Episode 13

1221 Words
Tahun 3030 Distrik Empat Adam berada di garis depan dengan pasukan para pemburu iblis lainnya. Termasuk Feng dan Thaliu. Mereka membawa senjati masing-masing. Terlihat di depan mereka pertarungan antara naga merah dan iblis raksasa. Mereka saling menggigit satu sama lain, mencari titik kelemahan. "Jika seperti ini terus, Red akan kalah, Profesor." Feng menatap cemas ke arah naga merah yang terlihat kelelahan. Sementara Roy dan Joy sudah tidak bisa berdiri lagi lantaran kehabisan tenaga. "Biar aku yang maju." Tanpa mendengar ucapan setuju dari Feng, Adam langsung lari membawa pedang samurai di tangan kanannya. "Profesor!" teriak Feng dan Thaliu. Adam terus berlari, memutari sang iblis, menebas kaki raksasanya. Darah hitam mengalir, sang iblis meraung. "Red, api!" teriak Adam berbalik arah menjauh ke titik yang lebih aman. Groar Semburan api keluar dari mulut naga merah membakar tepat di wajah sang raksasa iblis. Dia berteriak keras meraung, memanggil bala bantuan. "Sial!" umpat Adam mendengar derap langkah kaki dari arah timur. "Feng! Buat benteng dari tanah." Feng mengangguk, mengangkat salah satu kakinya lalu menghentakkan dengan keras. Suara gemuruh dari tanah tampak terdengar di telinga mereka. Tanah pun naik perlahan sampai mencapai sepuluh kilometer. Adam bernafas lega, sekarang tinggal mengalahkan iblis raksasa itu sebelum para iblis lainnya berhasil masuk ke penghalang yang dibuat oleh Feng. Kembali ke Tahun 2020, terlihat Jazlyn yang sudah siap berangkat ke kantor. Ia berdandan rapi ala kadarnya, tidak berlebihan seperti kemarin. Gadis itu membuka pintu kamarnya, berjalan menuju ke arah tangga untuk turun. Tadi malam, seharusnya ia mengelilingi mansion ini. Namun, malah ketiduran sampai pagi. Kesempatan untuk menyelidiki mansion harus tertunda. Jazlyn menoleh ke sana kemari, mencari keberadaan Aldrich dan juga Daren. Ia hanya melihat para pelayan yang tengah melakukan tugasnya. Gadis itu menghela nafas panjang lalu berjalan ke arah pintu keluar. "Anda tidak sarapan dulu, Nona," celetuk seseorang yang terdengar familiar di telinga Jazlyn. Gadis itu berbalik arah ke belakang. "Jujur saja, aku bingung dengan tempat yang luas, Daren." Daren menghampiri Jazlyn, "Mari ikut saya, Nona." Gadis itu mengikuti Daren dari belakang. Mereka menuju ke ruang makan. "Silahkan duduk." Daren menggeser kursi untuk Jazlyn. "Kedepannya, jangan lakukan itu. Aku hanya menumpang." Gadis itu merasa tidak enak dengan perilaku Daren. "Membuat Anda nyaman adalah tugas saya." Daren menaruh benda kotak hitam di atas meja, tepat di depan Jazlyn. "Ini dari Tuan, sebagai hadia penyambutan. Anda bisa memakainya." Dahi Jazlyn berkerut, menatap benda berwarna hitam itu. Lalu, beralih menatap Daren. Pria itu sedikit salah tingkah ditatap olehnya. "Dimana Tuan?" tanya Jazlyn sambil mengedipkan mata berulang kali. Ia sengaja menggoda Daren yang kelihatan canggung. "Ehem." Daren menutup mulutnya lalu membuang muka. "Beliau sudah berangkat. Anda nanti di sarankan untuk menyusul." Jazlyn melirik jam yang ada di tangannya. Bola mata cantik itu melotot sempurna saat melihat dirinya sudah terlambat. Tanpa pikir panjang lagi, gadis itu melahap roti yang sudah tertata di piring dengan lahab. Lalu, meneguk s**u dengan sekali minum. "Aku berangkat!" Jazlyn menyambar kotak hitam itu lalu berjalan mendahului Daren. "Tunggu! Biar saya antar, Nona!" teriak pria itu membuat langkah Jazlyn terhenti. "Mari!" Daren memimpin jalan lalu membuka pintu mobil. Jazlyn hanya diam menurut atas perilaku pria itu. "Terimakasih, karena Anda tidak menolak perilaku dari saya." Daren pun melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Ia melirik ke kaca depan, melihat Jazlyn yang masih berdiam diri. Tuannya sungguh beruntung mendapatkan kecantikan alami dari gadis itu. Ditambah lagi, bau memabukkan yang terus mencuat keluar. Tanpa sadar, mata pria itu berkilat merah dan lidah keluar untuk menjilati bibirnya sendiri. Ia tersentak saat sadar atas perilaku yang di luar kendali. 'Gawat… aku harus mengendalikan diriku. Jika Nona tahu, pasti dia akan ketakutan.' Daren mulai fokus dengan kemudinya. Berbeda dengan Jazlyn yang masih kalut dengan pemikirannya. Gadis itu mengeluarkan benda hitam yang telah diberikan oleh Daren dari Aldrich. Jazlyn membuka kotak itu, ada kalung permata berwarna biru lalu menyentuhnya. 'Alat pelacak' batinnya sambil meraba benda tersebut. Jika ia tidak memakainya, pasti Aldrich akan curiga. Kenapa dia harus diawasi? Jika seperti ini, pergerakannya akan terbatas. Belum lagi, ia harus menyelidiki tentang Sean. Sementara itu, Aldrich sedang duduk di singgasana kebesarannya. Ia baru saja ingin memulai rapat, tapi ada seseorang yang berada di depannya saat ini. "Sudah aku bilang, jangan datang ke kantorku." Aldrich memutar kursinya sembilan puluh derajat, membelakangi orang itu. "Aku mendengar kabar, bahwa Anda mempekerjakan sekretaris." Tangan Aldrich terkepal, manusia rendahan itu mulai ikut campur mengenai dirinya. 'Jika aku tidak membutuhkanmu. Pasti kau sudah mati' "Saya mohon… pikirkan baik-baik. Anda tidak bisa mempekerjakan orang asing di sekitar Anda. Apalagi, tinggal di lingkungan yang sama." Barang-barang di meja milik Aldrich terangkat semua. Orang itu pun sedikit gemetar. "Maafkan saya. Saya permisi dulu." Dia menggeser kursi, lalu menunduk hormat dan pergi meninggalkan Aldrich sendirian. Barang-barang yang semula berdiri kembali turun ke tempat asalnya. Aldrich mengusap kasar wajahnya lalu mengambil ponsel yang ada di saku. Jarak antara kantor dan mansion tidaklah jauh. Ia melihat di benda tebal itu, terdapat titik merah di sana. Wajahnya pun tersenyum. Bunyi ketukan pintu membuat Aldrich memutar kembali kursinya. Ia menatap ke arah pintu yang terbuka. Terlihat dua orang masuk, mendekat ke arahnya. "Kau harus dihukum, Daren," celetuk Aldrich tiba-tiba membuat Jazlyn menatap lekat ke arahnya. "Maafkan kelalaian saya,Tuan," jawab Daren dengan segala hormat sambil menunduk. Situasi macam apa ini? Pria di sampingnya menjunjung tinggi Aldrich seperti seorang raja. Sungguh tidak sedap dipandang mata. "Keluar!" teriak Aldrich membuat Jazlyn tersentak. Pria di depannya sulit di tebak. Gadis itu merasa kasihan kepada Daren. Akhirnya, ia angkat bicara. "Tuan, Daren tidak bersalah. Disini, saya yang bersalah karena bangun kesiangan. Jadi, sa-" Aldrich angkat tangan, memotong pembicaraan Jazlyn. Mulut gadis itu terkunci rapat. "Sampai kapan kau akan ada di sini, Daren?" Perkataan pria itu sedikit melembut. 'Bolehkah aku memaki pria ini? Aku sangat jengkel' Jazlyn menatap tajam ke arah Aldrich yang masih mengeluarkan aura intimidasinya. Daren pun undur diri dan meninggalkan mereka berdua. Setelah pria itu pergi, Aldrich beranjak dari kursi, mendekat ke arah Jazlyn yang masih menatapnya. "Hadiah dariku, kenapa kau tidak memakainya?" Hanya karena hadiah, pria itu harus bersitegang dengan Daren. Ini konyol, pikir Jazlyn berulang kali. "Keluarkan!" Telapak tangan Aldrich di sodorkan ke depan tubuh Jazlyn. "Biar saya yang memakainya sendiri, Tuan." Gadis itu tidak ingin terlalu dekat dengan Aldrich. "Tidak ada bantahan." Mendengar tiga kata itu membuat Jazlyn menghela nafas panjang. Ia mengeluarkan benda hitam di dalam tasnya. Kemudian memberikan kepada Aldrich. Pria itu kemudian membuka kotak tersebut. "Barbalik!" Mau tidak mau, Jazlyn membalikkan tubuhnya. Aldrich tersenyum puas, lalu memakaikan kalung tersebut kepada gadis yang tengah berdiri di depannya. Saat melihat leher jenjang putih milik Jazlyn, pikiran Aldrich mulai menggila. Ia mencium aroma tubuh gadis itu dalam-dalam sambil meneguk air liurnya berulang kali. Tanpa sadar, Aldrich mengelus leher Jazlyn. Si empu yang di elus tersentak lalu tangannya reflek bergerak memegang pergelangan tangan pria itu kemudian berbalik arah. "Jangan menyentuhku!" Geram Jazlyn tertahan di luar kendali. Gadis itu tidak suka ada pria asing yang menyentuh dirinya. "Jaga batasanmu, Jazlyn!" teriakan Aldrich membuat Jazlyn kebingungan. Ia melirik ke tangan yang sudah bertengger manis di pergelangan tangan pria tersebut. Buru-buru, Jazlyn melepaskan tangannya sambil menunduk. "Maafkan saya, Tuan. Saya tidak sengaja." Ia menutup matanya berharap kepada Tuhan agar tidak di pecat. "Keluar! Urusi rapat dengan Daren." Jazlyn langsung keluar meninggalkan ruangan itu secepat kilat. Ia mengutuk dirinya sendiri karena bertindak tanpa pikir panjang. 'Sial, gerakkan reflek itu membuatku dalam masalah' BERSAMBUNG
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD