Kabur dari Rumah

1672 Words
Alex Vergel, pria keturunan Filipina. Ibunya asli Indonesia lebih tepatnya dari Jakarta. Sejak berumur 6 tahun ia tinggal di Indonesia bersama keluarganya. Masa kecil Alex dihabiskan di Jakarta, setelah lulus SMA ia melanjutkan kuliahnya di Australia. Alex pria yang tampan, ia pernah menjadi model salah satu majalah terkenal di Australia. Salah satu mahasiswa berprestasi di kampusnya. Melbourne Business School. Alex dikenal sangat ramah, baik namun jarang bicara atau sekadar basa basi. Banyak wanita yang tergila-gila padanya dan tidak jarang yang menyatakan perasaannya tapi Alex selalu menolak. Bip… Kumatikan ponsel pintar itu setelah membaca beberapa hal tentang Alex yang dikirim oleh Aline. Tidak ada satu pun catatan buruk pria itu yang membuat aku muak. Hanya satu paragraf awal yang menceritakan hal penting tentang bos dingin itu dan sisanya adalah pujian dan sanjungan setinggi langit. “Mereka tidak tahu betapa mengerikannya pria itu.” Aku kembali fokus pada kertas dan pensil yang sejak tadi terabaikan. Menulis surat cinta untuk pria yang dibenci tidak semudah yang dipikirkan. Semua hal buruk tentang Alex berkumpul di kepala yang membuatku sulit untuk menuliskan kata romantis. “Apa kutulis saja apa yang aku rasakan?” Aku berpikir sejenak. Ini lebih sulit dari negosiasi dengan partner kerja. Aku mencoba menulis apa yang ada di benakku tentang Alex, setidaknya nanti bisa diperbaiki. Sejak awal aku melihatmu kau seperti bunga mawar berduri Terlihat menawan tapi menyakitkan Sikap baikmu pada semua orang hanya sebuah kepalsuan belaka Kau memang pintar mengelabui para wanita dengan parasmu yang tampan Tapi aku tidak akan terpancing hanya karena dirimu terkenal, tampan dan kaya Setiap kali dekat denganmu aku merasa tertekan Aku ingin pergi jauh dari orang sepertimu Hei… buka saja topeng palsumu itu! Kubaca ulang kalimat pendek yang menjadi bagian pembuka surat. Jika aku yang memberikannya pada Alex aku rasa ini adalah kalimat terhalus yang bisa kuberikan untuknya, tapi sayang surat ini kubuat untuk Aline yang akan diberiakan pada Alex. “Surat ini lebih mirip surat kebencian dari pada love letter.” Aku lelah memikirkannya, apa yang harus aku lakukan? Kenapa bukan Aline yang membuatnya dan kenapa aku mau menuruti perintah Aline yang tidak masuk akal. Rasanya aku akan gila jika seperti ini terus. Aku akan sangat bersyukur jika ada orang yang mau membantuku menulis surat cinta untuk Alex. Ponselku berdering, sebuah nomor muncul di layar ponsel. Siapa yang menelepon malam-malam seperti ini? Apa mungkin Aline menggunakan nomor baru lagi? Gadis itu suka sekali mengganti nomor ponselnya. “Halo.” “Halo, bisa kita bertemu sebentar?” “Siapa?” “Alex.” Kujauhkan telepon beberapa saat. Apa aku salah dengar, pria di seberang sana mengatakan namanya adalah Alex? Sungguh keajaiban. Pria itu selalu membuat kepalaku pusing dan spot jantung. “Maaf saya sibuk. Besok saja.” “Tapi saya ingin bertemu sekarang.” “ Saya tidak bisa keluar malam-malam, Pak Alex,” ujarku mencoba menolak sehalus mungkin. “Saya akan menjemputmu kalau perlu,” bujuknya. “Tidak perlu karena saya tidak akan pergi.” Tidak ada jawaban di seberang sana. Aku pikir Alex sedang mencari cara agar bisa memaksaku keluar. Tidak. Aku tidak akan keluar hanya untuk menemuinya. Apa lagi malam-malam seperti ini. “Jika tidak ada hal penting lagi saya tutup teleponnya.” Aku benar-benar akan menutup teleponnya namun suara Alex kembali terdengar membuatku urung memutus sambungannya. “Temui saya di café dekat kantor. Sekarang.” “Saya tidak mau.” “Saya akan menunggu sampai kamu datang.” Aku benar-benar memutuskan panggilannya. Kuremas pelan rambut kepalaku. Pusing, benar-benar pusing. Pria itu membuat emosiku cepat naik. Kami sudah sepakat untuk bersikap biasa dan melupakan kejadian di hotel, tapi Alex punya cara untuk mengingatkan aku akan peristiwa itu. Dia memang penghancur perasaan wanita.  Aku terdiam, menatap jarum jam yang terus berputar. Aku belum tahu bagaimana  sifat Alex sebenarnya. Pria itu terlalu cepat masuk ke dalam hidupku. Tiga puluh menit berlalu, jarum jam panjang menunjuk angka sembilan. Orang sibuk seperti Alex tidak akan menyianyiakan waktunya hanya untuk menunggu diriku. Ya, siapa aku yang harus ia tunggu, tapi kenapa perasaanku menjadi gelisah. Ada rasa yang mendorong kuat agar aku datang ke sana. Hanya sekadar memastikan bahwa Alex tidak sungguh-sungguh dengan ucapannya. “Apa pun yang dia lakukan selalu saja menyiksaku.” Aku bergegas mengganti celana pendekku dengan yang lebih panjang. Jaket berhoodie warna pink membalut tubuhku yang hanya mengenakan tank top. Ini adalah penampilan terburuk sepanjang masa. Mama menegur saat aku turun dari tangga karena tergesa-gesa. Namun aku abaikan, bagaimana pun juga pikiranku hanya tertuju pada satu orang. Alex. Mobil merahku terparkir di sebuah café yang tidak jauh dari kantor. Di tempat inilah para karyawan sering makan siang. Keadaan café yang nyaman membuat kami betah menghabiskan waktu istirahat di café. Malam ini pengunjung sedikit lebih ramai. Aku berdiri di pintu masuk untuk mencari sosok pria menyebalkan yang mengganggu malamku. “Kamu terlambat 65 menit.” Suara itu membuatku menoleh. Alex berdiri beberapa langkah di sampingku. Ia terlihat berbeda dari biasanya. Tidak ada jas yang melekat di tubuhnya, hanya baju kaos lengan panjang dan celana pendek membuatnya sangat berbeda. Dia bukan Alex yang kukenal, tapi dia cukup tampan walau hanya memakai kaos saja. “Jangan terpesona seperti itu. Kamu terlihat menakutkan,” ujarnya lagi. Aku tersenyum tipis, berjalan menuju tempat di mana orang mengantri untuk memesan makanan. Alex diam-diam mengikutiku. Milkshake vanilla menjadi minuman pilihanku dan seporsi club sandwich sangat cocok sebagai cemilan. Alex masih setia mengekoriku ke mana pun aku pergi. Ia tidak bicara sedikit pun. Namun juga tidak pergi dari sisiku. Pria aneh. Aku duduk di  kursi yang sedikit jauh dari keramaian. Alex ikut duduk di depanku tanpa bicara. Wajah datar itu membuatku ingin mencekiknya. “Kenapa bapak ingin menemui saya?” “Saya hanya ingin bertemu.” “Apa? Maksudnya, Pak Alex tidak ingin mengatakan sesuatu?” Alex mengangguk membuat aku benar-benar marah. Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran pria itu. Alex melipat tangannya di depan d**a, beberapa saat kemudian seorang pelayan menghampiri meja kami dan menyajikan pesananku. “Kamu tidak mau membaginya?” “Tidak. Kalau mau pesan saja sendiri.” Aku melahap roti isiku dengan nikmat. Alex hanya diam menatapku datar. Sedikit  risih ketika makan ditatap orang. Aku merasa seperti orang jahat yang membiarkan orang kelaparan menontonku makan. “Harga sandwich  Rp55.200, milkshake Rp35.250, total semuanya Rp90.450 belum termasuk tax and service 10% . Aku rasa bapak tidak keberatan jika memesan makanan yang harganya 100 ribu dari pada menonton orang lain makan.” “Saya tidak membawa uang,” ujarnya dengan ekspresi datar. “Apa? Jangan bercanda.” Alex mengeluarkan dompetnya. Ia membalik dompet kulit itu di hadapanku. Uang koin lima ratus rupiah menggelinding di atas meja. Aku segera menangkapnya dengan sigap. “Bapak habis dirampok?” “Saya dan ayah sedang berselisih jadi saya pergi dari rumah dan meninggalkan semua barang berharga.” “Termasuk kartu kredit dan debit?” Alex mengangguk. Dia terlihat santai pergi dari rumah tanpa uang sepeser pun. Sungguh pria ini sangat menyusahkan lebih tepatnya dia pria bodoh. “Jika belum berpengalaman kabur dari rumah lebih baik jangan coba-coba. Anda bisa jadi gelandangan mendadak.” Aku beranjak memesankan makanan untuk Alex. Beruntung aku membawa uang tunai yang cukup. Aku kembali duduk dan menikmati sandwich-ku. “Apa lagi? Kenapa menatap saya seperti itu?” “Sendal berbulumu bagus,” ujarnya. Aku merasa malu saat Alex mengatakannya. Aku lupa mengganti sandal itu karena buru-buru. Aku mencoba bersikap biasa seolah hal itu disengaja. “Terima kasih,” sahutku.  Aku menatapnya lagi setelah menyelesaikan makan malamku.  “Aku sudah membayar makanan bapak. Totalnya 99.500, Anda baru membayar 500 rupiah kurang 99 ribu, jadi kapan Anda akan membayar sisanya?” Pembicaraan kami tertunda saat seorang pelayan menyajikan makanan untuk Alex. Setelah mengucapkan terima kasih kami kembali bicara. “Boleh saya  mencicilnya?” “Apa?” “Saya akan mencicilnya selama 2 bulan.” Alex mengacungi dua jarinya setelah itu ia mulai melahap makanannya. “Hah? Lupakan saja, anggap ini traktiran.” “Tidak, saya akan membayarnya. Saya tidak suka berhutang.” Cih, dia tidak sadar kalau dirinya sedang berhutang. Anak orang kaya bisa bangkrut dalam satu malam hanya gara-gara minggat dari rumah. Sungguh kejamnya nasib bosku ini. “Terserah Anda jika masih kukuh ingin membayarnya yang jelas saya harus pergi sekarang.” “Tunggu.” Alex menggenggam tanganku membuat dadaku seketika sesak. Aku menepis tangannya membuat Alex menghembuskan napas dalam-dalam. “Boleh saya menginap di rumahmu?” “APA?” kali ini suaraku meninggi. Beberapa orang tengah menatap kami. Alex terlihat santai menyantap makanannya sembari menunggu jawabanku. “Tidak. Cari saja hotel untuk menginap. Kenapa bapak menyusahkan orang lain?” Alex segera meminum jusnya. Ia berdiri menjulang di hadapanku sampai aku harus mendongkak. Mata hitam itu seakan mampu menenggelamkan diriku dalam pesonanya. Meski ia tiba-tiba ‘miskin’ tidak sedikit pun mengurangi karisma dan kesombongannya. “Apa saya perlu mengeluarkan dompet lagi?” “Sangat menyedihkan,”gumamku.  Aku segera pergi, sementara Alex mengikutiku dari belakang. Semenjak kejadian di hotel entah kenapa aku lebih sering bertemu Alex. Pria itu seolah ada di mana-mana. Menghantuiku setiap saat seakan hidupku hanya berpusat pada Alex. “Bapak tidak membawa mobil?” tanyaku saat Alex ikut masuk. Ia duduk santai setelah memasang sabuk pengaman. Bahkan tubuhnya bersandar pada jok. “Saya hanya membawa diri sendiri.” “Bagus. Seharusnya saya tidak datang,” ujarku membuat Alex memiringkan kepalanya. “Tapi kenapa kamu datang?” “Bukan urusan bapak. Sudah bagus saya datang. Harusnya saya naik jabatan,” gurauku. Alex mengangguk lalu menurunkan jok mobil untuk tidur. “Cuma ada satu posisi yang tersisa buat kamu kalau mau naik jabatan,” kata Alex dengan mata tertutup. Salah satu tangannya diletakkan di atas kening. “Jadi apa?” “Istri saya.” Aku menatap Alex yang kini membuka matanya. “Lebih baik saya tidak naik jabatan sama sekali.” Aku segera melajukan mobil, menjadi sopir untuk bos tampanku. Membawa Alex ke hotel bukan pilihan yang baik karena kamera ada di mana-mana terlebih teman-temanku suka bepergian ke tempat seperti itu bersama pasangannya. Rumah adalah salah satu solusi buruk dari yang terburuk. Aku rasa mama dan papa akan memaklumi keadaan Alex.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD