Episode 14

1112 Words
Setelah kejadian Aldrich menyuruh Jazlyn keluar, pria itu tidak bicara padanya sampai dua hari lamanya. Bahkan, waktu rapat pun gadis tersebut hanya duduk diam, mencatat dan mengawasi jalannya rapat. Ia juga membuat laporan-laporan mengenai rapat. Segala pekerjaannya, Daren yang mengatur hal yang harus dilakukan. Jazlyn menduga, Aldrich memasang tembok baja untuk membatasi kontak dengannya. Bukannya itu bagus, kalau pria itu bersikap demikian. Ia jadi bebas untuk beraktivitas. Mengingat Aldrich yang tidak bicara padanya membuat gadis itu sangat lega. Entah kenapa dekat dengan pria itu merasa lehernya tercekik tidak bisa bernafas. 'Dua hari' batinnya sambil membolak-balikkan berkas. Selama dua hari itu pula, Jazlyn berkeliling mansion di pandu oleh Daren. Gadis itu mengingat setiap sudut dari mansion yang seperti kastil itu. Hal itu dilakukan setelah pulang kerja. Bahkan setiap malam, gadis itu mempelajari buku diary milik Jossie. Seharusnya, nanti malam adalah waktu Sean meninggal. Kejadian ini harus segera dicegah oleh Jazlyn. 'Jika aku menukar racunnya. Pasti mereka curiga' Jazlyn bermain pena sambil menatap ke arah layar komputer. Informasi yang diterima sungguh sangat minim. Ia pikir, setelah tinggal di mansion keluarga Graham segalanya akan mudah. Namun, perkiraannya meleset. Sampai sekarang pun, Jossie si pemilik Diary tidak ada di dalam penjara mewah itu. "Kemana gadis itu pergi?" Jazlyn mengusap kasar rambutnya. Dua hari, tidak mendapatkan informasi mendetail. 'Aku bisa gila!' teriaknya berulang kali di dalam hati. Menurutnya, lebih enak bertarung di lapangan membunuh iblis daripada melakukan tugas tersembunyi. Tepukan bahu dari seseorang membuyarkan lamunan Jazlyn. Gadis itu sedikit tersentak, menoleh ke belakang. "Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Emma. Gadis itu di terima di perusahaan bagian keuangan. Dia sangat senang ketika doanya terkabul, bagka sekarang dia dekat dengan Jazlyn. "Tidak ada," jawab Jazlyn lirih lalu menatap ke layar komputer kembali. "Kau sering melamun. Tuan ada di dalam 'kan? Berikan ini padanya." Sebelum mendapatkan persetujuan dari Jazlyn. Emma pergi begitu saja. Gadis itu pun hanya mendesah kesal. "Sial! Gadis itu!" geram Jazlyn meremas kuat berkas yang ada di tangannya. Ia beralih ke pintu coklat besar yang tinggi itu. Menatap pintu tersebut membuat bulu romanya berdiri. "Aku belum siap," ucap Jazlyn dengan nada lesu. Berhadapan dengan Aldrich seperti berhadapan dengan sang raja iblis. Ada perasaan takut yang mencekam, tapi ia juga tidak akan menyerah begitu saja. Jazlyn berdiri menggeser kursinya, berjalan dengan mantap menuju ke arah ruangan Aldrich. Ia mengetuk pintu sebanyak dua kali, lalu masuk begitu saja. Saat melangkahkan kaki ke dalam ruangan, hawa dingin terus menyebar. Tidak ada sosok Aldrich di sana. Ketakutan Jazlyn mereda. Ia pun berjalan menuju ke arah meja kerja pria itu. Samar-samar, ia mendengar percakapan seseorang. "Semua berjalan lancar. Nanti malam akan aku pastikan dia meminumnya." Suara itu membuat Jazlyn memasang telinganya lebar-lebar. "Awasi pergerakannya!" perintah orang yang familiar. Jazlyn tahu kalau suara itu adalah suara Aldrich. 'Mereka sudah mempersiapkannya' Jazlyn berbalik arah sambil membawa berkas itu kembali. Ia kemudian keluar ruangan dan duduk dengan kasar. "Aku tidak bisa tinggal diam. Aku akan menggagalkan rencana mereka, meski nyawaku sebagai taruhan." Gadis itu mendesah berulang kali, menatap ke arah pintu sesekali. Saat handle pintu dibuka, Jazlyn terkesiap, pura-pura membuka berkas. Seseorang pun berhenti tepat di depan meja kerjanya. "Ikut aku!" titah orang itu membuat Jazlyn meletakkan berkas tersebut. Gadis itu mendongak, menatap lekat bos barunya. "Kita akan kemana, Tuan?" ucap Jazlyn sambil berdiri. "Bukannya tidak ada meeting?" Aldrich memicingkan mata. "Ini perintah." Ia berucap sambil melangkahkan kakinya. Ayolah, Jazlyn bahkan belum setuju, dan harus mengikuti bos yang sangat dingin itu. Gadis itu pun menyambar tasnya, mengikuti Aldrich dari belakang. Punggung lebarnya terus berjalan masuk ke lift. Jujur, Jazlyn penasaran, kemana mereka akan pergi? Setelah Jazlyn masuk lift, Aldrich memencet tombol lift. Benda kotak itu kemudian turun perlahan. Tiba-tiba, Aldrich mengelus pipi Jazlyn sampai gadis itu tersentak. "Tu-Tuan!" ucap Jazlyn gugup dan sedikit mundur ke belakang. 's**t! umpat keras Aldrich di dalam hati. Selama dua hari, ia mati-matian untuk tidak mendekati Jazlyn. Berharap rasa obsesi yang bersarang itu musnah. Namun, semakin ia menekan rasa obsesi itu, Aldrich ingin sekali merengkuh gadis itu. "Ada sesuatu di pipimu." Aldrich menarik tangannya kembali, ia harus sabar menunggu sampai nanti malam. Setelah itu, baru memikirkan cara untuk menaklukan Jazlyn. Ketika pintu lift terbuka, Aldrich berjalan terlebih dahulu. Seperti biasa, Jazlyn mengikutinya dari belakang. Ia menoleh kesana kemari, melihat karyawan yang dijumpai menunduk hormat. Biasanya, kalau ia berjalan sendirian, para karyawan akan menyapa dirinya. 'Dia benar-benar berkuasa,' batin Jazlyn sambil terus berjalan menuju ke arah parkiran. Di sana sudah ada Daren yang membuka pintu mobil. Mereka berdua terus berjalan lalu masuk ke dalam benda besi itu. Daren mulai menjalankan mobil dengan pelan. Suasana di dalamnya sangat hening dan tenang, membuat Jazlyn sedikit menguap. Entah kenapa, mata rasa kantuknya tidak tertahan. Tanpa disadari, ia menutup kedua matanya. Melihat Jazlyn yang tertidur pulas, Aldrich mendekat ke arahnya. Mengelus wajah, lalu menghirup aroma tubuh gadis yang dirindukan. Matanya menyala merah saat mencium aroma itu. Daren pun angkat bicara. "Kenapa Anda harus menahannya?" Aldrich terus mengusap lembut pipi Jazlyn. "Tinggal sedikit lagi. Aku harus lebih sabar." Aldrich sendiri juga tidak tahu, perasaan apa yang singgah di hatinya. Terkadang, ia cemas, takut, gelisah, dan berdebar jika berada di dekat Jazlyn. Ia berpikir, kalau dirinya terobsesi dengan bau tubuh gadis itu. Akan tetapi, anehnya bau itu semakin memudar. Apakah karena segala pergerakkan terbatas. "Penciumanku tidak begitu berfungsi." Daren meremas stang kemudian, jika indra penciuman dari junjungannya mulai tidak berfungsi, itu artinya hal yang di nanti sudah dekat. "Malam ini, kita harus berhasil, Daren. Aku sudah menunggu sangat lama." Bunyi erangan dari Jazlyn membuat Aldrich menggeser tubuhnya. Gadis itu mulai bergerak gelisah. Ia pun perlahan membuka kedua matanya. 'Sialan,' umpat Jazlyn dengan keras di dalam hati. Bagaimana bisa ia tertidur pulas di dalam mobil tanpa beban sedikitpun? "Ma-maafkan saya, Tuan." Gadis itu melirik Aldrich yang hanya diam acuh saja. Inilah yang dibenci oleh Jazlyn, tidak di hiraukan. Yang artinya diabaikan. Berdekatan dengan manusia jenis alien itu membuatnya sangat frustasi. 'Manusia kutub es itu benar-benar menyebalkan,' pikir Jazlyn berulang kali sambil menatap gedung yang yang berada tepat di depan mobil itu berhenti. "Quen Beauty," gumam Jazlyn masih salam mode bingungnya. "Keluar!" titah Aldrich yang tidak di tanggapi oleh Jazlyn. Pria itu menyentuh tangan Jazlyn lalu menyeretnya keluar mobil. Gadis itu masih linglung dan belum sadar. "Selamat datang," sapa beberapa orang yang berjejer rapi sambil membungkuk hormat. Jazlyn tersentak kaget melihat ia sudah masuk ke dalam gedung. Matanya beralih ke tangan yang masih di genggam oleh Aldrich. 'Apa ini?' teriak Jazlyn di dalam hati sambil mencoba melepas tangan Aldrich. "Seberapa keras kau mencoba. Aku tidak akan melepaskannya." Perkataan Aldrich seperti ancaman mutlak bagi Jazlyn. 'b******k!' Gadis itu sangat tidak menyukai hal yang berhubungan dengan ancam mengancam. BERSAMBUNG
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD