PART 4

1089 Words
Willy meletakan buku yang dibawanya. Dia merupakan guru yang tidak ribet. Hanya membawa stau buku, dan absensi. Willy termasuk salah satu tenaga pengajar yang usianya masih muda, bahkan paling muda di sekolah ini. Meskipun begitu, ia termasuk ramah. Willy juga sering memberikan materi fisika dengan mudah dipahami. Meskipun memang ada saja yang meminta penjelasan ulang. Tetapi, bagi Gian lebih baik dibanding Bu Ida yang galak dan bahkan tidak mengenali murid-murid di kelasnya. Ralat, tidak terlalu dekat dengan muridnya. Gian memang mensyukuri hal itu. Bu Ida tidak terlalu dekat dengannya. Namun, ia menduga Pak Willy akan berbeda. Pak Willy terlalu ramah. Terlalu mudah menghapal murid di kelasnya. Gian tidak ingin dikenal. Sementara faktanya Pak Willy berusaha mengenal muridnya dengan baik. Lihat dengan cara mengabsen muridnya. Lelaki itu menyebutkan nama lengkap, lalu menanyakan tentang hobi, tentang alamat, juga tentang keseharian muridnya. Secara singkat memang, tidak memakan waktu juga. Namun, cara pendekatan itu pasti membuat Pak Willy gampang mengingat muridnya. Pikir Gian saat melihat Pak Willy mengabsen. Kini gilirannya. “Gian Asraf,” namanya dipanggil, ia mengangkat tangan. “Sudah mengerjakan PR?” Gian mengangguk sebagai jawaban. Untunglah Pak Willy tidak menanyakan hal lain yang berhubungan dengannya. Gian mengira. Pak Willy akan menanyakan hobinya, atau membahas hal-hal lain yang tidak ingin Gian ungkapkan. “Gian pulang sekolah main yuk?” lagi, Tan mengajak Gian untuk berteman. Gian hanya menggeleng sebagai jawaban. “Sori, ada kerjaan di rumah,” begitulah jawaban Gian untuk membuat Tan terdiam. Dia sedikit berbohong, dia sebenarnya tidak mau bermain, mesikpun memang di rumah dia akan menulis dan Gian menganggap hal itu sebagai pekerjaan rumah. Willy menyelesaikan mengabsen. Kini mulai menulis soal-soal latihan di papan tulis dengan spidol. Willy sengaja tidak menyuruh muridnya mengumpulkan PR di awal. Ia biasanya akan meminta ketua kelas untuk mengumpulkan PR setelah mata pelajaran selesai. Untuk itu Willy menulis soal laithan dan akan membahasnya dengan muridnya. Ini sebagai cara agar murdinya dengan mudah menyelesaikan PR yang ia berikan. Kelas berlangsung dengan biasa. Monoton bagi Gian. Ya mendengarkan guru, melihat teman-temannya aktif menjawab soal. Memahami pelajaran sebisanya. Kadang menjawab pertanyaan dari Tan dengan singkat. Begitu terus setiap harinya. Gian terlalu sering hidup dalam rutinitas ini. Tanpa ia sadari, waktu berjalan dengan cepat. Bel pergantian mata pelajaran telah berbunyi. Satu pelajaran lagi sebelum istrirahat. “Anak-anak, jangan lupa kumpulkan PR di Gian, tolong kumpulkan dan taruh di meja saya,” Gian terkejut. Baru kali ini dia disuruh mengumpulkan PR. Biasanya kan Tan. “Mau dibantuin?” Tan menawarkan pertolongan. Sedikit membuatnya tidak enak, karena selama Tan bertugas mengumpulkan PR. Gian tidak pernah membantunya. Mengangguk. Gian akhirnya dibantu oleh Tan mengumpulkan PR. Mengikuti Pak Willy yang sudah berjalan di depan sana. Gian masih heran dengan apa yang diperintahkan Pak Willy. Memang hanya sebatas mengumpulan tugas. Namun, sepertinya akan ada hal lain. Gian meyakini itu. Gian tidak tahu apa itu, yang pasti ia hanya mengikuti perintah saja. Untungnya, Tan masih baik dan membantunya dengan sukaela. “Makasih Tan,” akhirnya sebelum masuk ke ruang guru. Gian mengatakan hal itu. Membuat Tan tersenyum seolah ucapan terimakasih Gian adalah hal yang berharga baginya. “Oke, kita temenan dong ya,” Gian tidak menjawabnya dan menaruh buku-buku itu di atas meja Pak Willy. “Gian, setelah pelajaran terakhir, tolong hubungi saya di ruang guru, ada yang mau saya biacaran,” ini lebih membuatnya bingung. Memang Gian akan menemui Pak Willy untuk mengembalikan dompet, tetapi ia tidak menyangka jika guru baru itu ingin menemuinya juga. Sepertinya akan ada masalah. Gian hanya mengangguk. Mereka keluar ruang guru dengan wajah bingung. Tan juga tidak paham mengapa Gian disuruh menghadap Pak Willy. Padahal, ia tahu bahwa Gian salah satu murid yang cukup rajin sekolah. Nilai Gian juga tidak terlalu buruk. “Ada masalah apa sama Pak Willy?” Tan bertanya saat mereka berjalan menuju kelas. Gian masih bingung. Apakah ia berbuat salah? “Nggak tahu,” jawabnya dengan singkat. Tan melihat wajah Gian yang masih bingung. Kelas berlangsung dengan biasa. Pelajaran Bahasa Indonesia. Lalu setelah istrirahat pelajaran Kesenian sebagai penutup. Hari ini hanya tiga pelajaran saja. tidak terlalu banyak, tetapi materinya berbobot. Penuh dengan tugas yang kadang bisa menyita waktu pulang. Untunglah tugas Kesenian hanya diminta untuk menggambar hal-hal abstrak, sesuai dengan panduan yang telah diberikan guru. Tugasnya dibawa pulang ke rumah. Gian bisa bernapas dengan lega. Saat istirahat tadi, Gian hanya pergi ke kantin sebentar. Tentunya saat jam istirahat akan habis. Dimana kantin cukup lengang. Gian hanya membeli beberapa makanan ringan. Lalu pergi ke kelas lagi. Gian tidak melihat Ginan di kantin, biasanya gadis itu akan menghabiskan waktu istrirahat di kantin. Mungkin, Ginan ada urusan lain. Sekarang saat bel pulang sudah berbunyi sejak tadi, Ginan sudah menunggu Gian di parkiran motor. “Gin aku mau ketemu guru dulu, kamu pulang sendiri ya, bawa motorku,” Gian tahu Ginan tidak suka menunggu. Jadi, ia menyerahkan kunci motornya. “Nggak mau ditungguin?” Ginan menawarkan diri untuk menunggu Gian selama bertemu guru itu. “Halah, paling kamu nggak betah nunggu lama-lama, udah pulang aja. Nanti aku naik ojek online,” sebagai jawaban Ginan hanya tersenyum lebar. Ginan memang seperti itu. Entah Gian yang terlalu perhatian. Entah Ginan yang butuh perhatian. Keduanya selalu merasa nyaman dengan hal itu. Gian tidak mempermasalahkan Ginan yang malas menunggu. Lagi pula, ia tidak mau Ginan bertanya-tanya tentang pertemuannya dengan Pak Willy itu. Biarlah itu menjadi urusanny sendiri. Kenal Ginan sejak kecil membuat Gian terbiasa dengan sikap Ginan. Sahabatnya itu tetap baik padanya, tetap mau berteman meskipun kadang Gian bersikap dingin semenjak masuk SMA. Tetapi, yang namanya sahabat tidak akan pernah meninggalkan sahabatnya dalam keadaan apapun kan? Jadi meskipun Gian sedikit berubah, Ginan tetap mau berteman dengannya. Begitulah yang Gian syukuri. Kini, masalah selanjutnya adalah Pak Willy Prasetya. Gian segera berjalan ke ruang guru. Ia masih terus menerawang tentang berbagai hal. Tentang kedatangan Pak Willy. Tentang hal-hal yang terjadi padanya semenjak kelas tiga SMA. Ia rasa tidak ada yang salah. Toh baru satu bulan belajar, Gian tidak pernah membolos, Gian juga tidak pernah mendapatkan nilai tiga puluh, hanya pernah mendapatkan nilai enam puluh. Lalu apa masalahnya? Apa yang ingin Pak Willy biacarakan dengan Gian? Sementara itu, Willy tengah memeriksa tugas pekerjaan rumah murid-muridnya. Selagi menunggu Gian, ia mulai menilai tugas-tugas itu. Lebih tepatnya, memeriksa. Willy sering menambahkan catatan kecil dalam buku tugas muridnya. Kadang sebagai penyemangat atau ucapan selamat karena mendapatkan nilai memuaskan. “Permisi,” Gian masuk ke ruang guru. Terlihat begitu sepi. Hanya ada Pak Willy, dan satu guru yang bersiap-siap untuk pulang. Willy menatap Gian. Membuat muridnya itu terdiam beberapa saat. Masih tidak mengerti. Akhirnya, Willy menyuruh Gian untuk mengambil kursi dan duduk di depan mejanya. Mereka siap membicarakan sesuatu hal yang tadi membuat Gian penasaran.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD