Bab 3 : Bicara Dengan Tuhan, Bisakah?

2004 Words
Beberapa momen penting dalam hidup diselimuti oleh kebahagiaan, kesedihan, perjuangan—dan waktu yang membungkusnya. Lewati tahun demi tahun, merenggangi musim hujan dan kemarau. Entah pada sesi yang ke berapa kali ini. Namun meski begitu, Asha bersyukur di tahun kedua sekolah menengah pertamanya, ia masih memiliki teman yang luar biasa baik seperti Saka. Mereka janjian bertemu di gazebo. Asha datang mengapit kanvas di ketiak, sementara kedua tangannya sibuk memegangi sekotak cat minyak. Dari kejauhan, ia bisa melihat Saka yang jangkung sedang duduk berselonjor di atas ubin, sibuk memasang lego yang berserakan di sekitar kaki. Ketika melihat Asha datang tergopoh, Saka dengan sigap mengambil alih kanvas dan kotak catnya. “Gambar apa ini?” Saka mengamati hasil kreasi Asha, meski masih berupa goresan pensil, namun tidak dapat menyembunyikan adanya bakat-bakat melukis di sana. Asha muncul tiba-tiba dari balik bahunya, dan bilang, “Terinspirasi dari lukisannya Van Gogh, The Starry Night.” Hening beberapa lama. “Asha,“ Saka mencoba menahan keterpanaan yang meluap-luap. Asha jelas punya bakat melukis, itu terlihat pada setiap goresan halusnya yang hati-hati. Di sana ada gambar desa yang dikelilingi oleh banyak matahari. Seperti kata Asha tadi, mirip lukisan Van Gogh—konsepnya. “Ini sangat luar biasa. Kau punya bakat alami dalam melukis.” Asha menyengir. Dan ketika Saka meminta izin untuk memperbaiki sedikit hasil kerjanya, gadis itu dengan lapang d**a mengangguk. Sementara ia sibuk melihat-lihat kertas lipat milik Saka yang telah disulap menjadi berbagai macam bentuk jet tempur. “Itu T-50 Golden Eagle, pesawat tempur yang pernah Ayah kemudikan di lintasan udara,” Saka memberi informasi, duduknya pindah ke dekat pohon belimbing di samping gazebo. “aku coba menyelesaikannya dalam waktu satu minggu. Tapi sayapnya selalu rusak setiap aku bangun tidur.” “Pasti Saga yang melakukannya.” Asha berseru dan wajahnya berkerut tidak suka. “Kau pikir kakakku melakukannya? Hm, itu tuduhan serius.” Saka menerawang jauh, entah apa yang sedang ia pikirkan. “Bisa saja. Sikapnya selalu buruk padamu.” Asha tak mau suudzon, tapi Saga memang kakak yang mengerikan. “Ye, malah bengong,” Asha menukas, melihat Saka terdiam. “Kenapa sih kau selalu lihat-lihat ke angkasa?” ia ikut mendongak, sesekali melirik Saka yang nampak anteng mengamati sesuatu. Saka aneh dan misterius untuk ukuran remaja tanggung seusianya. “Aku selalu suka udara. Aku ingin naik pesawat terbang—lebih baik lagi kalau bisa mengemudikannya. Aku ingin terbang ke awan dan bicara dengan Tuhan.” Saka menjawab tanpa mengalihkan pandangannya. Asha mengangkat alis, “Ya?” lukisan di atas kanvas sudah tak menarik lagi. Saka menoleh, “Aku ingin bicara dengan Tuhan.” “Berarti pesawatmu harus jatuh dulu ke tengah laut biar kau bisa bicara dengan Tuhan.” Asha berpendapat. Dahi Saka kerut tak setuju. “Salah jika memandang kematian sebagai pertemuan awal dengan Tuhan. Yang aku pelajari selama 15 tahun aku hidup, kau bisa menemukan keberadaan Tuhan dalam tiap langkahmu. Sebab, Dia yang memberi napas hidup dalam napasmu, Dia memberi kehidupan dan Dia tinggal di hidupmu. Hanya saja manusia terlalu sibuk untuk menyadari seberapa dekat ia dengan Sang Pencipta. Manusia lelah mencari hingga sudut paling jauh, padahal kau tinggal pejamkan mata lalu berdoa dengan hati yang lapang, Maka Tuhan akan mendatangimu dalam wujud karunia dan anugerah, bukan dalam bentuk sepinya kematian.” Asha terpana, pemikiran Saka membuatnya tak bisa berkata-kata, ia membuang pandangannya pada sekumpulan bunga bakung yang tumbuh berdesakan. “Lantas mengapa kau ingin terbang ke angkasa kalau keberadaan Tuhan sebegitu dekatnya?” “Setiap muslim berdoa dengan cara menengadahkan kepala ke atas, tahu alasan mengapa kita melakukan itu?” Asha nampak berpikir sejenak. “Karena dengan melakukannya, kita merasa dekat dengan Tuhan, ibarat jari jempol dan telunjuk, merasa dipeluk dalam kedamaian.” “Persis sekali Sha. Permohonan yang meminta sekaligus permintaan yang memohon. Wah, ternyata selain cantik, kau juga pintar ya.” Saka masih sempat melempar satu senyuman mempesona sebelum kembali tenggelam memperbaiki sketsa Asha. Asha tidak mau menanggapi lebih jauh, terlalu bingung dengan perubahan suhu tubuhnya yang tiba-tiba memanas. Malu sekali karena pujian Saka. “Kenapa sih kau ingin jadi TNI-AU? Kau bisa jadi ilmuan besar dengan otak encermu, mewakili Indonesia dan mendapatkan penghargaan Nobel seperti Einstein. Lagipula pekerjaan TNI itu berat, Papaku saja jarang pulang ke rumah, sibuk dengan Operasi Pertahanan Udara katanya—Operasi Hanud Aktif dan Operasi Hanud Pasif.” Asha tidak tahu di mana letak menariknya. Orang-orang di kesatuan Papanya sekaku papan penggilasan cucian, tak pernah asyik kalau diajak ngobrol, jalannya tak pernah santai dan pakaiannya yang itu-itu saja. Yang dibicarakannya hanya Operasi Militer Untuk Perang dan Operasi Militer Selain Perang. Tak ada yang tahu film barbie atau kartun produksi Walt Disney dan Warner Bross. “Aku ingin seperti Ayah, terjun dalam menjamin kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI. Melaksanakan tugas TNI matra udara di bidang pertahanan, menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah udara yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi, membangun dan mengembangkan kekuatan matra udara, juga melaksanakan perberdayaan wilayah pertahanan udara.” Kedua mata Saka berbinar antusias. Asha tak begitu mengerti soal tugas-tugas yang mesti diemban para Tentara meski Papanya sendiri seorang Perwira Menengah—Mayor TNI Angkatan Udara. Ia cuma menganggukkan kepala, malah terhanyut dalam semangat menyala-nyala yang ditunjukkan Saka. “Kurang lebih empat tahun lagi aku akan masuk Akademi Militer.” Saka nampak berambisi. Sementara Asha tersenyum, menepuk pundak Saka sebagai dukungan. “Aku akan berjuang sungguh-sungguh, menjaga negeri ini dengan segenap jiwa ragaku seperti aku menjagamu—“ Saka menatap gadis yang menopang dagu itu, tahu kalau Asha sedang berusaha menyembunyikan rona di wajahnya. “Kalau aku sudah menjadi Perwira Tinggi seperti Ayah, aku akan menjemputmu setiap libur bertugas di labolatorium pribadimu setelah kau pulang kerja. Aku ingin melihatmu menerima penghargaan Nobel di atas panggung besar bersama orang-orang hebat.” Asha terenyuh atas janji itu, Saka selalu tulus dalam berkata-kata. Kehangatan menguar lewat mata maupun sikapnya, bahkan sejak pertama kali mereka bertemu di pertigaan komplek dua tahun lalu. Memang ya, Tuhan selalu adil menciptakan sesuatu ke dalam dua sisi. Kanan dan kiri. Terang dan gelap. Air dan api. Tumpul dan tajam. Lalu, Saga dan Saka. Mereka terhubung dalam satu ikatan darah, namun nampak berlainan sisi. Saga seperti awan hitam yang menutupi keindahan cahaya rembulan, sementara Saka seperti nyala bintang yang mengusir gelap di sekelilingnya. *** Saka berlari menghampiri Asha, seragam SMP yang dikenakannya sedikit lusuh akibat aktivitas padat seharian di sekolah. Remaja itu tersenyum meski kedua sudut bibirnya bengkak, warna ungu. Asha nampak cemas. “Kau kenapa lagi?” ya, lagi, karena Asha sering menemukan bekas-bekas luka di tubuh Saka, sejak dua tahun lalu hingga sekarang. Tetapi akhir-akhir ini, Saka terlihat jauh lebih buruk. “Tadi jatuh di kamar mandi.“ Jawab Saka, terkesan tidak ingin membahas lebih jauh. Asha menghela napas, ia sudah bukan gadis kecil yang bisa dibohongi lagi. Tetapi rasanya percuma, Saka tak pernah mau terbuka soal apapun itu termasuk keluarganya. Kecuali ibunya yang dibicarakan remaja itu dengan mata berbinar. Aku sayang ibuku, dia cantik dan baik hati, dia dan kau adalah dua wanita yang ingin selalu aku lindungi, katanya sekali waktu. Asha tertawa saat itu, Saka menuruni sifat ibunya dengan baik. Tiba-tiba, Saka meraih pergelangan tangan Asha. “Apa ini?” hidung mungil gadis itu mengerut lucu, ia memperhatikan Saka yang tengah melilitkan gelang di pergelangan tangannya.  “Gelang.” Asha memutar bola mata. “Iya, aku tahu. Maksudku gelang ini untuk apa?” Gelangnya sederhana tapi indah, memiliki lima buah belah ketupat dengan ukiran yang berbeda. Bentuk bunga matahari berada di belah ketupat pertama, berturut-turut menjadi; pesawat terbang, burung gereja, sandal jepit dan muka Asha sendiri. Gadis itu tidak pernah menyangka keterampilan Saka dalam membuat kerajinan tangan akan sebaik itu. “Untuk menghiasi tanganmu yang cantik,” Saka mengulum senyum, menepuk punggung tangan Asha sekali setelah menyelesaikan ikatannya. “juga, kalau kau butuh bantuanku, kau tinggal membisikkan namaku dekat gelang ini.” Asha terpukau. “Oh, seperti di film Power Ranger itu? Kau pasangi alat apa di dalamnya?” dengan polos ia mengangkat tangannya tepat sesenti di depan mata. Saka geli, sampai kapanpun gadis itu takkan menemukan apa-apa karena, gelang itu gelang biasa. Yang dibuat dari kayu pohon cokelat sehingga menguar wangi. Tanpa ditempeli GPS atau semacamnya. “Lakukan sajalah. Kau kan selalu memintaku ini dan itu.” Saka melempar tas ransel ke sudut gazebo, berbaring lalu memejamkan mata. Asha mengambil tempat di sampingnya, ikut berbaring. “Apa kau akan datang di saat aku membutuhkan bantuan?” “Ya, aku sudah melakukannya selama dua tahun terakhir. Lalu apa bedanya dengan selamanya.” Suaranya serak, Saka memang sedang terserang flu dan batuk sejak tiga hari terakhir. Asha gembira, apa yang Saka katakan adalah jawaban yang paling ia inginkan dari mulut seseorang. “Kau menyukaiku ya?” tanyanya spontan. Saka mengulum senyum, dia tengah membayangkan wajah Asha di kegelapan sana, dan apa yang dia rasakan setelahnya. “Iya, laki-laki kan suka gadis cantik.” Asha menimbang sebentar. “Oh jadi cuma karena itu? Kalau aku jelek berarti kau tidak akan menyukaiku?” “Tidak. Laki-laki tidak suka gadis jelek.” Jawaban Saka terdengar skeptis. Asha cemberut karena tidak suka. “Kalau begitu aku tidak mau cantik dan tidak mau jelek.” Saka mati-matian menahan tawanya. “Eh? Mana bisa, kenapa kau plin-plan seperti itu?” “Kau menyukaiku karena aku cantik, itu artinya jika aku jelek, kau tidak akan menyukaiku lagi. Sementara kalau aku jelek, kau jelas-jelas tidak akan pernah menyukaiku.” Oh, kenapa Asha menggemaskan sekali? Saka mau buka mata dan memeluknya saat itu juga. “Tidak bisa. Tuhan akan marah kalau permintaanmu seperti itu.” Yang dikatakannya hanya bualan, Saka amat tahu perasaan remajanya untuk Asha. Sangat tahu hingga rasanya sesak dan kehilangan jika satu hari saja tak bertemu gadis itu. “Aku tidak mau tahu, aku ingin kau selalu menyukaiku. Selalu, selalu, dan selalu sampai kau tak akan pernah punya alasan untuk tidak menyukaiku lagi.” Kekeuh mulut bawel Asha. Oh tentu, Saka amat menyukai ide itu. Kelopak mata Saka yang menutup berkedut-kedut geli. “Baiklah, akan aku lakukan, karena kau memaksaku.” “Ih, tidak boleh terpaksa, tahu!” tegur Asha sebal sementara Saka hanya cengengesan. Lantas hening. Gadis itu memanfaatkannya untuk menatap Saka. Matanya menelusuri jejak kebiruan yang banyak terlihat karena lengan seragam Saka pendek. Di beberapa bagian bahkan menghitam. Bagaimana mungkin Saka datang menolong, sementara remaja itu penuh dengan kesakitan tersembunyi? “Apa kau tidak berniat menceritakannya padaku?” “Apa?” suara Saka terdengar lelah, “apa lagi yang mau kau tahu? Perjalanan hidup Karl Max atau kenapa Hitler menjadi sosok yang berpengaruh dalam perang dunia kedua? Kau selalu ingin tahu dan terlalu bawel, Asha.” Gadis itu manyun, “Bukan! Kau sama saja dengan Mas Arka, senang mengejek.” Saka mengulum senyum, kedua tangannya menjadi bantal di kala matanya terpejam. “Bagaimana kabar Masmu? Masih mati-matian melarangmu bergaul denganku?” Saka tahu alasan Arka dan Dimas Hartanto melarang Asha berteman dengannya, amat tahu. Sebab, hal itu ialah salah satu alasan mengapa terdapat luka-luka di tubuhnya. “Masku baik kok, dia makin mirip Papa. Aku dan Mama sampai pusing kenapa ada dua manusia yang susah sekali diajak bercanda,” Asha terkikik. “Jadi, pertanyaan keduamu itu tidak butuh alasan lagi. Mereka hanya tidak ingin aku berteman dengan orang yang salah. Dan salah mereka adalah, tak mau berkenalan lebih dekat denganmu.” Saka menjawab dengan gumaman. Terkadang Asha memiliki pemikiran yang sulit sekaligus sederhana. “Hei! Kau belum menjawab pertanyaanku yang pertama.” Asha menegur setelah tersadar beberapa lama. “Aku tidak mengerti jenis pertanyaanmu.” “Itu, memar-memarmu belum juga hilang,” gadis itu lantas tiduran menyamping memandang Saka, menelusuri wajahnya dengan sendu. Terdapat codet di ujung pelipis kanannya, Saka bilang luka itu akibat benturan dengan engsel pintu. “Apa kau tidak mau cerita?” “Apa yang ingin kau tahu, akan aku jawab. Namun untuk yang satu ini, biar aku simpan sendiri. Kau cukup tahu jika kehadiranmu membuat segalanya terasa lebih baik.” Selama Saka berada di sampingnya, Asha setuju bersikap kooperatif. Selama Saka mau menjawab rentetan pertanyaannya, tak masalah, Saka berhak menyembunyikan isi hatinya. Yang penting mereka tetap bisa bersama. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD