Demi Ekspansi Klan

1440 Words
“Iya, Padre ... iya. Aku baik-baik saja di sini. Padre jangan khawatir.” Caterina menghela napas lelah untuk kesekian kalinya. Sudah tiga menit berlalu sejak ia menjawab panggilan telepon dari Henry, sang ayah yang terdengar begitu khawatir karena kepergiannya bersama laki-laki yang kini berstatus tunangannya tersebut. Padahal hari baru saja menyambut pagi. Tunangannya saja masih belum terlihat batang hidungnya sejak tadi. Semalam Tristan memintanya tidur di kamar berbeda. Sikap yang cukup manis untuk seorang mafia kejam seperti tunangannya itu bukan? “Bagaimana Padre tidak khawatir, Cate. Kamu tengah bersama seorang laki-laki yang paling berbahaya se-Sisilia ini. Kamu pikir Padre bisa tenang mengetahui kamu sekarang dibawa pergi oleh Tristan, hmm?” Suara bariton di seberang sana kembali membuat Caterina memijat pangkal hidungnya yang dirasa semakin berdenyut dalam rasa hampa yang menggeroti hatinya selama belasan tahun ini. “Astaga. Bagaimana Padre bisa berkata begitu? Apa pertunangan ini adalah lotre yang Padre menangkan? Dan ternyata memanglah ambisi Padre dan Gustav untuk bisa menjebak Tristan demi ekspansi kekuasaan klan Palazzo? Sungguh, aku tidak habis pikir. Padre begitu takut aku dibawa pergi Tristan, padahal Padre-lah yang meminta Tristan untuk menikahiku. Ya Tuhan ... lelucon macam apa ini?” Caterina kembali bersuara dalam pendaran kekecewaan yang ia hantarkan kepada sang ayah. “Bukan begitu, Cate. Kamu sudah salah paham. Padre tidak pernah ber—“ “Lalu apa maksud Padre menikahkanku dengan Tristan Selvagio nantinya? Ingatkan jika aku salah, bukankah Padre baru saja mengatakan kalau tunanganku itu adalah lelaki yang sangat berbahaya?” kecam Caterina, yang sejatinya kini harus mengontrol diri agar tidak sampai keceplosan dan mengungkap tentang dirinya yang merupakan seorang mahasiswi di kampus Tristan mengajar. Sang ayah tidak pernah tahu, jika Cate sudah selama tiga tahun ini mengambil program bachelor di salah satu kampus ternama yang ada di Sisilia-Italia tersebut. Caterina sudah terlalu muak karena ayahnya selama ini selalu membatasinya, memberikan program home schooling sejak ia kecil. Sehingga ketika telah cukup dewasa, ia memberontak kepada sang ayah dengan menyamar sebagai gadis kutu buku berkacamata untuk bisa berkuliah seperti orang lain di luar sana. Bagaimana selama ini ia mencoba melindungi identitasnya dari mata-mata Henry Valerio yang diketahui ada di setiap sudut pulau Sisilia tersebut. Kini ada sedikit rasa lega saat tunangannya itu bersedia untuk membantunya. Setidaknya ia punya alasan untuk bisa keluar rumah kapan pun ia butuh dengan memanfaatkan status Tristan sebagai calon suaminya. “Kamu tentu sangat mengenal Padre, Cate. Bagaimana mungkin Padre sampai hati menjerumuskanmu? Tidak, Cate. Pernikahan ini hanya untuk memperkuat hubungan bilateral klan Palazzo dan klan Moreno saja. Tidak ada hal lain yang seperti kamu sebutkan itu.” Henry kembali bersuara di ujung sana setelah terdiam beberapa waktu. Cate menarik satu sudut birainya sekarang. Ia bukan sosok naif yang seperti semua orang pikirkan. Bahkan sang ayah tidak pernah tahu segila apa sepak terjangnya di luar sana. Ia cukup tahu, bagaimana ayahnya selalu menganggap dirinya hanya sebatas gadis rumahan manja dengan segala fasilitas lengkap yang disuguhkan. Sepolos itu Caterina di mata Henry. Caterina terkekeh sendiri mengingat betapa cerdiknya ia selama ini mengendap-endap untuk bisa pergi ke kampus, hampir setiap harinya tanpa sekali pun diketahui sang ayah. Ia selalu punya trik untuk ini. Terkadang ia juga dibantu orang dalam yang sudah begitu dekat dengannya selama belasan tahun terakhir ini. Mereka memang begitu cocok satu sama lain karena mengingat memiliki usia yang sebaya—20 tahun. Dialah Luca Patrizio, sahabat Caterina sejak ia pindah ke kota Palermo tersebut bersama ayahnya. “Caterina? Kamu masih mendengarkan Padre, kan? Kenapa hanya diam saja?” “Ya, aku masih mendengarkan Padre,” sahut Caterina setelah kembali memfokuskan dirinya pada suara yang masih memendar jelas di seberang sana. “Okay. Kalau begitu ... katakan pada Padre di mana posisimu dan Tristan sekarang? Kalian masih di Palermo, kan? Share-loc sekarang juga, Cate. Biar Luca dan anak buahnya menjemputmu,” pinta Henry dengan suaranya yang tenang. “Astaga, Padre. Aku sedang bersama tunanganku, bukan bersama seorang penjahat. Ya ... mungkin dia memang penjahat di mata negara, tetapi sejauh ini dia memperlakukanku dengan sangat baik. Aku merasa aman di sini. Padre jangan khawatir berlebihan begini, Okay?! Aku akan berada di sini bersama Tristan untuk dua hari ke depan. Padre tidak lupa kan kalau sekarang weekend? Anggap saja kami di sini sedang—“ “Honeymoon? Tidak. Jangan lakukan itu, Cate. Kalian belum menikah. Status kalian sekarang ini tidak lebih dari tunangan, tidak lebih. Ingat itu, dan ... waspada dengan Tristan,” potong Henry cepat. Terdengar risau. “Ya Tuhan. Bahkan Padre belum mendengar kelanjutan kalimatku. Sudah aku katakan sebelumnya, Tristan memperlakukanku dengan sangat baik di sini. Dia tidak akan berani melakukan apa pun pada putri Henry Valerio. Padre bisa pegang kata-kataku. Okay ... kalau begitu aku matikan dulu teleponnya ya, Padre. Aku belum sarapan. Sepertinya sekarang Tristan tengah menyiapkan sarapan untukku. See you ....” Caterina tidak menunggu lama untuk mematikan sambungan teleponnya. Tatapannya kini beralih menyapu pemandangan di bawah balkon, ke arah pepohonan tinggi besar yang menjulang kokoh di sekeliling gedung apartemen tujuh lantai yang berada di semenanjung Kota Giardini Naxos tersebut. Ia yang sekarang berada di balkon lantai tiga kamar apartemen mewah itu, cukup merasakan ketenangan bersama deru angin malam yang mengurai surai panjang kecoklatannya. Begitu damai. Rasa lelah setelah melakukan perjalanan jauh dari Kota Palermo-Sisilia ke Kota Giardini Naxos yang menghabiskan waktu sekitar tiga jam itu tidak berarti apa-apa. Seakan semuanya terbayarkan setelah melihat betapa indahnya kota yang ia datangi sekarang bersama sang tunangan. Seketika ia mengernyit begitu mengingat tunangannya tersebut. merasa ada keanehan kenapa Tristan lebih memilih tinggal di kota ini? Mendadak sebuah ingatan masa kecilnya kembali menari dalam benak, membuat Caterina tersenyum getir. “Kenapa tidak di Kota Venesia saja, Tristan? Apa ... kamu benar-benar melupakan semuanya?” Caterina menghembuskan napas berat sebelum akhirnya memutuskan untuk bertolak pergi meninggalkan balkon. Ia akan menemui Tristan sekarang. Barangkali benar seperti dugaannya. Tristan tengah menyiapkan sarapan untuknya. Laki-laki itu tidak mungkin membiarkannya kelaparan setelah membawa ia kabur sejauh ini. Meskipun harus Caterina akui, ia sendiri yang meminta Tristan untuk membawanya pergi. *** "Menyiapkan sarapan? Setahuku Tristan Selvagio tidak pernah bisa melakukan itu. Omong kosong apa yang dikatakan Cate barusan?! Anak itu benar-benar ...." Di tempat yang berbeda, lebih tepatnya di Kota Palermo, Henry tengah menggerutu setelah sang putri kesayangan mematikan sambungan teleponnya begitu saja. Bukan hanya itu, Caterina juga menonaktifkan telepon selulernya. Henry berdecak kesal karena tidak mendapatkan informasi yang jelas tentang keberadaan putrinya. Helaan napas berat yang kini memendar nyata darinya, membuat satu sosok yang sejak tadi memicing ke arahnya itu menggeleng penuh kecewa. “Jadi ... kau tidak bisa menemukan keberadaan putrimu sekarang, Henry? Kenapa kau terlalu memanjakannya? Seharusnya kau bisa mendidiknya menjadi sosok gadis tangguh agar mampu menjaga dirinya di luar sana. Terutama saat sedang berada bersama Tristan Selvagio seperti sekarang. Kau tahu kan Tristan terkadang bisa melakukan apa pun tanpa bisa kita perhitungkan. Dia bisa lebih gila dari yang kita duga. Aku mengkhawatirkan Cate se—“ “Cukup, Gustav. Kenapa kamu selalu berkata begitu tentang putraku?” Presensi seorang wanita anggun yang membawa sebuah nampan berisi dua cangkir kopi itu langsung menarik atensi keduanya. Terutama Gustav yang kini menguar tatapan memuja. Membuat Henry di seberangnya seketika melengos sembari menggelengkan kepala. Selalu dibuat pusing dengan tingkah pimpinan klan Palazzo yang juga sahabatnya sejak lama tersebut. “Apa aku mengatakan sesuatu yang salah, Amadhea?” tanya Gustav kemudian dengan tangan yang begitu terburu-buru meraih cangkir berisi kopi hitam pekat yang baru disuguhkan istrinya. Hingga pada detik berikutnya cangkir itu terlepas dari tangan—pecah—dan berhamburan di lantai marmer ruang keluarga tersebut. Henry langsung berdecih. Tidak heran lagi jika sikap ceroboh Gustav selalu membersamai persahabatan mereka yang sudah terjalin selama puluhan tahun itu. Ia pun segera bangkit untuk memunguti pecahan cangkir tersebut. Selalu begitu. Gustav yang menghancurkan sesuatu, lalu ada Henry yang kemudian datang memperbaiki semuanya. Tidak ada yang berubah. Bahkan setelah Gustav kini tinggal bersama Amadhea. Wanita yang sudah dua tahun terakhir ini dinikahinya. “Tidak, Henry. Biar aku saja. Ini tugasku,” sergah Amadhea seraya menunduk untuk membesihkan kekacauan pagi hari yang telah dibuat suaminya. “Jangan, Sayang. Biar Henry saja.” Gustav dengan cergas menahan tangan istrinya. “Biar saja itu jadi hukuman untuk Henry karena gagal mendapatkan informasi tentang keberadaan Tristan dan Caterina,” sambungnya dengan tatapan yang sulit diartikan oleh Amadhea. “Ya, tidak masalah. Karena memang salahku. Dan setelah ini aku tetap tidak bisa melacak mereka. Caterina menonaktifkan selulernya.” Henry kini memelas seraya menggerakkan selusur untuk memunguti pecahan kaca cangkir yang dijatuhkan Gustav. “Jangan ada yang berani menyentuh putraku, tidak ada seorang pun yang boleh menyakitinya. Tidak juga dengan kamu ... Gustav,” seru Amadhea dengan kilatan manik hitam yang menyala. *** To be continued ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD