PART 3

1000 Words
Orang-orang sering berpendapat, jika kau berhasil masuk universitas favorit, maka kau akan mendapatkan gaji yang besar ketika berkerja nanti. Orang-orang terlau berharap. Orang-orang terlalu menilai. Orang-orang terlalu menduga-duga. Seperti halnya Gian. Remaja lelaki itu sempat terkejut karena Willy Prasetya, guru fisika baru di sekolahnya. Guru baru itu merupakan lulusan dari universitas ternama. Dia juga sempat bekerja dengan pekerjaan yang luar biasa. Namun, dia memilih mengajar sebagai guru fisika di SMA Pertiwi. Gian tidak habis pikir, mengapa melepas pekerjaan yang sudah pasti menghasilkan uang banyak, demi mengajar di sekolah swasta? SMA Pertiwi memang salah satu SMA favorit di Jakarta. Gaji gurunya juga lumayan besar. Tetapi, Gian meyakini jika gaji Pak Willy sebelumnya lebih besar daripada gaji di SMA ini. Gian terlalu mengikuti pandangan masyarakat. Gian terlalu gampang menilai, Gian terlalu memperdulikan hal-hal yang sebenarnya tidak dikhawatirkan Willy. Lelaki berumur dua puluh lima tahun itu, memutuskan mengajar karena sesuatu hal. Sebuah kejadian yang benar-benar mengubah garis hidupnya. Gian tidak terlalu dekat dengan guru baru itu. Dia hanya merasa aneh, terlebih guru itu menjadi wali kelasnya, menggantikan Bu Ida yang cuti karena sedang hamil tua. Semesta sepertinya sengaja membuat Gian ingin mengenal Willy Prasetya lebih dalam. Entah karena masih ada rasa penasaran, atau karena dompet yang ditemukan Gian. Iya, lelaki itu berencana untuk mengembalikan dompet setelah pulang sekolah. Murid SMA atau bahkan remaja-remaja seusia Gian, memang sering memiliki tingkat keingintahuan yang lebih tinggi. Gian sebenarnya tidak suka dengan hal-hal yang bisa saja mengusik dunianya. Gian tidak mau berurusan dengan orang lain, untuk hal yang tidak penting. Tetapi, kehadiran guru baru itu sering mengusik dirinya. Pertanyaan-pertanyaan yang belum ia temukan jawabannya. Serta keraguan-keraguan tentang dirinya. Ia rasa, semua itu berhubungan dengan Pak Willy. Guru baru berbadan bagus, tidak terlalu berotot memang, tapi tidak terlalu kurus juga. Gian menyimpulkan jika Pak Willy bertubuh atletis, dengan wajah seperti aktor. “Gin aku duluan,” setelah memarkirkan motornya. Meletakkan helm miliknya dan milik Ginan. Ia berjalan menuju kelas. Mereka berbeda penjurusan. Di awal kelas sebelas, Gian memilih untuk di jurusan IPA, sementara Ginan di jurusan IPS. Jelas, karena Ginan tidak suka dengan hitung menghitung. Ginan lebih suka dengan seni, sosial, sejarah atau apapun itu yang ada di ruang lingkup ilmu pengetahuan sosial. Sekarang mereka sudah berada di kelas dua belas. “Mau kemana bang? Kok buru-buru amat,” Ginan berteriak, ia tidak mau kalah. Ia menyusul Gian dengan berjalan lebih cepat. “Gin aku kan udah bilang, kalau di sekolah jangan deket-deket, cukup berangkat dan pulang aja yang barengan,” balas Gian mulai mengeluarkan hedseat di kantong celananya. Sekolah putih abu-abu itu masih sepi. Setidaknya, ada beberapa murid yang baru saja datang. Masih pukul setengah delapan. Kelas dimulai pukul delapan pagi. Tetapi, kedua anak itu selalu datang lebih awal. Ginan biasanya menghabiskan waktunya untuk membaca novel, sebelum kelas di mulai. Gian lebih suka mendengarkan musik di ponselnya, lewat headset yang selalu ia bahwa. “Kamu ini introvert banget ya, sampe nggak mau ada yang nemenin?” cibir Ginan. Mereka sudah berada di koridor. Kelas Gian berada di ujung, sementara kelas Ginan berada di koridor kedua setelah melewati kelas Gian tentunya. “Nggak usah nyinyir, udah ah aku duluan ya, “ Gian pamit sambil mengacak-ngacak rambut Ginan. Ia selalu saja begitu. Ginan melihat punggung Gian mulai menjauh. Lelaki itu berlari agar Ginan tidak bisa mengejarnya. Ginan hanya terdiam menatap sahabatnya dengan heran. Gian selau saja pengen sendiri. Selalu saja susah di ajak ke tempat ramai. Ginan merasa ada sesuatu hal yang tidak diketahuinya. Ada hal yang disembunyikan lelaki itu. *** Kelas dimulai dalam beberapa menit lagi. Bel sedang berbunyi. Gian melepas headset dan mulai mengambil buku. Hari ini pelajaran fisika. Pak Willy akan mengajar di kelasnya. Jadwal pelajaran fisika sebanyak dua kali dalam seminggu. Jadi, Gian akan bertemu dengan guru baru itu sebanyak dua pertemuan. Gian merupakan murid yang duduk di bangku dua teratas dari belakang. Gian tidak duduk di depan karena tidak ingin dilihat terlalu aktif. Gian jika tidak mau duduk di belakang, karena ia bukan murid pemalas. Gian duduk sebangku dengan si ketua kelas. Hal itu secara tidak sengaja. Awalnya Gian memilih untuk duduk sendiri. Ia berdalih karena bangku dikelasnya lebih, dan lebih baik ia duduk sendirian saja. Lagi pula, teman-temannya sudah mendapatkan bangku. Tan, si ketua kelas justru memilih untuk duduk di sebelah Gian. Selama satu bulan di kelas dua belas ini, Gian hanya berbicara secukupnya saja. Meskipun, Tan yang merupakan salah satu murid terpintar di kelas itu, sering mencoba mengajak Gian becanda. Lagi, Tan tidak berhasil membuat Gian lebih ramah. “Gian, selamat pagi..,” Tan menyapa teman sebangkunya dengan riang. Gian hanya mengangguk saja. untungnya dia duduk dekat tembok, jadi tidak perlu bergeser ketika Tan akan duduk. “Gian, kamu udah ngerjain PR fisika?” Gian hanya mengangguk lagi, sebagai jawaban. “Udah satu bulan loh aku dicuekin terus,” Tan memperlihatkan wajah murungnya. Gian menatapnya sebentar. “Saya nggak pernah nyuruh kamu buat nyapa kok,” Gian memang seperti itu. Bertingkah dingin pada orang lain. Selain orang-orang terdekatnya. “Galak amat, pantesan ada yang bilang, kalau dari kelas satu kamu suka duduk sendirian ya, temenmu cuma si Ginan ya, anak dua belas ips dua itu kan?” Gian tidak terkejut. Beberapa orang yang pernah sekelas dengannya pasti menyebarkan infomasi itu. Gian memang tidak pernah berteman dengan siapapun, kecuali Ginan. Beberapa murid yang pernah sekelas dengannya memang pernah mendekat untuk mengajak berteman. Tetapi hal itu tidak lebih, hanya sekadar ikut kerja kelompok. Makan di kantin. Serta hal biasa, yang tidak pernah Gian anggap sebagai sebuah pertemanan yang sakral. Tan mungkin salah satu orang yang juga berusaha mengajak Gian berteman. Gian meyakini bahwa Tan hanya sebagai teman satu meja. Gian hanya mengangguk untuk membalas perkataan Tan tadi. Seorang guru dengan setelan celana hitam juga kemeja biru lautnya masuk. Kemeja yang dengan sengaja ia lipatkan lengan panjangnya. Begitulah gaya Pak Willy dalam mengajar. Masih terlihat sopan memang, namun sekali lagi murid-murid justru lebih terfokus pada wajahnya dari pada apa yang disampaikan beliau. “Selamat pagi,” murd-murid membalasanya dengan antusias. Terutama murid perempuan yang duduk di barisan paling depan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD