Menikah (?)

1512 Words
 “Duduk,” ucapnya tanpa melihatku. Dua menit yang lalu Alex mengacuhkan diriku dan membiarkan aku berdiri tanpa mengatakan apa pun.“ Ada keperluan apa bapak memanggil saya?” Alex kini menatapku, menyingkirkan buku dan laptopnya sejenak. Untuk kedua kalinya aku berada di ruangan ini. Aku tidak yakin akan keluar dengan cepat. “Saya belum pernah merasa bersalah pada seseorang. Tapi saya menghargai kamu sebagai perempuan. Saya tidak mau dikatakan mengambil keuntungan.” “Jadi bapak ingin bicara apa?” Alex mengambil segelas air dan meminumnya sampai setengah gelas. Ia menatapku dalam-dalam sebelum menghembuskan napas panjang. “Ayo kita menikah.” Bagai dilempar bola, kepalaku terasa pusing. Dia mungkin sedang bercanda. Mana mungkin kami bisa menikah hanya karena insiden itu? Baik, aku sangat berterima kasih karena Alex mau bertanggung jawab tapi kami hanya melakukannya sekali apakah harus menikah? Ini berlebihan. "Kita lupakan saja kejadian itu. Kita sama-sama mabuk jadi impas. Saya idak mau masalah ini semakin rumit.” Alex menyenderkan tubuhnya di kursi. Tatapannya tidak berubah walau kini ia terlihat lebih santai. “Saya berikan kamu kesempatan untuk berpikir. Jika kamu mau menerima pertanggung jawaban saya maka kita akan menikah secara diam-diam, tapi jika tidak maka kita lupakan semuanya.” Aku mengangguk setuju. “Saya idak mau menikah. Sekarang atau besok dan besoknya lagi, lagi dan lagi keputusan saya tetap sama.” “Saya suka dengan pilihanmu. Kalau begitu kita sepakat untuk melupakan semuanya.” Aku menyambut uluran tangan Alex dengan senang hati. Aku rasa ini adalah keputusan terbaik untuk menjaga nama baik masing-masing. “Deal.” *** Semenjak kesepakatan itu hari-hariku kembali normal. Alex kembali sibuk dengan rutinitasnya dan aku kembali bekerja seperti biasa. Aline datang menghampiriku dengan wajah kusut yang tidak biasa. Terlebih yang dia hampiri adalah aku jadi kemungkinan besar akulah sumber masalahnya. “An, bantuin gue dong.” “Ada apa? Idenya ditolak?” Aline menggeleng, ia mendaratkan kepalanya di atas meja. Ia seperti orang yang frustrasi, atau mungkin dia sedang patah hati? Tapi dia tidak memiliki pacar atau pun suami bagaimana ia bisa terlihat sangat sedih seperti ini? “Hati gue sakit.” “Sakit hati? Bawa ke dokter.” “Bukan sakit seperti itu.” Aline mengangkat kepalanya, ia menatapku sendu seolah ia akan meninggalkan dunia ini. Aline tidak pernah seperti ini sebelumnya, jadi ini adalah masalah serius. “Pak Alex ternyata punya pacar.” Aku bernapas lega setelah mendengar ucapan Aline. Ternyata dia kecewa terhadap pria idolanya. “Ya baguslah, siapa tau Pak Alex gak marah-marah lagi. Kita aman.” Aline merajuk, ia menutup wajahnya dengan tangan sambil merengek. Aku rasa pemilihan kataku kurang tepat untuknya sehingga Aline bersikap seperti itu. “Gue suka sama Pak Alex sejak pandangan pertama. Gue berjuang sampai di titik ini agar bisa bersama dia, tapi saat lihat Pak Alex menggandeng seorang wanita pas makan siang buat gue jadi terpukul.Ana, bantuin gue.” “Bantuin apa?” Aline menggenggam tanganku dan meremasnya pelan. “Bantuin gue menyatakan cinta ke Pak Alex.” Aku terdiam sesaat mencerna sebaik mungkin apa yang baru saja Aline katakan. Mungkin gadis itu ingin menggali kuburnya sendiri atau mengakhiri karirnya dengan tragis. Ini konyol. Hanya demi rasa kagum yang berubah menjadi suka membuat Aline nekad untuk mengungkapkan perasaannya. Tidak salah, tetapi sama saja membuat semuanya tidak lagi sama. “Apa kamu yakin? Pikirkan baik-baik.” “Gue harus gimana lagi, An?” “Pikirkan sekali lagi kemungkinan yang terjadi. Kalau kamu yakin, aku akan bantu.” Aline mengangguk dan memelukku erat. Mungkin sulit untuknya menerima kenyataan bahwa Alex sudah memiliki kekasih. *** Makan siang yang suram, bisa dikatakan seperti itu. Bahkan teman-teman lain pun merasa ada yang aneh dengan Aline. Wajahnya tertekuk seperti panekuk berlapis-lapis. Bisanya panekuk dihidangkan dengan saos maple, tapi kali ini seperti disiram bubuk kopi. Pahit. “Kenapa kalian tidak makan?” ujar Aline sukses membuat kami semua tersadar. Mungkin Aline mulai merasakan bahwa dia menjadi pusat perhatian. “Kamu gak makan?” tanyaku. Ini pertama kalinya Aline tidak memesan satu pun hidangan dalam menu. Hanya air putih yang hambar terhidang di atas mejanya. Aku turut prihatin melihat kondisi jiwanya yang terguncang. Aline menggeleng pasrah, gadis itu terlihat semakin menyedihkan. Aku sudah tidak tahan lagi melihatnya seperti ini. Aku meminta Micel bertukar tempat dan gadis itu menyetujuinya. Kubisikkan sesuatu di telinga Aline dan seketika gadis itu menoleh padaku. “Ana, lo gak bohong, 'kan?” “Tidak, aku akan bantu.” Aline memelukku erat. Senyum manisnya seketika membuatku mual. Aku merasa membuat keputusan yang salah, tapi…. baiklah aku akan coba demi Aline. Meski harus bertemu dengan Alex yang mengingatkan aku pada kejadian beberapa hari lalu. Jujur saja sampai saat ini aku belum bisa melupakannya walau aku ingin sekali melupakan hari itu. Seperti janjiku yang akan menjadi MakComblang Aline dengan Alex. Misi pertama adalah memastikan apakah Alex memiliki pacar atau tidak. Ya, aku tidak peduli dengan itu tapi Aline sangat peduli. “Ini berkasnya, semua sudah lengkap. Nanti lo harus cari tahu minimal tanya cewek yang  makan siang sama Pak Alex.” Aku mengangguk mengerti, semua rencana tersusun rapi.Tidak sia-sia Aline menjadi kepala Marketing, semua idenya diluar nalar. Bagaimana aku bisa bertanya hal-hal pribadi dengan pria dingin itu. Dia tidak akan membahas hal konyol seperti pacaran, kecuali tawaran menikahnya beberapa waktu lalu.             Pintu kayu yang akan menghubungkan diriku dengan ruang Alex terasa dingin. Rasanya enggan untuk bertemu pria seperi Alex yang jarang tersenyum. Terlebih Alex bukan pria yang mudah diajak berbicara kecuali mengenai bisnis. Suara baritone terdengar dari dalam saat kuketuk pintu itu.           Perlahan kubuka pintu itu takut kalau tiba-tiba rusak. Wajah datar Alex menyambut kedatanganku. Seketika membuat perasaanku menjadi buruk. Kuberikan laporan hasil rapat bagian marketing pada Alex dan ia menerima. Alex membaca hasil laporan itu sambil mengangguk. “Aku setuju dengan ide ini. Persiapkan rapat untuk besok, kita akan segera membahasnya.” Aku mengangguk mengerti. Tiba-tiba pintu ruang Alex terbuka, tanpa basa-basi seorang perempuan masuk dan menghampiri Alex. Gadis yang kutafsir usianya 27 tahunan itu berdiri di samping Alex  kemudian mencium pipinya. Tidak ada penolakan dari Alex pria itu hanya diam. “Kekasih Anda?” tanyaku. Bagaimana pun misi ini harus berjalan lancar walau harus mempertaruhkan reputasi di depan Alex. “Aku tunangan Alex.” “Melody, hentikan!” “Kenapa kau marah?” Gadis bernama Melody itu mengusap pipi Alex lembut, namun segera ditepis oleh pria itu. Aku tidak mengerti hubungan seperti apa yang mereka jalani. Alih-alih bahagia Alex justru merasa tertekan. Perempuan seperti itu memang cocok untuknya. “Apa ada sesuatu yang perlu dibahas lagi?” tanya Alex. Ia menatapku tajam. “Tidak, sudah cukup. Saya permisi.” Aku langsung keluar dari ruang Alex dan sesegera mungkin memberitahu Aline. *** “Hiks… Hiks… Hiks…” Banjir bandang. Begitulah istilah yang tepat untuk pakaian Aline. Gadis itu menolak tissue pemberianku. Aline lebih memilih membiarkan air matanya terurai menyedihkan. Apa hanya aku yang bahagia saat tahu Alex punya tunangan? Bahkan teman wanitaku yang lain juga terlihat murung. Namun yang paling parah adalah Aline. Aku harus menutup pintu ruangannya untuk meredam suara raungan Aline. “Relakan saja Al, masih banyak pria baik di luar sana. Yang lebih kaya, tampan dan bahkan lebih seksi,” rayuku. Namun Aline menggeleng. “Dia pria yang berbeda, An. Lo gak akan nemuin pria seperti Pak Alex.” “Tapi dia bukan pria yang baik buat kamu Al.” “Dia pria yang baik. Sangat baik kalau lo belum tahu.” Tapi pria baik-baik tidak akan meniduri wanita tanpa ikatan. Andai kamu tau Al bagaimana Alex sebenarnya aku yakin pemikiranmu tentang Alex akan berubah,” batinku. “Oke, dia pria baik. Terus sekarang kamu mau apa?” “Setidaknya aku bisa berkencan dengan Pak Alex sekali. Ya, sekali saja.” Aline mulai gila. Keinginannya hampir mustahil diwujudkan. Aku tidak yakin Alex mau berkencan dengannya terlebih pria itu sedikit… Tidak jangan sampai Aline berkencan dengan Alex. Bagaimana jika sesuatu terjadi pada mereka saat kencan. Seperti… hotel? “Lo kenapa An?” “Eh? Enggak… aku gak apa-apa.” “An, bantuin gue sekali lagi, ya.” “Kamu yakin mau kencan sama Pak Alex?” Aline mengangguk pasti. Air mata yang mengering di pipinya membuat penampilan Aline menyedihkan. Oke, baik, aku harus fokus lagi pada pembahasan kencan dengan Pak Alex yang menjadi keinginan konyol Aline. “Gimana caranya?” “Gue juga gak tau.” Kami mendapat jalan buntu. Aku semakin pusing dengan permintaan ini. Aline tia-tiba tersenyum dan membisikkan sesuatu padaku. Perutku tergelitik geli mendengar rencananya. Gadis itu benar-benar serius ingin berkencan dengan Pak Alex. “Harus seperti itu?” “Iya. Jika Pak Alex sudah jatuh cinta dengan surat itu maka gue bisa dengan mudah berkencan dengannya.” “Tapi kenapa harus aku yang menulisnya?” “Karena lo sahabat gue. Ana bantu gue, please.” “Iya, aku bantu tapi kalau ini gagal aku tidak mau melakukannya lagi.” Aline mengangguk, lagi-lagi ia memelukku. Alex. Satu nama yang membuat para wanita di kantor langsung meleleh. Ia seperti api yang siap membakar apa pun di dekatnya. Aku akui pesonanya begitu kuat, tapi aku tidak tertarik sama sekali. Anatasya Jade tidak akan pernah tertarik dengan Alex Vergel.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD