Chapter 2: Rasa Terima Kasihku untuk Bapak

1421 Words
Flash back on  Gianyar, Bali, 2013. Ibuku selalu bilang, di balik laki-laki ketus dan dingin itu, ada sosok lembut yang kesepian. Sosok yang merindukan kasih sayang dan kehangatan. Aku rasa ibuku terlalu banyak menonton drama korea dan terlalu sering berkhayal. Karena seingat ku, bapak bukanlah seorang laki-laki yang lembut dan hangat. Sejujurnya, aku tidak begitu mengenal bapak. Bapak adalah sosok yang hampir tidak pernah ada untuk kami, keluarga kecilnya. Aku juga tidak yakin seperti apa hubungan kami sebenarnya, ibuku bilang bapak sangat menyayangi kami. Meski aku sangat meragukan hal itu. Tapi ada satu hal yang aku tahu pasti: Aku berutang seluruh hidupku terhadap laki-laki dingin itu. Aku sangat berterimakasih padanya terlepas dari luka-luka lebam yang pernah dilukiskan nya di atas tubuh kecil ku. Terlepas dari goresan-goresan permanen yang diukirnya dalam-dalam di dalam jiwaku. Karena bapak adalah orang yang telah membuatku aku yang sekarang ini. Semua berawal 4 tahun lalu, ketika aku menatap tubuh kakunya habis terbakar. Hati itu merupakan hari yang paling menyedihkan bagi ibuku di rumah kami. Semua keluarga dan kerabat-kerabat kamu berkumpul untuk berduka atas kematian bapak dan mengenang nya dalam ingatan penuh cinta kasih. Untuk banyak orang, bapak adalah seorang laki-laki baik. Terhormat dan bermartabat tinggi. Bapak adalah sosok pemimpin yang dikagumi di banjar[1] kami. Untukku dan saudari-saudariku, bapak adalah teror dan rasa sakit yang konstan. Sedikit yang orang tahu tentang sosok lain dari bapak. Tapi aku rasa, lebih baik jika tidak ada yang tahu tentang sisi gelapnya, terlebih di hari kematiannya. Ada sebuah tradisi untuk tidak menangis di pemakaman adat Bali. Air mata hanya akan menyusahkan arwah orang yang sudah mati dalam perjalanannya ke alam baka. Tidak seorangpun dengan hati nurani dan pikiran yang lurus mau menyusahkan arwah orang mati. Jadi ketika orang ramai berusaha menahan air mata dan duka mereka. Aku dan kakak-kakak perempuanku berdiri di sana dengan kokoh dan tegar. Mengucapkan terimakasih pada setiap orang yang datang. Dari jauh, aku mendengar orang berbisik-bisik tentang kami. Betapa bangganya bapak jika ia tahu betapa dewasa dan kuat putri-putrinya ini. Memang seperti yang diharapkan dari putri Ida Bagus[2]. Tenang dan tegar bahkan di dalam situasi memprihatinkan seperti ini. Perkataan mereka hampir semuanya benar, kecuali tidak seorangpun dari kami dalam situasi yang memprihatinkan. “Kasihan kamu dayu[3].... Kamu masih kecil, sudah harus seperti ini. Kasihan kamu yu…”  Tangis wanita paruh baya yang datang padaku dengan tangan terbuka lebar. Wanita paruh baya itu berusaha menenangkan ku dengan pelukan nya yang hangat. “Makasih Wak[4].” Kataku sambil memeluk wanita malang yang sedang berduka ini. Ni Made, adik perempuan dari bapak, terlihat lebih membutuhkan pelukan itu daripada aku, anaknya. Pasti sangat berat untuk Ni Made menerima kepergian bapak. Meski bapak ketus dan dingin, untuk adik perempuannya, bapak banyak membantunya mewujudkan mimpinya. Mimpi yang ditentang ibu mereka. “Gus… bagaimana bisa Bli[5] pergi begitu cepat? Bagaimana bisa Bli meninggalkan anak-anak yang masih kecil-kecil ini? Bagaimana nasib Mbok nanti Bli….” Aku sendiri tidak yakin bagaimana caranya bapak melakukan semua ini. Tapi sejujurnya, aku tidak keberatan. Terserah jika mau disebut anak durhaka. Meskipun terdengar kurang ajar. Aku tidak bisa merasakan kesedihan setetes pun atas kematian bapak. Sebaliknya, aku justru merasa lega. Aku ingin sekali menegur Ni Made yang sedang menangis tersedu-sedu. Tapi melihat pundaknya yang bergetar di dalam pelukan ku, aku mengurungkan niatku. Biar saja mau bapak susah di perjalanannya ke alam baka nanti, aku lebih peduli pada Ni Made yang sedang terluka hatinya. “Nggak apa-apa Wak… bapak pergi ke tempat yang lebih baik, bapak sudah enak di sana Wak.” Aku berusaha menenangkan Ni Made dengan kebohongan-kebohongan yang sering dikatakan orang. Tapi entah mengapa, tangisnya justru pecah. Orang-orang mulai berbisik-bisik mencela Ni Made yang menangis di pemakaman kakaknya sendiri. Tapi apakah salah jika seorang manusia merasa sedih? Ni Made memang berbeda dengan orang-orang di banjar kami yang taat pada adat. Ketika masih hidup dulu, nenekku sering bilang kalau Ni Made anak yang bandel. Susah sekali mendidik nya menjadi wanita yang terhormat selayaknya wanita dari keluarga terpandang. Ni Made adalah seorang perempuan pemberani dan selalu berdiri untuk dirinya sendiri. Tidak ada yang salah dengan semua itu jika Ni Made tidak terlahir di sini. “Di mana ibumu yu…?” “Ibu di kamarnya. Ibu masih butuh waktu untuk menerima semuanya.” “Gus…. gimana  bisa kamu begini sama Mbok ku Gus….” Tangisnya lagi, ada kemarahan dan rasa putus asa yang nyata di suara Ni Made yang bergetar menahan tangis. Aku juga bertanya-tanya tentang hal yang sama untuk bertahun-tahun. Untuk alasan yang berbeda. Tapi selama bertahun-tahun aku bertanya-tanya bagaimana bisa bapak seperti ini pada ibuku? Aku tidak bisa mengerti bapak. Tapi yang lebih aku tidak bisa mengerti adalah ibu. Kadang aku bertanya pada diriku sendiri, apa yang membuat ibu begitu setia pada bapak seumur hidupnya. Apa yang sudah dilakukan laki-laki itu pada ibuku? Bagaimana bisa ibu mampu menanggung semua penderitaan dan pengabaian dari bapak? Bagaimana bisa bapak, bahkan dalam kematiannya masih membuat ibu menderita? Ni Made berlari menuju kamar ibu. Aku bersyukur karena Ni Made ada di sini untuk menghibur seorang janda yang sedang berduka atas kepergian suaminya. Hal yang tidak bisa putri-putrinya lakukan untuknya. Kami bahkan tidak dapat mengerti rasa sakitnya. Tidak seharusnya ibu menangisi kepergian orang yang selalu membuatnya menangis. Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan kesibukan persiapan Ngaben[6]; upacara pembakaran mayat di Bali. Ni Made dan suaminya, Robert juga beberapa tetangga kami membantu menyiapkan sesajen[7]dan bade[8] untuk bapak. Kami menghiasi bade dengan kertas warna-warni dan ornamen-ornamen yang indah. Maklum, bapak adalah orang terpandang, sudah sepantasnya kepergian nya disertai dengan sorak-sorai yang meriah agar perjalanannya baik-baik saja. Mungkin sulit untuk dipercaya, tapi kami menggiring tubuh bapak ke seluruh desa sebanyak tiga kali dengan iringan musik. Sebenarnya, aku tidak mengerti kenapa keluarga yang sedang berduka harus melaksanakan pesta semeriah ini yang juga memakan dana yang tidak sedikit. Menyusahkan saja, batinku. Tapi, aku bukan di posisi yang bisa mempertanyakan hal itu. Setelah semuanya usai. Aku berdiri terpaku menatap tubuh bapak yang dimakan habis oleh jilatan api. Berharap jiwa bapak dapat beristirahat dengan tenang dan berhenti menyiksa kami. Tapi sepertinya Tuhan punya selera humor yang lucu dan sedang ingin mengerjai kami. Setelah semua upacara selesai dan orang-orang berhenti berdatangan ke rumah kami. Masalah yang sebenarnya baru dimulai. Bapak adalah seorang Brahmana[9], kasta tertinggi di Bali. Ia meninggalkan Ibu dengan 3 anak perempuan yang harus diberi makan, upacara adat yang harus diikuti, dan setumpuk kewajiban pada banjar yang harus dilaksanakan ibuku. Seperti sebuah lelucon yang tidak ada habisnya. Bapak, bahkan setelah tubuhnya habis makan api, masih saja menemukan cara untuk menyusahkan kami. Ingin membantu keluarga kami, tidak lama setelah kepergian bapak, Ni Made memanggilku ke ruang tamu. Di sana sudah ada ibu dan Robert, suaminya, bule[10] Amerika. Ibu memberitahuku bahwa Ni Made akan mengangkatku sebagai anak dan membawaku untuk tinggal Bersama mereka di Long Island. Mereka akan membiayai sekolahku dan merawatku supaya aku bisa memiliki hidup yang lebih baik. “Kamu sangat beruntung Dayu….” Kata ibu saat meyakinkan aku untuk menerima tawaran dari pasangan suami-istri itu. “Ini adalah kesempatan baik yang tidak boleh dilewatkan yu….” Hatiku hancur karena harus berpisah dari ibu dan kakak-kakak perempuanku di usia semuda ini dan pergi ke tempat yang bahkan tidak pernah kudengar. Tapi ini yang terbaik yang bisa aku lakukan untuk ibu. Satu mulut lagi yang tidak perlu diberi makan. Semua terjadi begitu cepat. Ni Made telah memudahkan banyak hal bagiku. Mulai dari mengurus visa tinggal, membeli tiket dan menyiapkan barang-barang yang akan dibawa nanti. Aku hanya tinggal duduk dalam penerbangan dari Denpasar ke Soekarno-Hatta lalu ke John F. Kennedy. Seperti yang aku sudah ku bilang. Aku berutang budi pada bapak. Tanpa kematian bapak, aku tidak akan pernah mendapat kesempatan untuk mengubah hidupku selamanya. Dan dari sinilah neraka yang aku sebut cinta itu dimulai. *** Question: Kenapa kok dialognya di sini tidak baku  Answer: Kalau dialog tidak baku, berarti dilafalkan dalam bahasa indonesia. Kalau penulisan dialognya baku, berarti dilafalkan di dalam bahasa inggris. kalau penulisannya baku, tapi tidak kurang jelas susunannyya, yang ngomong nggak jago bahasa inggris, kayak kita. berantakan [1] Desa dalam adat Bali. [2] Nama untuk laki-laki dari kasta tertinggi di Bali. [3] Panggilan untuk anak perempuan berkasta tinggi, singkatan dari Ida ayu. [4] Panggilan untuk bibi, maman untuk paman. [5] Panggilan sopan untuk kakak laki-laki di Bali. [6] Upacara pembakaran mayat. [7] Persembahan kepada para dewa. Biasanya berupa bunga, daun panda, nasi, dan lain-lain. [8] Seperti peti mati, namun berbentuk lembu. [9] Kasta tertinggi. [10] Panggilan untuk orang asing.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD