Chapter 3: Awal yang Baru

2323 Words
Long Island, New York, 2013 Orang terlihat berbeda disini. Berbeda dari orang-orang di Bali, tapi mereka semua terlihat sama. Aku sangat kesusahan untuk membedakan mereka. Dulu aku sering berpikir kalau orang asing, seperti Robert, memiliki penampilan yang sangat mencolok. Robert memiliki fitur-fitur tajam yang sangat menarik perhatian sehingga mudah dikenali bahkan di tengah keramaian. Bagaimana tidak? Robert memiliki tubuh yang tinggi besar seperti raksasa. Ditambah lagi ia memiliki rambut pirang yang mencolok dan kulit kemerah-merahan ketika terkena matahari. Tapi di sini, aku sudah beberapa kali salah mengenali laki-laki berambut pirang sebagai Robert. Mereka terlihat benar-benar sama. Dan entah kenapa Robert terlihat terhibur. “Kok bisa keliru? Bukannya sama sekali nggak mirip ya? nggak semua orang Asia itu terlihat sama, kan?” Katanya sarkas sambil tertawa geli. Dulu aku kerap mengejeknya karena Robert selalu aja kesulitan mengenali wajah orang di Indonesia. Sekarang dia mengulang kata-kataku sendiri. 'Sialan, benar-benar senjata makan tuan'. “ha. ha. ha. Iya… terserah….” “Hahaha… tenang saja Kinan. Jangan terlalu khawatir. Kamu pasti akan terbiasa di sini dengan cepat.” Robert menuturkan setiap kata dengan keras dan jelas. Sepertinya dia mau memastikan kalau aku mengerti setiap kata yang ia ucapkan. Bukannya aku nggak mengerti Bahasa Inggris. Aku mengerti Bahasa Inggris, Aku bisa membaca teks dalam Bahasa Inggris tanpa masalah. Grammar-ku juga tergolong bagus. Biar terlihat bodoh begini, nilai-nilai Bahasa Inggris ku di sekolahku yang dulu, di Bali cukup baik. Hanya saja tidak mudah untuk mengenali kata-kata yang diucapkan orang-orang di sini. Orang-orang di sini tidak hanya terlihat seperti raksasa. Mereka juga berbicara dengan cara yang lucu. Mereka seperti menggabungkan semua kata menjadi satu,  dan berbicara seperti lupa caranya bernafas, seperti kereta. Sangat mirip dengan lagu Rap yang sering aku dengar. Aku benci setiap kali aku harus bilang “Maaf, aku tidak mengerti. Bisakah kamu berbicara lebih pelan sedikit?” Setiap kali aku berbicara dengan seseorang selain Robert. Dan itu bukan bagian terburuknya. Hal yang lebih kubenci adalah ketika orang melihatku dengan tatapan kasihan, kemudian mereka membungkuk dan mulai berbicara sangat pelan dan keras. Seperti “OH. MAAF. AKU.  PIKIR.  KAMU. BISA. BERBAHASA. INGGRIS. JADI. APA. YANG. KAMU. BUTUHKAN?” Seolah-olah aku tuli atau memiliki keterbelakangan mental. Lucu bagaimana orang Amerika berasumsi kalau orang yang tidak mengerti American English juga tuli, atau bodoh. Sebenarnya, mungkin mereka hanya mencoba membantu. Mungkin hanya akunya saja yang terlalu mudah tersinggung. Karena itu, Ni Made memutuskan untuk membuatku mengambil cuti di tahun ajaranku. Ni Made mendaftarkan ku ke Amlotus ESL Academy, sebuah institusi Bahasa Inggris bagi penutur asing. Ia nggak mau aku kesusahan di sekolah atau mungkin di bully ketika masuk sekolah nanti. Aku tidak akan pernah bisa membalas kebaikan Ni Made. Karena Di Amlotus ESL Academy, aku tidak hanya belajar berbahasa Inggris, tapi juga belajar tentang hidup. Di sana juga bertemu dengan teman-temanku yang baru. Orang-orang asing yang membuat hari-hari ku lebih berwarna di negeri yang asing ini. *** Ini adalah hari pertamaku di Amlotus ESL Academy. Ni Made mengantarkan ku ke pintu gerbang akademi bersama dengan Robert. Mereka terlihat senang dan gugup pada saat yang bersamaan. Aku tidak tahu kenapa. Maksudku, ini adalah hari pertama-KU kalau ada orang yang perlu merasa gugup, akulah orangnya. “Dayu… lihat, Rasanya baru kemarin kamu datang sekarang kamu sudah masuk sekolah.  Kamu tumbuh dengan sangat cepat.” Ni Made hampir saja menangis karena bahagia. Ni Made selalu berusaha berbicara dalam Bahasa Inggris denganku jika ada Robert. Ni Made bilang, tidak baik berbicara dalam Bahasa yang orang lain tidak mengerti. Karena, sama saja dengan mengucilkan orang itu.  "Aku selalu bermimpi untuk melakukan ini. Mengantarkan anakku ke hari sekolah pertamanya!" 'Ah, ternyata itu alasannya' Ni Made terlihat gugup. “Bagaimana perasaanmu, Dayu?” Ni Made terdengar seperti seorang ibu yang khawatir pada anaknya. “Aku baik-baik saja.” “Kalau ada yang mengganggumu, kamu harus melewatinya, mengerti? jangan diam saja, okay?” Kata Robert bersemangat. Aku hampir bisa melihat kilatan api di matanya. Ni Made dengan cepat menyikut Robert tepat di perutnya. Robert mengaduh kesakitan sambal tertawa puas. “Okay.” “Tapi jangan berlebihan. Kalau nggak, nanti kamu nggak punya teman.” Ni Made mengingatkan. "Okay.” “Jangan lupa untuk berteman, kamu harus mencari teman, baby.” “Okay, Wak. Jangan terlalu khawatir.” “Wawak nggak khawatir…” Sangkal nya dengan kekhawatiran yang jelas tersirat di wajahnya. “Okay, Okay. Aku harus pergi sekarang. Aku nggak mau telat di hari pertamaku.” “Okay sayang. Hati-hati. Jangan lupa bersenang-senang. Kalau terjadi sesuatu, kamu harus bilang sama kami. Okay?” “Okay, Wak, uncle.” Aku mengucapkan terimakasih pada Robert dan Ni Made karena sudah mengantarkanku ke akademi. Setelah kurang lebih lima langkah dari mobil, aku mendengar Ni Made meneriakkan sesuatu padaku. Aku tidak mendengar dengan jelas apa yang ia katakan. Jadi aku membalikkan badanku dan mengangkat kedua telapak tanganku menghadap ke atas segaris dengan bahuku. Ni Made berteriak lebih keras melalui jendela pintu mobil yang terbuka. “Kinan! Dayu! Aku mencintaimu. Hati-hati.” “Aku tahu. Terima kasih, wak.” Ada sebuah senyuman seperti matahari di wajahnya sebelum mobil yang di kendarai nya melaju dan menghilang di ujung jalan. Wanita yang malang. Ni made menikah dengan suaminya pada usia tiga-puluh-dua tahun. Tergolong sangat terlambat di desa kami. Perempuan-perempuan di desa kami biasanya menikah setelah mereka lulus sekolah. Kadang-kadang semuda enam-belas atau tujuh-belas tahun. Nenekku, ibu Ni Made, menolaknya karena dianggap membangkang. Bahkan sampai hari kematiannya pun, nenek masih belum memaafkan Ni Made. Hal yang sangat disesali Ni Made hingga saat ini. Sebenarnya, aku tidak mengerti kenapa nenek sangat membenci Ni Made, Putrinya sendiri. Dari semua kerabatku, aku paling menyukai Ni Made. Dia memiliki jiwa petualang yang indah. ia menikmati masa mudanya di Jakarta setelah kabur dari pernikahan yang telah diatur oleh nenek. Nenek marah besar dan melarang keluarganya untuk berhubungan dengan Ni Made. Tapi diam-diam ayahku mengirimkan uang untuk Ni Made agar dia bisa bertahan di Jakarta. Pada usia dua-puluh-tujuh tahun, ia bertemu Robert di Jakarta. Dalam waktu kurang dari setahun, mereka tinggal bersama meski ditentang oleh nenek. Nenek memutuskan segala bentuk komunikasi dengan Ni Made setelah ia memutuskan untuk pindah ke Amerika, bersama Robert. Saat Ni Made memutuskan untuk menikah, tidak ada satupun dari keluarga kami yang hadir di pernikahannya. Nenek bersumpah kalau kandungan Ni Made akan kering. Ia tidak sudi memiliki cucu dari perempuan yang sudah mencoreng nama baik keluarga. Aku tidak percaya pada kekuatan super-natural. Tapi delapan tahun setelah pernikahannya, ia masih belum dikaruniai anak. Karena itu, aku tidak pernah protes ketika Ni Made bersikap seperti ibuku sendiri. Amlotus ESL academy tidak jauh berbeda dari sekolah pada umumnya. Hanya saja, orang-orang yang ada disini lebih bervariasi. Di sini ada orang-orang dari seluruh dunia, kecuali orang Amerika itu sendiri. Kebanyakan murid di kelasku terlihat seperti orang India, tapi nggak bisa Bahasa India. Ada beberapa orang Asia dan ada juga orang-orang kaukasia yang anehnya tidak bahasa Inggris. Satu hal yang aku pelajari dari film-film remaja barat yang sering aku lihat di televisi: Di mana kamu duduk di hari sekolah pertama itu sangatlah penting. Ini akan menentukan dengan siapa kamu menghabiskan waktu dan berteman sepanjang semester. Aku nggak mau duduk dengan anak yang terlalu pendiam karena nanti akan jadi pecundang dan dikucilkan. Aku juga nggak  mau duduk dengan anak yang terlalu mencolok, orang-orang seperti itu biasanya akan membuat banyak drama. Jadi ketika aku sampai, dengan cepat aku mengamati seisi kelas ku dan teman-teman baru ku. Di tengah ruangan kelas, ada seorang gadis asia yang manis. Gadis itu duduk sendirian sambil berbicara dengan seorang laki-laki berkulit putih. Saat itu juga, aku sudah memutuskannya. 'Aku harus berteman dengan gadis ini'. “Hai!” Aku memotong pembicaraan gadis korea berambut sedagu dengan seorang laki-laki berkulit putih itu. Mereka menatapku tanpa kata. Seolah-olah mereka mengatakan ‘Ya? Ada yang bisa kami bantu?’ dengan tatapan mereka. Telapak tanganku mulai terasa lembab. Tanpa sadar aku meremas ujung kaosku. “Namaku Kinan. Apa boleh aku duduk di sini?” Aku mengembangkan bibirku sedikit. Berusaha memberikan senyuman terbaikku. Aku mau gadis ini menyukaiku. “Ya, kenapa nggak? Duduklah.” Gadis itu membalas senyuman ku. Iya mengambil tas punggung yang ada di atas kursi di sampingnya dan meletakkannya di lantai supaya aku bisa duduk. Mataku dengan cepat melihat secarik kertas putih lengket yang menempel di d**a bagian kanan Gadis itu. Sebelum masuk ke dalam kelas, ada seorang wanita muda sekitar 25 tahunan yang memberikan kami secarik kertas dan meminta kami untuk menuliskan nama kami. Sepertinya, tujuannya adalah untuk memudahkan perkenalan sebelum kelas dimulai. Meski begitu aku tetap kesulitan mencoba membaca nama gadis itu. “Namaku Seol Hwa. Park Seol Hwa. Tapi Jose bilang, lebih baik kalau aku punya nama ala Amerika juga. Jadi panggil saja aku Sunny." Ehm… Siapapun itu ‘Hose’, dia seratus persen benar. 'Park Seol Hwa' yang dibaca ‘Pak Sol Wa’ bukan nama yang mudah untuk diingat. Sunny jauh lebih baik. Sesuai dengan wajahnya yang bersinar seperti matahari. Seol Hwa, atau gadis yang menamai dirinya Sunny ini mengulurkan tangannya padaku. Aku menyambut tangannya dan memberikannya sebuah genggaman hangat, awal dari hubungan kami. “Hai Sunny, senang bertemu denganmu. Aku harap kita bisa menjadi teman.” “Tentu saja. Mari berteman!” Setelah kalimat penuh semangat itu, kami bertiga hanya duduk bertatap-tatapan tanpa kata. Tersenyum canggung pada satu sama lain. Tidak ada yang tahu harus bilang apa. “Jadi…,” kataku untuk memecah kesunyian yang canggung di antara kami. “Siapa itu Hose?” “Ah, itu saya!” Jawab anak laki-laki di hadapanku. Aku membaca papan namanya: Jose Manuel. Ah, iya. Dia kan anak laki-laki yang tadi sedang berbicara dengan Sunny. Aku hampir saja lupa. “Jo… Se… Ma… Nu… El….” Tanpa sadar aku mengeja nama anak itu keras-keras. Ia tertawa. “Perkenalkan, Namaku Hose Manuel. ‘J’-nya dibaca ‘H’. Jadi bukan Jo-se. Tapi Ho-Se.” Jelasnya sambil terkekeh kecil. Pipiku terasa panas, malu. 'Kenapa nama orang di sini bunyi dan tulisannya semua berbeda?' "Hai Jose, aku Kinan." "Senang bertemu dengan kamu Kinan. Kamu dari mana?" "Ah, aku dari Indonesia." "Indonesia? Apa itu Indonesia? Aku nggak pernah dengar negara itu." "Itu  sebuah negara di Asia." "Kamu dari Asia?" Untuk suatu alasan, Jose tampak terkejut. Memangnya kenapa kalau aku dari Asia ? “--kamu nggak kelihatan seperti orang Asia…,” lanjutnya seperti bisa membaca pikiran ku. Oh, karena itu…. “Hahaha, Memangnya orang Asia terlihat seperti apa?” “Seperti Sunny.” 'Oh, tentu saja… Sunny…' gadis dengan fitur khas Asia tenggara yang sudah menjadi stereotip orang Asia di kalangan orang kulit putih. Kulit putih langsat, dengan perawakan mungil. Sepadan dengan struktur wajah mungil yang seperti boneka keramik cina. Lengkap dengan fitur wajah yang serba mungil. Aku yang berkulit cokelat terang dan bermata bulat tentu saja berbeda dengan Sunny. “Yah, beberapa orang Asia memang terlihat seperti Sunny. Tapi ada juga yang berkulit cokelat, orang India, seperti mereka.” Kataku sambil menunjuk segerombolan orang India yang terdengar lucu itu. Entah kenapa, mereka tidak terdengar seperti sedang berbicara dalam Bahasa Hindi yang sering kudengar di TV. Dengan spontan Sunny dan Jose menoleh kan kepala mereka untuk melihat anak-anak India itu. Mereka terdiam sesaat, kemudian bahu mereka bergetar sebelum tawa mereka pecah. Mengundang perhatian seisi kelas. 'Apa sih yang lucu?' “Kinan…” Sunny memanggil namaku dengan suara yang bergetar karena tawa. “Mereka bukan orang India.” 'Hah? Mereka bukan orang India?' “Yang benar?” “Iya benar. Mereka bukan orang India.” Jose membenarkan perkataan Sunny. “Lalu kalau bukan dari India, mereka dari mana?” “Mereka itu dari Amerika selatan.” Aku baru menyadari, Jose terlihat sangat menarik ketika sedang tertawa. Dia terlihat begitu bercahaya dengan mata hijau tua yang begitu hidup, didukung dengan struktur rahang yang kuat. Tapi entah kenapa, aku benar-benar merasa bodoh. Sesuatu mengganjal di tenggorokan ku. 'Jangan bilang! Tolong jangan bilang!' Aku memohon pada diriku sendiri. Tapi tanpa sadar, bibir dan lidah ku sudah bergerak meluncurkan kata-kata yang aku tahu terdengar sangat bodoh. “Kenapa mereka belajar Bahasa Inggris kalau mereka dari Amerika?” 'Sial! Selamat Kinan! Kamu lulus menjadi orang bodoh sekarang.' “Karena mereka nggak bisa bahasa Inggris?” Kata Jose sarkas. Tentu saja mereka disini untuk belajar Bahasa Inggris. Memang nya apa lagi? Ini kan Akademi Bahasa inggris untuk penutur asing. Dasar bodoh! Tapi, kenapa orang Amerika tidak bisa bahasa Inggris. Aku tidak yakin kalau aku harus menanyakannya atau tidak. Aku tidak mau terlihat lebih bodoh dari sekarang ini. Tapi seperti bisa membaca pikiranku. Sunny membuka mulutnya dan berusaha untuk menjelaskan dengan sebaik mungkin dengan Bahasa Inggris-nya yang sangat berantakan. “Itu sama saja seperti kita. Kita lahir di asia. Tapi Asian memiliki banyak negara. Tidak semua asia itu Cina." (It's like you and me. We born in Asia. But Asia is a lot of country. Not All Asia is China.) Aku membeku. Mencoba sebisa mungkin untuk mengerti apa yang Sunny maksud. Tapi gagal. Sunny membaca kebingungan di wajahku. Pipinya memerah, Matanya menatap lantai. “Maaf, Bahasa Inggris ku jelek.” “Nggak kok. Jangan minta maaf. Tolong lanjutkan.” Aku memohon. Sial! Aku benci diriku sendiri yang tidak bisa mengendalikan raut wajahku. Kakak perempuanku selalu bilang, aku tidak pernah kesusahan menjaga lidahku. Wajahku yang adalah masalahnya. Wajahku mencerminkan apa yang aku pikirkan. Seperti gelas kaca yang menunjukan seluruh isinya. “Aku cuma mau bilang, tidak semua Amerika itu Amerika.” (I want to say. Not all America is America.) Lanjut Sunny. Okay… Aku sudah mencoba sebisa ku… dan gagal. Aku memalingkan wajahku pada Jose. Ada simpul tipis di wajahnya. "Yang ingin Sunny katakan adalah…” 'Apakah semua orang di sini bisa membaca pikiran?' “Amerika adalah sebuah benua. Ada banyak negara di Amerika. Bukan hanya Amerika Serikat. Dan tidak semuanya berbahasa Inggris. Di negara bagian Amerika Selatan, seperti Colombia, Brasil, Mexico, kebanyakan orang berbicara Bahasa Spanyol. ” “Ah… bagaimana kamu tahu?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD