Episode 11

1070 Words
Jazlyn merebahkan dirinya di atas ranjang sambil menatap ke atap, menghela nafas berulang kali. Kejadian stocking itu masih terus mengiang di otaknya. Meskipun begitu, rasa senang merayap lantaran usahanya berhasil. Gadis itu bangkit dari ranjang, menghampiri koper yang tidak jauh darinya. Ia membuka koper tersebut, mengambil buku diary milik Jossie. Kali ini, Jazlyn harus menyusun rencana untuk menyelamatkan Sean dari kematian. Pencegahan kutukan untuk Aldrich harus dilakukan dengan rapi. Menggagalkan kematian Sean adalah kunci satu-satunya. Jazlyn berjalan menuju ranjangnya kembali, mengambil ponsel guna mencari informasi mengenai Sean Theodor. Sayangnya, tidak banyak informasi mengenai pria itu. Yang ada hanya foto keluarga yang terpampang di dunia maya. Sepertinya, mereka sengaja tidak menyebarkan identitas pria itu. Jazlyn beralih mencari informasi mengenai Aldrich. Semua data mengenai dirinya juga tidak banyak muncul. Gadis itu mengusap rambutnya kasar. "Kenapa terlihat sulit? Data mereka seperti di sembunyikan. Aku tidak berbakat dalam hal mencuri data." Ia kemudian membanting tubuhnya di ranjang lalu memikirkan cara selanjutnya. Sementara itu, dua orang pria sedang berbincang di dalam satu mobil. Terlihat aura intimidasi terus keluar dari orang yang duduk di belakang. "Tuan, Anda yakin akan membawa nona itu masuk ke dalam mansion. Bahkan, sekarang menjemputnya." Pria yang mengemudikan mobil melirik kaca di depannya, melihat ekspresi dari pria itu. "Tuan Graham," panggil pria itu dengan lembut. Aldrich menatap tajam ke arah depan. "Kesopananmu sepertinya turun kasta, Daren." Tenggorokan pria yang bernama Daren itu mengering. Ia sedikit gemetar karena tatapan dari Aldrich. "Ini keputusanku. Kau sudah menyiapkan segalanya bukan?" Awalnya, Daren tidak percaya bahwa Aldrich akan membuat surat kontrak dengan seorang pegawai, bahkan dia juga mengangkat sekretaris. Tidak ada di sisinya selama sehari membuat pria itu ketinggalan banyak informasi mengenai junjungannya. "Su-sudah, Yang Mulia," jawab Daren gugup. Aldrich membuang muka menatap ke arah jendela. Sebentar lagi, ia akan mendapati gadis itu selalu berada di sampingnya. Dan tentunya, setiap hari, sepanjang waktu. Terus terang saja, ia tidak rela kalau Jazlyn ditatap lapar oleh pria lain. "Sudah sampai, Tuan." Ucapan Daren membuyarkan segala pemikirannya mengenai rencana-rencananya nanti. Ia pun langsung keluar mobil tanpa menunggu Daren membukakan pintu. Terdapat rumah sederhana yang begitu kecil dan seperti tidak layak di huni. Aldrich berjalan menuju ke rumah itu, diikuti Daren dari belakang. Saat hendak mengetuk pintu, handle pintu dibuka oleh seseorang dari dalam. Tangan pria itu kemudian turun menatap ke arah pintu yang terbuka. "An- Anda!" seru seseorang yang masih diam membeku di depan pintu. Dia bahkan berencana untuk pergi menyelidiki sesuatu. Tapi, malah di datangi oleh pria yang ingin menjadikannya sekretaris. "Apakah kau tidak memperbolehkan atasanmu masuk, Nona Jazlyn?" Aldrich melipat kedua tangannya, menatap gadis itu dengan pandangan menelisik. Terlihat bahwa penampilan Jazlyn sangat berbeda. Lebih fresh dan juga muda, seperti masih remaja. Daren yang melihat Jazlyn tidak mampu mengucapkan sepatah kata satu pun. Yang ada di pikiran pria itu adalah sempurna. Ia tidak menyangka bahwa Aldrich bisa menemukan gadis seperti boneka. "Silahkan masuk." Jazlyn memimpin jalan. "Duduklah, Tuan!" Aldrich duduk begitu saja di sofa, sambil menatap sekitar ruangan itu lalu beralih pada Jazlyn. "Berikan berkas itu, Daren!" titahnya. Tanpa sepatah kata satu pun, Daren memberikan amplop coklat kepada Jazlyn. "Apa ini, Tuan?" tanya Jazlyn sambil melirik amplop yang ada di tangan Daren. "Ambil!" jawab Aldrich dengan dingin. Jazlyn menghela nafas panjang, mengambil amplop itu dengan malas lalu membukanya perlahan. Terdapat surat perjanjian antara atasan dan bawahan. Dahi gadis itu berkerut. "Kita bisa melakukan ini besok. Anda tidak perlu repot-repot kemari." Tentu saja Jazlyn harus mengusir Aldrich secepatnya. Ia ingin pria itu pergi dari rumah Lucy. "Tanda tangani berkas itu!" titah Aldrich lagi. Jazlyn mengerutkan kening, menatap berkas sesekali melirik kedua pria itu bergantian. "Baca saja!" Gadis itu jengkel dengan pria tersebut. Setiap nada yang dikeluarkan adalah perintah. Tentu saja ia tidak suka ini. Tetapi, mau tidak mau, Jazlyn membaca berkas yang hanya selembar itu. Terdapat beberapa poin yang tidak mencurigakan. Namun, matanya tertuju pada poin terakhir. 'Menuruti segala kemauan pihak A, dimanapun pihak B berada' "Apa maksud dari poin terakhir? Anda tidak akan melakukan hal yang aneh, Bukan?" Aldrich melirik ke arah Daren agar memberi jawaban atas pertanyaan Jazlyn. "Tentu tidak, Nona. Ini hanya antara bawahan dan atasan saja," ucap Daren sambil tersenyum. Jujur saja, poin terakhir terlihat ambigu, tapi ini adalah hal yang wajar dalam setiap perjanjian. Okelah, Jazlyn akan menandatangani perjanjian itu. Daren menyerahkan pena kepada Jazlyn agar menandatangani berkas itu secepatnya. Tidak ingin membuang waktu terlalu lama, gadis itu segera melakukan proses penandatanganan. "Selesai," kata Jazlyn sambil menyodorkan berkas itu kepada Aldrich. Pria itu tersenyum simpul membuat gadis tersebut menyatukan alis keheranan. 'Kena kau' batin Aldrich sambil mengambil berkas tersebut. "Kemasi barang-barangmu, sekarang!Kau akan tinggal bersamaku." Perkataan Aldrich yang tiba-tiba membuat Jazlyn terbatuk kecil lantaran tersedak air liurnya sendiri. Suara itu tentu mengundang Lucy untuk masuk ke dalam ruang tamu. "Ini airnya, Jaz-" Langkah kaki wanita itu berhenti saat melihat dua pria asing datang ke rumahnya. Ia tahu betul siapa pria itu. Semua mata pun tertuju ke arah sumber suara. "Oh, maafkan aku. Aku tidak tahu kalau ada tamu." Lucy langsung duduk di sofa menatap kedua pria tampan itu. "Kenapa Anda berdiri? Silahkan duduk!" Wanita itu menatap ke arah Daren yang setia berdiri di belakang Aldrich. "Duduklah, Daren," titah Aldrich. Mau tidak mau, Daren duduk di samping Lucy dengan canggung. "Aku akan buatkan minuman," ucap Lucy beranjak dari sofa namun dicegah oleh Daren. "Tidak usah repot-repot, Nyonya. Kedatangan kami kemari ingin membawa Nona Jazlyn untuk tinggal di mansion milik keluarga Graham." "Apa!" teriak Lucy tidak kalah terkejut. Ia menatap Jazlyn yang masih bingung dengan situasi ini. 'Aku merasa dibodohi lagi' Jazlyn menatap Lucy yang terlihat murung dengan raut wajah sendu. Ia tidak tega jika harus meninggalkan wanita itu. "Tidak bisakah saya menolaknya." Tinggal di mansion milik Graham adalah kesempatan untuknya. Akan tetapi, jika terlalu cepat itu pun juga tidak baik. "Tidak!" Aldrich menolak keras. Ia harus menggenggam erat Jazlyn. Dimanapun gadis itu berada. "Kau jangan menyia-nyiakan kesempatan bagus ini, Jazlyn," kata Lucy sambil tersenyum agar gadis tersebut tidak khawatir kepadanya. Jujur, hidupnya berwarna karena hadirnya Jazlyn. Merasa tidak enak, gadis itu menyentuh kedua tangan wanita tua tersebut. "Tapi, bagaimana denganmu?" Jazlyn melirik ke arah Aldrich yang menatapnya dingin. "Ini perintah atasan!" Perkataan itu membuat tubuh gadis tersebut membeku. Perjanjian itu ternyata terkutuk, ia meremas kaosnya, menatap Daren dengan pandangan menusuk. 'Gila, ini bukan jam kerja, dia mengengkangku dengan perjanjian itu' Ingin rasanya Jazlyn protes, tapi tak bisa karena misi. Demi tercapainya sebuah misi, gadis keras kepala itu rela melakukan hal di luar dugaan. BERSAMBUNG
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD