PART 2

986 Words
Dingin malam menusuk mereka secara perlahan. Gian merapatkan swetter-nya. Gian tidak memakai jaket, tetapi ia tidak mengubris udara malam itu. Gian hanya fokus pada motor yang sedang ia kendarai. Mengitari kompleks lalu masuk dalam jalan raya yang cukup macet. Tetapi, Gian tahu jalan pintas untuk lebih cepat sampai di Gramedia. Toko buku yang sebenarnya terletak dalam sebuah mall, di salah satu mall di Jakarta itu. Sepanjang perjalanan, Ginan terus mengajaknya berbicara. Ginan menceritakan tentang kegiatan di sekolah. Ia bercerita tentang pelajaran olah raga yang tidak ia sukai. Ginan hampir pingsan karena disuruh berlari mengitari lapangan. Gian hanya menimpali lalu mengatainya sebagai perempuan lemah. Gian memukul helm Gian dan membuat lelaki itu hampir memberhentikan motor yang dikendarainya itu. Jakarta dan segala kemacetannya memang sebuah hubungan yang tidak bisa dipisahkan. Tetapi hidup di kota yang super sibuk membuat Gian harus memikirkan berbagai cara untuk tetap bertahan. Pun ia harus tahu jalan pintas untuk mencapai sebuah tujuan, agar bisa menghindari macet. Gian mengitari perkampungan, setelah melewati kompleks perumahannya itu. Masuk ke jalan raya yang tidak terlalu ramai. Ia berhasil menghindar dari jalan raya, yang membuat para supir mengeluh karena harus menunggu kemacetan selama berjam-jam. Setengah jam dilalui dengan cerita-cerita Ginan. Keduanya tengah sampai di mall. Mereka tengah masuk dalam mall. Motor sudah aman di tempat parkir mall yang sungguh tidak Gian suka. Dia harus berhadapan dengan orang-orang lain yang juga datang atau pergi membawa motornya. Maka, yang bisa Gian lakukan adalah menerima hal itu. Mengikuti kemana Ginan melangkah. “Kamu mau beli apa sih?” Gian menanyakanya saat mereka sudah menelusuri raka-rak khusus novel. “Beli novel itu, lagi laris banget novelnya,” Ginan menunjuk novel yang tengah berjejer dibarisan best seller. Ginan sudah tahu apa yang ingin ia beli. Tetapi tetap saja, ia harus menelusuri rak-rak itu. Gian sungguh tidak ingin mengikuti gaya Ginan yang seperti ini. membuang-buang waktu saja. Gian tidak suka berlama-lama di tempat itu. Toko buku cukup ramai dikunjungi para remaja. “Aku tuh pengen liat-liat dulu, siapa tahu ada novel menarik yang wajib dibeli,” begitulah sanggahan Ginan atas opini yang tadi dikeluarkan Gian. “Yaudah aku ke toilet dulu ya,” Gian tidak ingin membuang air kecil ataupun buang air besar. Gian hanya ingin ke toilet, sekadar cuci muka. Alasan utama Gian pergi, karena ia tidak ingin terlalu lama berdiri di jejeran rak buku. Memandangi sekitar. Mendengarkan para remaja yang mebahas tokoh utama di novel-novel popuer. Gian memilih pergi ke toilet. Ia juga tengah memasang headset-nya. Memutar musik yang barang kali lebih membuatnya tenang. Gian memang aneh. Baginya, keramaian selalu menyimpan hal yang mencengkam. Ketakutannya selalu saja menguasai diri Gian saat berada di tempat ramai. Kejadian di masa lalu tidak bisa dengan mudah ia lupakan. Selalu ada sisi yang membuat Gian mengingat hal itu. Gian dan segala hal yang pernah terjadi di hidupnya. Gian tengah sampai di toilet. Di sana cukup sepi. Gian mencuci tangannya, sesekali melihat wajahnya di cermin. Tidak ada satupun bekas luka. Gian memiliki wajah khas Indonesia. Kulitnya yang berwarna kuning langsat membuatnya tampak percaya diri. Dia memang bukan murid populer. Bukan pula badboy seperti dalam tokoh novel. Gian hanya murid biasa. Memang masuk dalam lima belas besar di kelasnya. Tetapi Gian juga pernah bolos sekolah, ya lebih tepatnya pura-pura sakit untuk mengindari masuk kelas. Gian tetaplah Gian. Wajahnya memang cukup rupawan. Dia pernah mendapatkans ebuah surat dari perempuan. Namun, sikap acuh tak acuhnya membuat tidak ada yang mau mendekatinya. Di kelas, ia lebih memilih untuk tidak dikenali oleh teman-temannya. Gian lebih memilih untuk tidak bergerombol dengan murid-murid itu. Seorang lelaki masuk dalam toilet. Ia sedang kebingungan. Gian ikut memperhatikan sekitar. Melihat kebawah dan meneukan sebuah dompet yang terjatuh tepat di dekat sepatunya. Gian mengira, lelaki itu pasti sedang mencari dompet ini. Gian mengambil dompet berwarna hitam itu. Berhubung disini tidak ramai, Gian mengeluarkan suaranya. “Bang, lagi cari dompet?” Gian mengangkat dompet yang tadi dipungutnya. Lelaki itu menggelengkan kepala. “Saya cari jam tangan,” lelaki itu mengabaikan Gian dan berfokus lagi pada apa yang sedang dicarinya. Gian mengira ini akan serperti di ftv-ftv. Nyatanya tidak. Ia akhirnya memutuskan untuk membawa dompet itu, dan menyerahkannya pada pak satpam. Namun, setelah berjalan keluar dari toilet. Gian membuka dompet itu. Melihat KTP milik seseorang yang baru saja dikenalinya. Kartu Tanda Pengenal milik guru fisika baru di sekolahnya itu. Gian menyakini bahwa ini lebih drama daripada tayangan televisi. Gian menganggap ini drama, sebab orang yang memiliki dompet ini adalah seseorang yang membuatnya penasaran. Jujur saja, guru baru itu terlihat aneh dimata Gian. Selain mengajar, guru itu juga menajdi wali kelasnya di kelas tiga ini. Menggantikan wali kelas lama yang cuti karena tengah hamil. Terlebih, guru itu sangat tidak cocok menjadi guru di sekolahnya. Sebuah sekolah menangah atas swasta, yang memang termasuk sekolah favorit. Tetapi, tetap saja sangat tidak cocok. “Kok lama banget ke toiletnya?” Gian memanyunkan bibirnya setelah melihat keberadaan Gian. “Apaan cuma bentaran doang ini, “ Gian melihat Ginan tengah memegang dua novel yang sepertinya ingin dibelinya. Mereka akhirnya membeli dua buah novel, tentu dengan Gian yag ikut serta membayarkan novelnya. Ginan hanya membawa uang untuk membeli satu novel, tetapi Ginan justru membeli dua novel. Dia tadi sedikit kesal pada Gian. Kini tersenyum lebar setelah Ginan membayarkan novel itu. Gian memaklumi sikap Ginan. Sudah terbiasa. Jakarta dan kembali dengan udara malamnya. Jakarta dan hujan yang sering turun tiba-tiba. Tetapi beruntunglah, kini hujan tidak turun. Gian memang masih fokus dengan motor yang dikendarainya. Gian juga memiliki fokus lain. Sebuah pikiran tentang guru barunya itu. Guru baru yang kehilangan dompetnya. Guru baru yang sejak awal masuk di sekolah, membuat Gian penasaran. Bukan penasaran karena rasa suka atau mengidolakan. Tetapi, penasaran akan hal yang tidak ia percayai menimpa guru itu. Iya, Gian masih tidak percaya manusia yang masih muda itu memilih untuk mengajar si SMA swasta. Padahal, jika dilihat dari tampangnya, ia cocok menjadi pemain film layar lebar. Dia guru lelaki, penuh teka-teki. Gian ingin menelusuri teka-teki itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD