Bab 2 : Madrosah Sekokoh Menara

1651 Words
“Masha Allah, Asha!” Hanifa Asmaya meletakkan selang air di atas pot bunga, tak ingat mematikan kerannya. Wanita itu terburu menghampiri puterinya yang berjalan gontai memasuki pekarangan rumah sambil menggiring sepeda. Wajah manisnya kelihatan lusuh, serta ada bekas air mata kering di sana. Baju, rok beserta kerudungnya cokelat semua kena butiran pasir. “Kenapa kotor sekali. Ya Allah, bagaimana ceritanya kau bisa sekotor ini?“ Hanifa menangkup kedua pipi anak perempuannya, memeriksa lengan, melihat kakinya, lalu menghembuskan napas lega. Tak ada tanda-tanda kekerasan fisik di sana. Jadi, dari mana gerangan puterinya itu? “Jatuh, Ma.” Asha menjawab lesu, bahunya merosot ketika Hanifa menyuruhnya lekas mandi. Apa kata Arka nanti jika melihat kondisi sepedanya kotor dan rusak? Mama tak akan tega marah padanya, tapi lain lagi dengan Arka. “Loh, sandalmu satunya mana, Sha?” Asha melirik kakinya yang tengah dibasuh air bersih dari selang, sama bingungnya. Kenapa ia tak menyadari kalau sepanjang jalan menuju rumah hanya memakai satu alas kaki? “Hm, ikut jatuh di jalan, Ma.” Hanya itu yang bisa dijelaskannya. *** Kegiatan rutin keluarga Dimas Hartanto selepas shalat fardhu ialah mengaji bersama. Sesudahnya dibuka sesi muraja’ah. Asha dan Masnya rutin menyetor hafalan 10 ayat sehari. Kadang, Papa mereka tegas membetulkan makhraj yang kurang pas, atau menambah pengetahuan tajwid keduanya. Namun, satu bulan terakhir ada yang berbeda meski aktivitas itu tetap dilaksanakan. Tanpa kehadiran Papa yang bertugas ke Maluku, kurang afdhal rasanya muraja’ah itu. Asha merindukan Papanya, yang meski galak dan kaku tetapi selalu bersedia melantunkan shalawat badar kalau ia susah tidur, dan murattal yang kadar kesejukannya mengalahkan sejuknya lemari es. Suara bariton yang biasanya tegas itu mendadak selembut dzikir malaikat. Asha yang kangen berat, sepanjang bimbingan mengaji selalu memeluk figura Papanya yang gagah dalam seragam militer lengkap dengan melati satu di pundak. Ribut-ribut kecil kembali mewarnai ruang keluarga mereka ketika Arka bergabung. “Kau main di mana sih? Kenapa sepedaku bisa sekotor itu?” wajah Arka muram dan tak bersahabat. Asha mau pura-pura bodoh, tapi tuntutan untuk selalu jujur mendesaknya agar menjawab Arka. “Main dekat pohon beringin, taman kecil di sana itu loh. Pertigaan jalan.” Alis Arka yang diciptakan Allah dengan bentuk sempurna, meliuk. Sayang sekali kalau salah satu bagian tubuh kakaknya yang paling mempesona itu selalu menjadi tanda prasangka negatif. “Terus kenapa roda sepedaku bisa patah begitu? Kau pasti main di trotoar jalan raya, kan? Kesenggol motor terus jatoh.” Tuduh Arka beruntun, biasanya sih lebih parah—omelannya bisa sepanjang kereta api babaranjang. Hanifa melirik mereka berdua, pada Asha yang merengut sebal, dan Arka yang selalu memperkeruh suasana. “Nggak kok, sumpah deh, Ma. Aku cuma sepedaan di pertigaan jalan itu doang,” lantas leher Asha kembali pada kakaknya, “lagian `kan Mas Arka usianya sudah 13 tahun kenapa masih saja pakai roda kecil segala.” Arka menoyor kepala adiknya. “Apa pedulimu? Toh kau kan pinjam juga, tanpa seizinku lagi.” Arka dengan tega menunjukkan bogem mentahnya. “roda kecil itu punya nilai historis buatku, dan kau anak ingusan—” telunjuk Arka menghentak kejam di wajah melas Asha, “meninggalkan potongan yang patah itu entah di mana.” “Ya Allah, sudah—Arka, Asha,” Hanifa mencoba mendamaikan, wanita itu bersidekap, pura-pura kesal yang serius. “sesama saudara itu seharusnya saling menjaga dan mengasihi, mengerti satu sama lain. Bila yang satu berbuat salah, yang lain tak boleh menyalahkan tetapi meluruskan.” Meski serius begitu, wajah Hanifa tetap seterang bulan purnama, intonasi suaranya selembut beledu. “Arka masih ingat amanah Papa sebelum berangkat bertugas?” Hanifa menatap puteranya, nada peringatan yang halus terdengar kentara di sana. “Arka harus bertugas menjaga Asha selama Papa pergi. Menemani belajar serta tidak boleh meninggikan suara ketika berbicara, dan apa artinya itu?” Arka diam, sifat keras kepalanya yang diturunkan Dimas Hartanto hanya mampu diredam Hanifa, Arka yang emosional tidak pernah bisa mengangkat pandangannya kepada wajah Mamanya. “Aku harus menjaga adikku, dan berbicara lembut kepadanya.“ Hanifa mengelus rambut puteranya. “Maka lakukan apa yang diamanahkan Papa kepadamu.” Hanifa beralih memandang puterinya yang sudah menunggu. “Dan pesan Papa pada Asha, agar selalu menghormati dan nurut kepada Masmu. Dengar, kalau mau pinjam barang, bilang dulu pada Mas Arka, oke?” Asha mengangguk, mengacungkan kelingkingnya yang disambut enggan oleh Arka. Sebab, hal itu merupakan bagian dari peraturan yang diterapkan Hanifa kalau mereka terlibat perang mulut. Meski menurut Arka, tindakan semacam itu kekanakan sekali. Tetapi yang paling penting, satu masalah pada malam itu terselesaikan berkat Hanifa. “Mau Mama ceritakan sebuah kisah?” Suara wanita itu melantun lembut, seperti sengaja diciptakan Allah dari segumpal kapas yang dicelup ke dalam minyak zaitun. Mereka antusias, Hanifa memang secara konsisten selalu mendongeng berbagai kisah tauladan dari kehidupan Nabi SAW beserta para sahabat yang mulia. Sebab, seorang ibu ialah madrosah pertama bagi anak-anaknya. Betapa pun banyaknya ilmu yang bisa mereka dapatkan di sekolah formal, tetap saja sang pengajar utama tak boleh absen untuk mendidik putera-puterinya. “Al-Mubarrid menceritakan sebuah kisah. Di Kufah pada zaman dahulu, hidup seorang pemuda tampan yang rajin dan taat beribadah kepada Allah. Suatu waktu dia berkunjung ke kampung Bani An-Nakha'.” Hanifa berhenti hanya untuk mengusap kepala puterinya yang berbaring manja di atas pangkuan. “Apa yang dilakukan pemuda ganteng itu? Apa dia mau pergi ke pasar? Memangnya di Kufah ada pasar ya? Eh omong-omong, Kufah itu di mana sih, Ma? Masih Arab atau—” “Diam napa sih. Dengerin aja cerita Mama.” Arka jengkel. Asha terlalu cerewet, selalu saja ada selaan yang menurutnya tidak penting saat Hanifa sedang menuturkan sebuah kisah. Hanifa seperti biasanya, sibuk melerai si sulung dan bungsu yang saling lempar pelototan. “Hmm, mau lanjut atau tidak nih ceritanya?” Serempak keduanya mengangguk, dan untuk kali terakhir saling memeletkan lidah. Hanifa geleng-geleng kepala. “Pemuda itu melihat seorang gadis cantik hingga membuatnya jatuh hati. Dan ternyata, cintanya pada si gadis tidak bertepuk sebelah tangan. Lalu, pemuda itu mengutus seseorang untuk melamar si gadis. Tapi sayang, sang ayah mengabarkan bahwa puterinya telah dijodohkan dengan sepupunya.” Asha berseru kecewa, “Yah, pemuda itu pasti patah hati deh.” Katanya. Hanifa tak tahu dari mana Asha mengenal istilah patah hati, sedikit penasaran namun urung bertanya. “Walau begitu, cinta keduanya tak padam. Mereka saling berkirim surat. Namun pada akhirnya, si pemuda menyerah atas kisah cinta mereka. Sebab, takut jika cintanya pada gadis tersebut melebihi cintanya pada Allah. Hingga berani menyakiti makhluk-Nya yang lain.” Kakak beradik itu mendengarkan khidmat, terhanyut ke cerita Hanifa. Asha mengerutkan kening. “Ma, mengapa pemuda itu menolak? Bukankah mereka saling jatuh cinta?” Hanifa tersenyum kalem. “Karena dalam Islam, asal kau tahu tuan puteri, bahwa haram hukumnya meminang seorang gadis yang telah dipinang oleh saudara muslim lainnya.” Asha menjadi sok paham, “jadi, si pemuda memilih mundur daripada harus menerima murka Allah karena merebut hak orang lain. Begitu, Ma?” Hanifa mengangguk. “Harus banget ya emang mulutmu dibekap pakai lakban?” Arka dari tadi sibuk menahan sabar, ketika cerita Hanifa terinterupsi lagi dan lagi. Asha merengut, langsung bungkam. Hanifa kemudian melanjutkan, “Gadis itu ikhlas atas pilihan si pemuda, yang takut kepada Allah. Alasan itu membuat si gadis tersentuh, hingga ia pun kian mendekat pada Allah. Namun di sisi lain, ia jatuh sakit karena tak mampu menahan rindu di dadanya. Hingga akhirnya pergi meninggalkan dunia.” “Oh ya, apakah pemuda itu tahu kalau si gadis sudah wafat, Ma?” Asha tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. “Tentu saja, pemuda itu bahkan sering berziarah ke makam si gadis. Menangis dan berdoa di sana. Hingga di mimpi, mereka saling menemukan, dan berjanji untuk saling bertemu—sebab sama-sama memiliki cinta yang amat besar pada Allah. Beberapa hari kemudian, pemuda itu juga pergi meninggalkan dunia.” “Innalillahi Wa Innailaihi Rajiuun.” Asha melirih. Kisah yang didengarnya begitu luar biasa indah dan inspiratif. Arka nampaknya berpikir hal yang sama, anak laki-laki itu duduk diam memandangi Mama mereka yang wajahnya lembut bercahaya seusai bercerita. “Maka seperti itulah anak-anakku yang shaleh dan shaleha, bahwa cinta yang sebenar-benarnya mencintai ialah kepada Allah. Si pemuda memang mencintai gadis yang tak bisa dimilikinya. Namun, cinta pemuda itu kepada-Nya alangkah jauh lebih besar. Rasa takut kehilangan Rabb-Nya melebihi hasrat hati pada makhluk ciptaan-Nya. Maka dari itu Allah memberinya hadiah atas kesabaran serta kesetiaan tertinggi yang diletakkan si pemuda untuk-Nya.” “Subhanallah.” Hanifa tersenyum, putera-puterinya memang masih kecil. Tak ngerti benar urusan hati yang dikaruniakan Tuhan pada diri manusia. Namun, tak ada salahnya menanamkan mindset tulusnya kasih sayang sedari dini. Supaya mereka tumbuh dengan pemahaman yang shahih. “Apa suatu hari nanti, Asha juga akan menemukan pemuda seperti itu, Ma? Yang sayang kepada Asha namun lebih mencintai Allah daripada dunia dan seluruh isinya.” “InsyaAllah, jika Asha senantiasa memperbaiki diri maka Allah akan memberikan jodoh yang baik agamanya.” “Jadi, Asha nanti juga akan menikah ya, Ma?” Hanifa tertawa. “Tentu saja, sayang. Suatu saat nanti ketika kamu tumbuh bersama kematangan jiwa. Karena menikah adalah menyempurnakan separuh agama.” “Mas Arka juga bakal menikah ya? Apa kira-kira ada perempuan yang mau sama dia?” celetuk Asha yang ledekannya itu ngena sekali. Lihat saja, Arka sudah melotot pada adiknya Hanifa melerai dengan candaannya. “Mas Arka kan ganteng, pasti banyak perempuan menyukainya.” Arka tersipu, kelihatan aneh di mata Asha. Spontan gadis kecil itu membuat gerakan ingin muntah. “Asha saja sering dibuat nangis, apalagi nanti orang yang mau nikah sama Mas Arka.” Tak terima, Arka berdiri sambil menuding wajah Asha menggunakan telunjuknya. “Gigi aja ilang satu dan masih suka ngompol—mana ada laki-laki yang mau! Jangan jauh-jauh mikir menikah deh!” Ketengilan di wajah menggemaskan Asha pudar. “Mas Arka jahat!” Asha manyun, menjerit, dan melempar bantal sofa ke wajah Arka. “Aku doain ya kamu supaya disunat dua kali!” Jarum jam di dinding menunjukkan pukul 20.00 tepat, dan rumah itu menjadi sangat ramai akan suara tawa. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD