Bab 4 : Kawat Berduri Masa Lalu

2903 Words
Langit menumpahkan kesedihannya yang dalam atas tragedi nahas yang mengguncang Serambi Makkah beberapa jam lalu. Menangisi seorang anak manusia yang kembali pada pangkuan Ilahi. Gerimis-gerimis kecil turun dari gumpalan awan kelabu, namun deru helikoper tetap mampu memecah kebisingan di antara teriakan orang-orang dan hentak sepatu berlarian. Satu persatu wartawan lokal berdatangan, mereka mengacungkan tape recorder serta michrophone untuk mewawancarai orang-orang penting di sana, yang kebetulan bersedia menjelaskan peristiwa tersebut secara garis besar. Segerombolan Bintara Menengah dan Tamtama membatasi mereka dengan garis polisi, meskipun tempat kejadian perkara tidak berlangsung di lapangan udara tersebut. Tak ada yang diizinkan mendekat kecuali anggota kesatuan TNI dan mobil ambulance bergaung nyaring mendekati posko. Pesawat patroli TNI Angkatan Udara C-295MPA mendarat di area lingkaran putih. Sanadharta muncul dari balik pintu pesawat, tersaruk-saruk mendekati posko pengamanan. Beberapa orang berseragam PMI membantu pria itu berjalan, sisanya berusaha membujuk Marsekal Muda mereka untuk berbaring di atas tandu. Sanadharta menolak mentah-mentah, matanya merah namun tak ada isakan lolos dari bibirnya yang berdarah. Seluruh wajah pria itu penuh luka goresan dari ranting-ranting pohon yang tajam. Pakaian dinas lapangannya sobek di beberapa bagian bahkan, mengeluarkan darah segar yang membuat banyak orang berjengit ngeri. Keadaan makin tak terkendali. Konsentrasi para Kopral dan Prajurit tertuju pada tim evakuasi Gunung Luseur yang berhasil menemukan Sanadharta hidup-hidup serta masyarakat yang mulai merangsek maju. “Mas Sanad! Mas! Di mana Saka? Di mana Saka?” Seruni histeris menerobos tenda, wajahnya basah karena air mata yang tak berhenti menganak sungai. Wanita itu berteriak-teriak ketika tim kesehatan menusukkan jarum infus di atas punggung tangan Sanadharta. Tangannya yang mencoba meraih tubuh suaminya menyulitkan dokter Tahiti untuk membersihkan luka di sekujur tubuh pria itu. “Ibu, tolong tenang dulu. Kami harus merujuk Marsda Sanadharta ke rumah sakit. Lukanya dalam dan parah.” dokter Tahiti mengusap bahunya. Namun Seruni terlalu kalut, mana ada ibu yang tidak mengkhawatirkan anaknya? Melihat Sanadharta tanpa Saka sama saja dengan merenggut sebagian kewarasannya. Seorang Kopral Kepala dengan berat hati datang memberi perlakuan tegas pada Seruni. “Maaf, Bu. Tapi lebih baik anda menunggu di dalam tenda biru, Tim dokter sedang berusaha menyelamatkan nyawa Marsda Sanadharta.” Mata Seruni membeliak liar. “Menunggu kau bilang? Sementara anakku berada di dalam hutan sana sendirian?” jarinya menunjuk ke segala arah. “b******k! Lepas!” Seruni menghempaskan kedua lengan kuat yang mencengkeram bahunya. Wanita itu melihat Sanadharta memejamkan matanya, namun masih dalam keadaan sadar karena bibirnya mengeluarkan erang kesakitan. “Di mana Saka? Biarkan aku bicara dengan suamiku! Mas Sanad, tolong jawab, di mana Saka, Mas! Di mana Saka!” Seruni tak berhenti menjerit-jerit, mendorong siapapun yang berusaha menjauhkannya dari Sanadharta. Istri dari Marsekal Alam Gumilar, Ratna, datang sambil menahan isak tangisnya pula. “Seruni, tolong tenangkan dirimu. Tim SAR sedang berusaha mencari Saka.” Tetapi percuma saja, siapapun tak ada yang bisa menghentikan raungan gila Seruni. Wanita itu berlari keluar tenda, menggila, mengguncang tubuh siapapun agar mau membawanya masuk ke dalam hutan di mana Saka berada. “Biarkan aku mencari puteraku, biarkan aku bertemu Saka!” Dan kegaduhan itu baru terhenti ketika Seruni jatuh pingsan. Kegelapan total merenggutnya. Kegelapan yang entah sampai kapan menyelimuti. Waktu terasa berjalan begitu cepat. Kala itu hampir petang. Lima jam pencarian dilakukan tanpa henti, Tim SAR masih terus mencoba menemukan putera bungsu Marsda Sanadharta Wiratama yang berada di jantung Luseur, entah masih hidup atau sudah mati. Sebab pesawat serbu yang dikemudikan oleh Sanadharta meledak, terbakar menjadi puing-puing berserakan. Semua menunggu, rintik-rintik hujan terasa begitu menyakitkan kala menyentuh tanah, seolah menetesi luka terbuka. Wajah Seruni pucat pasi, matanya menerawang kosong, menunggu kabar dari Tim SAR rasanya seperti menunggu malaikat kematian mencabut nyawamu, atau seorang jagal yang telah meletakkan pisau tajam di sisi urat lehermu, tinggal menunggunya mengiris sebelum akhirnya ajal menjemput. “Saka, Saka, pulang, nak.” Seruni memeluk lututnya. Wanita itu membuat gerakan seperti orang menggigil kedinginan, namun suhu tubuhnya normal ketika Ratna menyentuh dahinya. Istri Marsekal itu turut berduka, ia juga seorang ibu, mengerti betul bagaimana hancurnya perasaan Seruni. “Saka, Saka, Puteraku.” Seruni terus menggumam. “Sabar, Seruni. Saka pasti pulang. Putramu akan pulang.” Ratna mengusap-usap bahu Seruni. Membisikkan serentetan doa-doa yang menenangkan. Tetapi Seruni tidak merespon. Kesadarannya seolah terbang bersama bayangan Saka. Dan semua itu memang benar adanya, persis seperti apa yang dikatakan Ratna. Saka telah pulang. Kembali pada Seruni, sehingga ibunya merasakan kehadirannya lalu mendongak lemah. Namun seketika itu juga dunia Seruni terasa gelap, runtuh, terbalik, hancur, berantakan, luluh lantak, dan entah kosa kata mengerikan apa lagi yang pantas untuk disandang. Sebab, ketika itu para petugas berseragam oranye turun dari pesawat angkut Boeing 737-400. Lalu lima orang Tim SAR berlari dengan langkah kaki yang seragam, di masing-masing tangan mereka menenteng kantung mayat berwarna kuning. Kantung sepanjang 165 sentimeter. Resletingnya tertutup rapat-rapat. Di dalamnya, terbaring jasad Saka Panji Wiratama. *** Tragedi nahas di Banda Aceh itu diliput seluruh stasiun televisi nasional. Mereka berlomba menayangkannya ke layar kaca. Stasiun yang besar bahkan meliput langsung ke Gunung Luseur menggunakan helikopter. Sehingga masyarakat Indonesia bisa melihat di mana pesawat itu terjatuh. Kondisinya sungguh memperihatinkan. Pesawat serbu itu sudah tidak dapat dikenali bentuknya lagi karena badannya hancur berkeping, di beberapa bagian yang terpecah menghitam dijilat lidah api. “—masih belum diketahui penyebab utama jatuhnya pesawat serbu KF-X, tetapi beberapa spekulasi mengatakan bahwa jatuhnya pesawat milik TNI Angkatan Udara tersebut akibat mengalami kendala mesin dan tidak seimbangnya sayap antara bagian kiri dan kanan. Badan penyelidik sendiri sedang mengupayakan penemuan black box agar segera mengetahui misteri di balik hilang kontaknya radar komunikasi pesawat tersebut dengan penerbangan pusat di Banda Aceh— Marsekal Dua Sanadharta Wiratama telah dilarikan medis menuju rumah sakit setempat karena kondisinya yang kritis, sementara penumpang lainnya, yakni Saka Panji Wiratama yang merupakan putra bungsu Marsda Sanadharta sendiri dinyatakan masih belum ditemukan.” Suara lugas wanita pembawa berita itu sama sekali tidak enak didengar, Asha merasa seluruh bagian tubuhnya panas dingin. “Ma?” suara Asha bergetar, menatap Mama yang sama terpakunya ke layar televisi. “Ma, itu Saka yang mana?” Asha kembali bertanya, menggenggam telapak tangan Mamanya erat. Menyalurkan keringat dinginnya sendiri. Wajah gadis itu berubah sepucat kertas. Hanifa mengelus kepala Asha, matanya sendu namun memberi kekuatan. Tanpa Hanifa jawab, hati Asha tahu Sakalah yang dimaksud wanita itu. “Ma, Papa kan juga ada di sana, kita telepon saja supaya tahu kabar yang benar. Saka pasti dengan Ayahnya di rumah sakit.” Usul Asha. Hanifa menggeleng. “Papa pasti sedang sibuk. Kita tunggu saja kabar selanjutnya.” Asha merenung, kepingan informasi itu sangat mengganggunya; pesawat yang meledak tragis, dan setiap bagiannya terbakar. “Apa Saka meninggal, Ma?” bibir Asha bergetar. Usianya boleh 12 tahun, tetapi ketika bayangan ditinggal seorang sahabat itu membayang nyata, rasanya tidak masalah untuk disikapi lebih dramatis. Lagipula, Saka adalah orang pertama yang mau mendengarkan mimpi serta rencana-rencananya, orang pertama yang sudi membongkar setrika atau jok motor bekas untuk dijadikan bahan oven otomatis sinar ultravioletnya, orang pertama yang mau menjawab segala pertanyaannya, tanpa mengeluh. Orang pertama yang menawarkannya perlindungan secara lisan maupun tindakan. Sejak dua tahun terakhir, Asha mengakui bahwa Saka menjelma jadi sosok paling berpengaruh yang mengajarinya banyak hal. Kalau Saka pergi, siapa yang akan menemaninya membuat alat penumbuh bunga matahari? Saka sudah berjanji, jauh hari lalu. Sudah dicatat matahari yang menyaksikan tengah hari itu. Hanifa menggeleng pelan. “Kita husnudzon saja selagi belum ada kabar pasti. Asha harus banyak-banyak berdoa untuk keselamatan Saka. Lihat, Marsda Sanadharta bisa selamat, tidak menutup kemungkinan bahwa hal yang sama terjadi pada Saka atas izin Allah.” Suara Hanifa mendadak tercekat. Dalam hati ia meragukan ucapannya sendiri. *** Peristiwa buruk itu terjadi kurang lebih dua belas tahun yang lalu. Berputar-putar di dalam benaknya seperti helikopter mengudara, saling sambung menyambung seperti jalinan tali. Terlalu rumit untuk dilepaskan. Tepat ketika hari ulang tahun kesatuannya yang ke sekian, semua orang menyambut gembira kedatangan TNI Angkatan Udara yang menyuguhkan atraksi terlatih dari pilot-pilot mereka. Jet tempur dan helikopter dibawa meliuk-liuk dan berputar di udara. Tepuk tangan riuh rendah terdengar dari masyarakat yang menyaksikan. Tempat itu penuh sekali sampai panitia harus menyediakan posko kesehatan untuk beberapa orang yang terdesak sampai jatuh pingsan. Sampai ketika kesenangan itu harus berakhir karena sebuah tragedi yang melibatkan keluarga salah satu anggota TNI Angkata Udara yang paling disegani, Sanadharta Wiratama. Marsekal Dua yang membawa anak lelakinya terbang serta, mengelilingi langit biru kota Aceh, namun keluar jalur hingga akhirnya ditemukan jatuh di dalam Gunung Luseur. Kilasan demi kilasan itu begitu jelas. Mau tak mau, Dimas Hartanto kembali mengingat kejadian tersebut, tetapi agak berkurang sejak pesawatnya lepas landas dari Banda Aceh. Baiklah, lupakan problematika hidup sejenak. Hiruk pikuk di bawah kendalinya terlalu indah untuk dihiraukan begitu saja. Dimas Hartanto telah sampai di tempat baru dan tak seharusnya dia mempertaruhkan nyawa teman-temannya hanya karena melamunkan masa lalu. Biarlah jejak kelam itu tertinggal di belakang, meski masih menyisakan teka-teki panjang. Pria itu mengulas senyum tipis, khasnya. Kini ada sebuah pemandangan menarik di langit Sentani, Kabupaten Jayapura siang itu. Tiga pesawat tempur TNI AU T50 I Golden Eagle masing-masing dengan nomor TT-5013, TT-5014 dan TT-5016 berhasil mendarat dengan sempurna di bagian timur negeri. Membawa sebanyak 55 orang beserta kru pendukung dari homebase mereka di kota Madiun. Kedatangan tiga pesawat tempur ini merupakan bentuk latihan dari TNI AU yang diselenggarakan oleh Komando Pertahanan Udara Nasional. Rombongan yang berangkat dari Lanud Iswahyudi itu disambut langsung oleh Danlanud Jayapura, Kolonel Pnb. Darma Wastu Gultom. Suasananya ramai sekali ketika Komandan Skadron Udara 15 Letkol Pnb. Dimas Hartanto turun dari dalam pesawat tempur yang tadi dikemudikannya. Pria itu ikut berbaris untuk dikalungi rangkaian bunga khas setempat. “Mengapa anda berada di barisan akhir, Letkol?” Kolonel Darma menyalaminya usai mengalungkan bunga beraroma tajam ke lehernya. Dimas Hartanto agak membungkuk sambil mengulas senyum tipis. “Ada sesuatu yang harus saya urus di dalam sana, Kolonel. Terimakasih, sambutannya meriah sekali.” Kolonel berkulit sawo matang itu menepuk-nepuk bahunya. “Sudah menjadi kewajiban kami selaku Danlanud untuk mendukung dan juga menyiapkan segala fasilitas bagi kalian terkait dengan operasi penerbangan maupun latihan penerbangan.” Dimas Hartanto mengangguk takzim. Pendamping sang Danlanud, Kapentak Lanud Jayapura, Mayor Susno Pramudya menebar senyum hangat padanya. “Anda siap terbang kembali, Letkol?” Dan memang benar, jam lima sore nanti Dimas Hartanto harus kembali bertugas menerbangkan kerangka besi menuju wilayah Komando Sektor IV yang bermarkas di Biak. “Tentu saja, Mayor. Sudah menjadi tugas saya.” Dimas Hartanto melirik sang superior lewat sudut matanya, satu-satunya kerangka baja yang mendapatkan antusiasme luar biasa dari masyarakat setempat. Kedatangan jet tempur asal Amerika Serikat itu begitu dinanti-nantikan. “Mari, Letkol, cafetaria telah menyiapkan hidangan untuk rombongan tamu istimewa kita siang ini.” Dimas mengangguk dan berjalan agak jauh di belakang rombongan. Basa-basi menjemukan. Sebab, Dimas tidak begitu suka bertukar kabar dengan teman lama, senior maupun junior. Dia hanya ingin menunjukkan loyalitas untuk pekerjaan yang dicintainya sepenuh hati. Terbang beberapa kali dalam sehari, dari pulau ke pulau, lalu pulang bertemu dua bidadari dan satu jagoannya. Melepas rindu setelah dua bulan tidak bersua. Dia amat merindukan keluarga kecilnya. “Aku tak pernah menduga akan bertemu denganmu lagi, Dimas Hartanto.” Suara itu terdengar familiar, menimbulkan geletar kebencian yang pelan-pelan menyebar ke seluruh syaraf di tubuhnya. Dimas Hartanto menghentikan langkah, dia tahu betul siapa yang akan dihadapinya ketika berbalik. Di lapangan luas itu hanya ada mereka berdua. Orang-orang telah menyusup ke dalam ruangan untuk mengisi perut yang keroncongan, dan menandaskan isi gelas demi mengatasi rasa haus. Mereka berdiri berhadap-hadapan, lama saling mengamati sampai kemudian Dimas membungkukkan badannya, memberi hormat pada Marsekal yang punya bintang empat di masing-masing pundaknya. Pakaian dinas lapangan pria itu kelihatan mentereng. “Demikian pula denganku. Kejutan besar melihatmu menjadi seorang Perwira Tinggi.” Lelaki di hadapannya menyiapkan tatapan mata paling sarkastik. “Itukah ucapan selamat darimu? Kalau begitu, terima kasih.” Sanadharta Wiratama menyipitkan mata. “Tak masalah kalau kau menganggapnya begitu.” Dimas angkat bahu, acuh tak acuh. “Apa kabar dengan Hanifa? Apakah dia sengsara hidup bersamamu?” selalu begitu, sejak di Akabri dulu Sanadharta selalu mencoba menguji kesabarannya. Dimas menanggapinya dengan decakan lidah. “Kau begitu ingin tahu keadaan istriku, Sanad?” lelaki itu menatap rival abadinya penuh perhitungan. “Hanifa tentu hidup bahagia denganku, kami punya seorang putera dan puteri, kau pikir apa yang akan membuatnya tertekan ingin mati bunuh diri?“ Kalimat Dimas Hartanto bak petir yang menyambar kepala Sanadharta, Marsekal itu mengobarkan hawa permusuhan dari tubuhnya, Sanad terbakar. “Dari dulu kau memang b*****t, Hartanto,” bibir Sanadharta menipis, kerutan kecil di sekitar matanya tampak bengis. “kau memperkosanya dan merampasnya dariku.“ Dimas terkekeh santai, tidak nampak manis sama sekali, anehnya. “Justru karena Hanifa tahu kau lebih b*****t dariku, makanya dia memilihku. Isteriku toh tidak perlu repot berpikir dua kali untuk meninggalkan bangkai tikus.” Ulasan senyum dingin Dimas Hartanto kembali mengibarkan dendam masa lalu. Sanadharta salah besar dengan mendekatinya kembali. Perbincangan ringan di bawah sengatan matahari itu tak akan pernah seumum orang lain. Pertemuan mereka tabu dan selalu diwarnai sindiran-sindiran tajam, jangan salahkan jikalau seorang Letnan Kolonel akan begitu berani menyerang seseorang yang punya pangkat lebih tinggi. “Oh, aku melupakan sesuatu, apa kabar dengan putera keduamu? Apa dia baik-baik saja menanggung dosa Ayahnya di neraka?” pria itu menelengkan kepala, senyum simpatik di sana bagai pelecehan tak terkira yang mampu melumuri wajah Sanadharta dengan kotoran manusia. “Apa yang kau coba bicarakan?” suara Sanadharta menajam dari sebelumnya. Dimas memberi pandangan seolah berkata, ‘ayolah kawanku, apakah kau harus terus berpura-pura tidak tahu?’ “Jangan main-main denganku kau, b******n!” murka Sanadharta. Wajah lelah Dimas Hartanto mengeras. Dengan bisikan maut, dia berkata, “Kau membunuh Saka, anakmu sendiri.” Sanadartha menggertakan giginya geram. “Jaga mulutmu, kuperingatkan kau Hartanto!” Semua ini tidak masuk di akal, bahkan sejak bertahun-tahun lalu di mana mereka saling memendam kebencian, tak sekalipun tegur sapa itu terjadi. Kini Dimas Hartanto berdiri di hadapannya sambil menenteng sekantung ancaman untuk menghancurkan kariernya dalam militer. Tanpa rasa gentar Dimas tetap melanjutkan. “Kau membawa dia terbang, tanpa Saga. Aku sudah mengendus sesuatu yang janggal saat itu. Kau membawanya melintasi pegunungan, lalu ketika segalanya sesuai dengan perhitunganmu, kau menjatuhkan KF-X serta dengan tubuhmu dan Saka,” tatapan Dimas dalam, menusuk. “tapi kau induk rubah licik yang menggerogoti daging anaknya sendiri. Kau menyelamatkan diri dengan parasut di punggungmu tepat beberapa meter sebelum pesawat menghantam daratan. Di hari ulang tahun kesatuan kita Sanadharta, di hari bahagia itu, kau tega menodainya dengan menumpahkan darah puteramu sendiri!” Sanadharta menggerung marah. “Persetan! Omong kosong! Apa yang kau bicarakan omong kosong Hartanto! Saka putraku. Mana mungkin aku membunuhnya dengan tanganku. Kau sinting!” lelaki itu merenggut kerah seragam Dimas, menariknya dan hendak melayangkan satu bogem mentah. Sudut bibir Dimas naik sesenti, nampak setenang teratai yang mengambang di atas danau. “Kalau begitu tanyakan pada dirimu sendiri mengapa kau tega melakukan semua itu. Atau—“ sengaja Dimas menggantungkan ucapannya, “haruskan kutanyakan kembali pada Seruni?” Tetapi semua orang tahu betul jikalau Seruni telah mati bunuh diri sebulan setelah peristiwa yang merenggut nyawa putranya itu. *** Dimas Hartanto dan beberapa petugas ahli mesin sedang memeriksa si superior dengan amat teliti. Ketika itu telah masuk jam lima sore, tetapi pemberangkatan Dimas ke Biak harus tertunda karena pemeriksaan mendadak dan cuaca mendung. Badan klimatologi yang bekerja untuk TNI Angkata Udara menyarankan untuk mendelay satu setengah jam penerbangannya. Sebab, jet tempur yang bakal dikemudikan Letnan Kolonel terbaik itu sulit dikendalikan, serta perlu keahlian khusus untuk dapat menjalankannya. Dimas menyapukan jemarinya di atas badan baja itu, terasa luar biasa. Polesan tangan-tangan dari negeri Paman Sam telah membuat sesuatu yang menakjubkan dalam dunia udara, bagaimana jet ini pernah ikut serta meramaikan perang-perang besar internasional, dan Dimas merasa tersanjung bisa menaikinya menjadi pilot utama. Jet tempur yang menyita perhatian seluruh masyarakat Jayapura. Apache, jenis helikopter tempur super canggih. Seluruh bagian luarnya hitam, sengaja dirancang untuk fungsi militer. Selain dilengkapi radar edisi paling anyar, helikopter buatan Boeing, Amerika Serikat ini juga memiliki sayap kecil di kanan-kirinya untuk mengangkut misil dan roket. Di bagian bawah moncong helikopter terpasang senapan mesin M66. Senjata Hellfire pun terpasang sempurna dalam tubuh helikopter ini, yaitu berupa misil penghancur segala jenis tank. Oleh karena itu, benda ini juga sering disebut sebagai jet tempur anti tank. Hujan tak kunjung turun dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Badan Klimatologi memutuskan bahwa penerbangan sore itu aman. Maka, Dimas Hartanto dengan gesit memakai jaket terbang dan earband untuk melindungi pendengarannya. Sepatu boot hijaunya diganti dengan sepatu tinggi berwarna hitam. Tanpa ragu, pria itu duduk manis di kursi pilot. Sementara di kursi belakang, ada Letnan Dua Yustisius Pare menjadi co-pilotnya. “Ready, Letnan?’ “Aye-aye Letkol, kita orang terbangkanlah mesin ini menuju rumahku.” Lusinan tombol berbagai bentuk dan fungsi terpampang di hampir seluruh bagian kokpit. Tepat di bagian depan sejajar dengan wajah, terdapat sebuah kaca berbentuk kotak kecil. Kotak transparan itu akan berubah menjadi monitor begitu helikopter dinyalakan. Gunanya untuk membantu pengelihatan pilot dan menentukan sasaran tembak. “Letkol, siap?” Danlanud berteriak dari baling-baling yang menggeru. Dimas mengacungkan jempol. Seiring dengan tangannya yang cekatan mengoperasikan tombol-tombol di kokpit, Apache itu bergerak, pelan-pelan meninggalkan hanggar menuju luasnya angkasa. Menyelami udara bebas. Meninggalkan sejuta cerita baru di bumi Jayapura itu, Dimas Hartanto terkekeh sambil berbincang tentang arah dan mata angin dengan Yus. Pikirannya bercabang antara konsentrasi penuh dan kesenangan yang dirasakannya beberapa jam lalu, jikalau menjatuhkan orang bisa dianggap kesenangan. Berapa kali dia memberikan pukulan telak kepada Sanadharta? Dimas tak akan pernah tahu apa yang dilakukan Perwira Tinggi itu di dalam kantornya. Dia takkan tahu pikiran jahat Sanadharta untuk menyusun rencana-rencana busuk selanjutnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD