Pemegang Kendali Permainan

1342 Words
"Tristan, sebaiknya kalian segera kembali ke Palermo," ucap Vitto begitu melihat sahabatnya itu termangu setelah mendengar ucapannya sebelumnya. Vitto bukannya tidak tahu-menahu apa yang dipikirkan Tristan sekarang. Ia cukup tahu. Mereka seakan punya telepati satu sama lain jika sudah menyangkut soal keselamatan nyawa dan juga klan. Termasuk ... animo Tristan terhadap seorang wanita. Vitto sadar, Tristan mendadak berubah ketika bersama Caterina. Agak terkendali daripada biasanya. "Apa kita harus kembali secepat ini?" Caterina menyeletuk begitu melihat suasana menjadi tegang tiba-tiba. "Apa kamu begitu betah di sini?" balas Tristan. Lelaki muda berusia 22 tahun itu mendadak mengulas senyuman samar. Hanya Vitto yang menyadari arti senyuman itu, tidak dengan Caterina yang malah tengah menghela napas berat sekarang. Vitto pun tersenyum penuh arti. "Aku suka permainan ini," batinnya. "Hei, aku sedang bertanya, apa kamu betah di sini? Tidak mau kembali ke rumah Henry?" sentak Tristan semakin mengeratkan tangan di pinggang Caterina. Caterina bergerak cepat untuk melepaskan diri, dan ia berhasil. Kini ia mendekat kembali ke wastafel dapur. Menatap tumpukan piring kotor yang ia yakini sudah tergeletak di sana sejak tadi malam. Ia kini mengerti jika Tristan dan Vitto baru berpesta semalam tanpanya. "Ya, aku sangat betah di sini. Aku suka," jawab Caterina seraya menggerakkan tangannya mengambil spons pencuci piring. Untuk pertama kalinya, ia ingin melakukan pekerjaan rumah tangga. Tidak ada alasan. Hanya sedang ingin saja. "Kalau begitu kita akan berkunjung ke sini setiap weekend dan libur kuliah. Setelah kita menikah." Tahu-tahu Tristan sudah berada di belakang Caterina. Mengendus harum manis vanilla dari ceruk leher jenjang tunangannya. Hanya sekejap. Karena tepat pada detik ketiga selusurnya sudah beralih menggenggam selusur Caterina. Mengarahkan wanita yang masih mengenakan kemeja putihnya itu untuk menggosok setiap lekuk piring kotor yang ada di depan mereka. Diperlakukan seperti itu, Caterina seketika meremang. Ia kesusahan menelan saliva. Darahnya yang terus berdesir membuat ritme debaran di dadanya memacu semakin cepat. "ASTAGA! Jangan lakukan itu di depanku, Tristan! Kau tahu aku ini tidak punya pasangan. Jadi, berhenti bermesraan di depanku." Vitto memencak kesal setelah mematikan kompor induksi di depannya. "Kau kenapa, Vitto? Kenapa jadi kebakaran jenggot begitu? Aku sedang mengajari Caterina mencuci piring. Apa yang membuatmu mendadak sensitif, hah?!" Tristan yang masih bertahan pada posisi sebelumnya—mendekap Caterina dari belakang—kini mengerling kesal ke arah Vitto. "Jika kau juga ingin seperti ini, cepat cari pasangan real di luar sana. Jangan terus memacari komputermu itu. Aku membebaskanmu bergaul dengan banyak orang di luar sana. Selama kau menjaga identitas mu. Itu tidak masalah untukku dan juga Klan Moreno," tambah Tristan berapi-api. "Hei! kamu berteriak tepat di telingaku, Tristan. Yang benar saja?!" Caterina meringis seketika. Tangannya mendadak terhenti bersamaan dengan Tristan yang memutar badannya. Kini mereka saling berhadapan. "Kamu harus terbiasa dengan semua ini, Cate. Ingat, satu minggu lagi kamu akan resmi menjadi Mrs. Selvagio. So, nikmati saja. Termasuk ... biasakan dirimu berbagi tempat tidur denganku." Tristan yang masih merangkul pinggang Caterina, menjadikan gadis itu menegang. Setiap kalimat seduktif yang menguar dari birai Tristan membuainya hingga kesulitan untuk sekedar menarik napas. Begitu juga dengan Vitto yang mencemooh tindakan pimpinan mafia itu. Ia kini semakin yakin, hanya Caterina yang bisa mengendalikan Tristan. Sahabatnya itu mulai luluh pun dibuat lemah oleh seorang wanita. Vitto menggelengkan kepala dan berbalik untuk menyembunyikan senyuman gigi kelincinya. *** Waktu berjalan cepat bagi Caterina. Karena kebersamaannya dengan sang tunangan terasa hanya sekejap mata. Seperti sekarang ini contohnya. Gadis cantik bersurai kecoklatan itu tengah mengelap mulutnya dengan serbet putih yang tersampir di sisi piring makannya. Ia baru saja menyelesaikan ritual makan malam bersama sang tunangan yang sejak belasan menit lalu terus saja terdiam dengan tatapan yang tidak berhenti menghujam tepat di hatinya. Ini benar-benar gila. Seharian menghabiskan waktu bersama tunangannya tersebut membuatnya hampir hilang kewarasan. Pesona Tristan Selvagio terlalu kuat menjerat. Tidak memberinya sedikit jeda untuk bernapas lega seperti biasanya. Tristan sendiri juga tidak mengerti, kenapa mendadak atensinya terhisap pada sang gadis yang malam itu mengenakan black T-shirt miliknya yang kebesaran. Dibuat tidak mampu berpaling, sampai sebuah kalimat yang tidak terkontrol, kini lolos begitu saja. "Malam ini ... mau berbagi tempat tidur denganku?" ucapnya tiba-tiba. Caterina hampir tersedak jus jeruk yang baru saja diteguknya dari gelas sloki panjang tersebut. "A-apa?" Caterina ingin memastikan lagi bahwa apa yang didengarnya barusan adalah salah. Menunggu beberapa sekon, tetap tidak ada jawaban apa pun dari Tristan. Bagaimana sekarang lelaki itu bergerak cepat bangkit dari kursi kebesarannya dan meraih piring kotor di atas meja makan tanpa sedikitpun melirik Caterina. Tristan sebenarnya sedang mencoba menghindar—kabur. Mendadak gusar sendiri setelah melayangkan kalimat seduktif segila itu. "Biar aku saja, Tristan," pinta Caterina yang kini ikut bangkit dari kursinya. Ia paham jika sang tunangan berniat membereskan meja makan dan mencuci piring setelahnya. "No. Kamu ke kamar saja. Biar aku yang membereskannya. Aku sudah terbiasa melakukan ini. Di sini, aku dan Vitto tidak bisa memakai jasa housemaid sembarangan. Ini lebih dari sekedar apartemen biasa. Ini tempat persembunyianku dua tahun terakhir ini. Jika kali ini aku juga tertangkap oleh musuh, maka tidak ada cara lain selain meninggalkan semuanya. Kita akan pindah. Tapi kuharap, itu tidak akan pernah terjadi. Aku sudah terlalu nyaman di sini. Merasa tenang." Tristan tersenyum tipis. "Aku juga. Baru sehari di sini rasanya begitu damai. Perasaan yang tidak aku dapatkan saat sedang di Palermo sana," timpal Caterina cepat. "Hmm ... mungkin bukan karena tempatnya, Cate. Tetapi kamu merasakan kenyamanan karena bersamaku, kan? Ya, tidak masalah. Setelah aku membereskan semua ini, aku akan memanjakanmu." Tristan menyeringai samar lalu berbalik cepat meninggalkan Caterina yang kini melebarkan netra karena perkataannya. Bagaimana sekarang gadis itu melempar bogem mentahnya ke udara. Mendadak kesal selalu kalah telak di depan Tristan. Ingin rasanya dia saja yang memegang kendali permainan. *** "Ssttt!" Sebuah desisan yang memendar tiba-tiba di antara bunyi air yang tengah menuruni keran wastafel dapur tersebut, membuat Tristan menghela napas panjang. "Letakkan saja di meja bar sana, Vitto. Jangan menggangguku. Tidak lihat aku sedang sibuk, hah?!" decak Tristan. "Wait, bagaimana kau tahu aku mendapatkan barangnya?" Lelaki bertubuh atletis itu mengernyit penasaran. "Tentu saja aku tahu, bukankah tadi siang sudah aku katakan padamu, jangan kembali jika tidak membawa barang yang kuminta." Tristan menarik sudut birai seraya membilas piring terakhir yang ada di tangannya. "Ah, ya. Seharusnya aku tahu itu. Okay, jadi di mana Caterina? Biar dia lihat sendiri apa yang kau belikan untuknya." Vitto mengedarkan pandangan mencari keberadaan sosok yang paling cantik di kediaman mereka tersebut. "Dia sedang di kamar. Menungguku. Biar aku saja yang mengantarnya," jawab Tristan santai. Namun setelah itu ia mendelik, menyadari ucapannya yang lagi-lagi salah. "Maksudku, dia sedang beristirahat," tambahnya, gusar. "Iya ... iya. Aku mengerti maksudmu. Sudahlah. Nikmati saja waktu kebersamaan kalian yang tenang seperti sekarang. Karena ... kita tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya." Vitto menerawang sembari menarik sudut birai. Sudah lama juga ia tidak merasa setenang ini. Sedikit aneh saat musuh dari klan mereka tidak menggebu seperti biasanya untuk menjatuhkan dan menyerang. "Sebenarnya apa yang ingin kau katakan, Vitto? Aku tahu, kau menyembunyikan sesuatu dariku," sergah Tristan yang kini tengah mengelap tangannya dengan kain serbet yang ia ambil dari dalam laci meja bar dapur tersebut. Suara bariton Tristan langsung menyentak rungu Vitto. Ia mengerjap cepat lalu menatap Tristan dalam. Mencoba menghubungkan telepati mereka. "Kau sudah tahu apa yang harus kau lakukan jika itu semua sampai terjadi, kan?" Tristan ikut menatap sahabatnya yang setia itu dengan tatapannya yang dalam. Ada kegetiran yang terukir jelas di kedua netranya. "Ya, jangan khawatir. Semua sudah aku persiapkan. Kau dan Caterina akan tetap aman sampai di Palermo nantinya." Vitto menghembuskan napas pelan. "Lalu bagaimana denganmu? Di Palermo, kau bisa menetap di apartemenku satunya lagi, Vitto." Tristan ikut menghembuskan napas. Namun, dalam ketegangan. "Kau selalu tahu, Tristan. Aku tidak pernah bisa meninggalkan Giardini Naxos. Aku hidup di sini, dan ... aku juga akan mati di sini. Aku hanya akan menjagamu dari sini. Kita akan selalu terhubung. Jangan khawatirkan apa pun. Aku bisa menjaga diri. Yang terpenting sekarang adalah kau dan Caterina. Kalian masih harus menjalankan poin perjanjian selanjutnya." Vitto kini tersenyum. Mendadak tenang. "Kau tahu? Aku selalu benci melihat senyuman itu. Berhenti bersikap seolah hatimu baik-baik saja." Tristan memicing tidak suka. *** To be continued ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD