk menghadang Tristan dan gadis pemilik nama asli Caterina Valerio tersebut. “Pegangan yang erat, Cate!” tegas Tristan sebelum mengangkat torso tunangannya itu hingga kedua tangan ringkih itu melingkar erat pada leher kokohnya. “Tendang!” perintah Tristan lagi dengan tangan menumpu tubuh Caterina kuat. Mengarahkan tendangan gadis itu ke arah dua penjaga yang kini setengah berlari menghadang keduanya. Caterina sontak melakukan perintah Tristan. Kakinya yang beralaskan wedges heels hitam itu digerakkan cepat ke arah dua penjaga dalam balutan jas hitam. Tidak peduli dengan gaun yang robek karena tendangan kuatnya. Ia terus menendang tanpa henti hingga dua penjaga itu limbung ke belakang. Tristan menurunkan Caterina begitu berhasil melewati pintu keluar. Ia menyadari penjaga tersebut kembali bangkit mengejarnya. “LARI KE MOBIL DENGAN NOMOR PLAT ‘T 99 S’, CATE!” Tristan dengan cepat melempar kunci mobil ke arah Caterina seraya bersiap menghadang anak buah Gustav yang berada tepat di hadapannya. “BAGAIMANA DENGANMU?!” teriak Caterina setelah berhasil menangkap kunci tersebut dari sang tunangan. “BAWA MOBILNYA KE SINI! JEMPUT AKU!” balas Tristan yang sudah memutar torsonya untuk menendang laki-laki berambut gimbal di hadapannya. Caterina berlari dengan kesusahan saat sepatu hak tingginya itu dirasa menjadi beban. Penampilan anggunnya malam ini bukanlah dirinya sama sekali. Jika ayahnya, Henry, tidak memaksanya memakai gaun memuakkan itu, sudah pasti Caterina lebih memilih untuk memakai jeans dengan hoodie saja seperti biasanya. Belum lagi gaun ketat panjangnya itu sudah terbuka hingga paha—robek—karena ulah Tristan. Caterina terus merutuki Tristan di dalam hati. Menganggap lelaki itu penyebab ia terjebak dalam pertunangan yang dibencinya kini. Dengan cepat, gadis berambut panjang kecoklatan dengan tatanan model layer spiral malam itu segera menunduk. Ia melepas wedges-nya. Menjinjing di salah satu tangan dengan tangan sebelah lagi menggenggam kunci mobil Tristan. Sampai di tempat parkir, netranya mengedar cepat mencari mobil dengan plat nomor yang dimaksud Tristan. Birainya merangkak ke atas begitu melihat mobil berjenis sedan, dengan warna hitam mengilap—mewah—yang tengah diincarnya. Cate langsung menekan tombol ‘unlock’ pada kunci yang berada di tangannya, dan dengan cergas masuk ke dalam sana. Di tempat yang berbeda, Tristan harus menghadapi beberapa anak buah Gustav seorang diri. Ini hal biasa untuknya. Bahkan ia pernah melawan puluhan musuh seorang diri sebelumnya. Termasuk bagaimana ia berhasil kabur dari cengkeraman FBI tahun lalu. Semua itu begitu membekas. Tristan bukan seorang yang mudah menyerah, meskipun ia di ujung kekalahan. Bertahan, menyerang, memakai kejeniusan, itulah yang ia lakukan. Bagaimana tubuh gagahnya itu berputar dengan kaki kokoh yang terus menerjang tanpa henti hingga berhasil merobohkan tubuh lawan. Gustav benar-benar gila. Membuatnya terpenjara dan tunduk. Saat ia menjadi Tristan Selvagio, ia akan lebih berbahaya dari Donathan Moreno. Penuh dengan intrik jenius untuk menjatuhkan lawan. Tristan terus melayangkan bogem mentah dan tendangan andalannya hingga ia terengah dalam kelelahan. Mencoba bertahan sedikit lagi hingga sebuah suara soprano membuat ia menarik sudut birai. “TRISTAN!!” Tristan melompat untuk terakhir kali—menendang, dan berakhir dengan lawan yang terkapar. Sialnya tidak berakhir di sana. Nyatanya, anak buah Gustav berkerumun keluar dari aula besar itu—berlari menghampirinya. “CEPAT MASUK!” Lagi, suara Caterina membuat ia segera sadar dan berlari masuk ke dalam mobilnya yang dikemudikan Caterina saat itu. “Kamu bisa mengemudi dengan cepat?” tanya Tristan begitu mendudukkan torsonya di jok sebelah kemudi. “Kamu bisa meremehkan Caterina Valerio, tapi tidak dengan Cate Emilio. Sekarang katakan padaku, di mana apartemenmu?” tegas Caterina dengan tatapan datarnya. Sukses membuat Tristan menggeleng—kesenangan. *** Tristan langsung merebahkan tubuhnya yang mulai lengket karena melawan anak buah Gustav tadi. Kini, ia sudah sampai di apartemennya. Lebih tepat disebut tempat persembunyian. Karena letaknya terpencil dari pusat kota. Seorang gadis tengah berjalan sembari menghentakkan kaki tanpa alas dengan keras di lantai—ke arahnya. Terlihat memendar emosi dengan tatapan tajam terus ditujukan kepadanya. “Kamu kenapa, Cate? Ayo ke sini. Istirahatkan tubuhmu bersamaku,” pinta Tristan dengan senyuman smirk-nya. “Sialan kamu, Tristan. Kenapa tidak bilang kalau apartemenmu sejauh ini, hah?! Astaga. Aku pikir masih di pusat kota.” “Hei! Tolong yang sopan dengan dosenmu.” Tristan segera bangkit dari pembaringannya. Menatap tunangannya dingin pun tajam. “Maaf, ini bukan kampus. Kamu tidak bisa menekanku.” Caterina balas menatap tajam. Kesal sekali rasanya terjebak bersama lelaki gila di hadapannya sekarang. Menatap Tristan yang terus mendekat, ia pun terkesiap. “Ma-mau apa kamu?” “Mau membuktikan, kalau aku bisa melakukan apa pun yang aku mau. Tidak peduli di mana pun itu.” Tristan semakin memangkas jarak. Ia menggila menatap Caterina dalam penampilan kacau di hadapannya. Apalagi gaun yang memprovokasi animonya itu. Tristan harus mengakui, Caterina itu penuh pesona. Tristan tertarik pun begitu penasaran. Segila apa wanita yang menyamar sebagai mahasiswi kutu buku di hadapannya itu. “Berhenti di sana, Tristan!” Cate kesusahan menelan saliva dalam peperangan pikiran yang mulai tidak jernih karena Tristan. Bagaimana kini ia melihat lelaki itu melepas satu persatu pakaian di hadapannya, sehingga berakhir shirtless. “Berhen—“ Caterina memejamkan netra saat Tristan terus mengukung hingga ia merapat pada lemari besar di belakangnya, namun kembali membuka netra perlahan saat tidak terjadi apa-apa. Ia melongo seketika mendapati Tristan memberikannya sebuah kemeja putih yang masih terlihat rapi. Tristan baru mengambil yang baru dari dalam lemari di belakangnya. “Pakai ini. Aku tidak punya gaun di sini. Ganti gaunmu yang sudah membuat mataku sakit sejak tadi dengan ini.” Caterina masih mengerjap. Mulai merasa bodoh dengan situasi yang dihadapinya. “Jangan berpikir kotor. Aku tidak akan menyentuhmu sebelum kamu sah menjadi istriku. Aku bukan pria semacam itu. Lihatlah, bukankah kamu beruntung memiliki calon suami seorang Tristan Selvagio?” sarkas Tristan dalam kekehan kecilnya. “Hanya saja ... tidak akan ada cinta, Cate. Tetapi tenang saja. Aku akan memperlakukanmu dengan baik sesuai kode etik klan Moreno,” sambungnya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan oleh Caterina. “Ya, tidak masalah. Selama kamu tidak membeberkan rahasiaku pada padre, aku bisa hidup denganmu. Di klan Palazzo, cinta itu hanya dianggap b***k animo, Donathan,” balas Caterina dengan menarik satu sudut birai yang tersapu liptint coral peach tersebut. Tristan mengernyit. “Donathan? Kamu sudah tahu aku Donathan?” tanyanya kemudian. Mendadak terkejut dengan penuturan tunangannya. “Tentu saja. Sudah kukatakan, jangan remehkan aku, Donathan Moreno. Tetapi jangan khawatir. Semua akan berjalan seperti yang kamu mau, selama rahasiaku juga aman bersamamu.” Lagi, Caterina menguar senyuman samar yang membuat Tristan memicing cepat ke arahnya. Tristan pun terdiam beberapa sekon dengan tatapan yang masih sama. Sampai akhirnya ia kembali bersuara, "Aku pegang janjimu, dan kamu pegang janjiku. Di kampus atau di mana pun, aku adalah Tristan Selvagio. Karena ... Donathan Moreno sudah mati.” Caterina merasakan sebuah kegetiran dengan kalimat terakhir yang baru saja menguar dari birai tipis kemerahan milik Tristan. Ia menghembuskan napas perlahan sebelum akhirnya ikut bersuara. Kali ini begitu pelan. “Seperti yang kamu mau, Tristan Selvagio. Tapi ada satu hal yang aku takutkan," ucapnya. “Apa itu?” Tristan kembali memfokuskan atensinya kepada gadis cantik bermata hazel tersebut. “Campur tangan Gustav Patrizio,” sahut Caterina dalam pendaran tatapan dalamnya. "Aku bisa melenyapkannya jika terus mengganggu kita," timpal Tristan cepat. "Jadi ... apa lagi yang kamu tunggu? Apa sekarang kamu mau aku membantumu untuk mengganti gaunmu yang meresahkan itu?" tambahnya dengan menguar senyuman misterius yang berhasil membuat Caterina kelimpungan. *** To be continued ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD