Jessica kini sedang berada di apartemen Ansel, ia duduk dengan wajah datar, dan menunggu Ansel yang sedang mengemas barang-barangnya. Wanita itu melihat ke arah jendela, pemandangan laut yang luas, dan membuatnya merasa sedikit tenang.
Wanita itu menghela napas, ia kemudian melihat ke arah Ansel yang membawa dua koper besar keluar dari kamar. Entah apa yang Ansel bawa di dalam sana, tetapi Jessica berharap ia tidak dimintai tolong oleh pria itu untuk membantu membawa barang.
Ansel menatap Jessica, ia kemudian mendesah pasrah, dan menghela napasnya kasar. ‘Aku bersama seorang wanita yang tidak mengerti fashion. Oh Tuhan … pantas saja dia tidak memiliki kekasih. Pria di luar sana pasti mengira dia wanita karier yang sudah memiliki seorang suami.’
Jessica yang sadar jika diirinya diperhatikan mau tak mau juga menatap Ansel. “Apa yang sedang kau pikirkan?”
“Bukan urusanmu,” balas Ansel.
Jessica mengangguk, ia kemudian berdiri, dan melangkah ke arah pintu. Ansel yang melihat itu langsung saja beranjak, ia menarik tanga Jessica, dan berhasil membuat wanita itu menghentikan langkahnya.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Jessica.
“Bantu aku membawa koper,” ujar Ansel.
Jessica menatap tak percaya. “Apa kau gila? Aku bahkan sangat malas membawa tubuhku sendiri, dan kau memintaku untuk membawa koper?”
“Ayolah, aku hanya meminta bantuanmu kali ini saja.”
Jessica menghempaskan tangan Ansel. “Siapa yang memintamu membawa barang begitu banyak? Aku bisa membelikanmu pakaian, dan kau bisa tenang akan hal itu.”
Ansel menghela napasnya lagi. “Aku tidak perlu pakaian yang kau pilihkan. Bantu aku, atau kita tidak akan pergi dari sini. Mana yang kau pilih?”
“Tidak mau!”
“Sayang, apa kau tidak ingin sedikit membantuku? Bukankah ini juga demi pasanganmu yang sangat tampan dan sempurna ini?”
Jessica menyeringai, ia kemudian menarik tangan Ansel, dan langsung menyeret pria itu untuk keluar dari apartemen. Ansel yang tak terima segera menarik Jessica sekuat tenaga. Tubuh wanita itu berputar, kacamata yang digunakan Jessica terlepas, dan Ansel langsung memeluk tubuh mungil wanita tersebut.
Jessica merasakan jantungnya bermasalah, ia merasa baru saja selat dari kematian, dan kini ia malah merasa sangat bersyukur karena Ansel menyelamatkannya.
Tapi … rasa lega Jessica tidak bertahan lama, ia kembali ingat jika hal itu terjadi juga karena Ansel yang membuatnya harus mengalami kesialan. Wanita itu segera mendorong Ansel, ia mundur dua langkah, dan merasa kepalanya masih sedikit sakit.
“Apa yang kau lakukan, bodoh!” Jessica menatap Ansel tajam.
“Aku hanya baru saja menyelamatkan kekasihku,” balas Ansel dengan enteng.
“Jika kau tidak cepat maka aku sudah terjatuh dan kepalaku juga pasti akan terluka..”
“Tapi buktinya kau bisa selamat. Itu tidak perlu dibicarakan lagi, ketakutanmu tidak terjadi, dan itu bukanlah sesuatu yang buruk.”
“Kau menyebalkan!”
“Tapi aku sangat tampan!”
Jessica menyerah, ia tidak akan bisa melawan Ansel. Sekarang ia hanya harus tenang, harus bisa melakukan semuanya dengan baik dan juga benar.
Tujuan ia menyewa Ansel agar dia bisa jatuh cinta, tetapi pria itu malah membuat darahnya naik dalam beberapa jam saja.
Ingin membatalkan, tetapi ia juga tak ingin rugi begitu saja.
“Sayang, apa yang kau pikirkan?”
“Aku berpikir membunuhmu, memotong setiap ruas pada tubuhmu, lalu menaburkan hasil dari tubuhmu ke lautan lepas. Ansel yang malang, dia akan mati dengan tragis.”
“Bunuh aku dengan cintamu, dan aku akan membunuhmu dengan cintaku. Bagaimana?”
Jessica mendadak gila, ia tidak tahu jika kalimat itu terdengar begitu menjijikkan. Wanita itu kemudian menghela napas, ia menatap kacamata yang sudah pecah, lalu kembali menatap Ansel.
“Cepat, aku punya banyak naskah yang harus ditangani.”
“’Bantu aku membawa koper.”
Jessica mendelik kesa. “Bawa satu koper dan jangan banyak membantah.”
Ansel tertawa, ia kemudian melangkah pelan, dan merasa teramat sangat senang kala Jessica mundur, hingga tubuh wanita itu tertahan oleh dinding.
Ansel langsung menggunakan tangan kanannya, ia menekan kuat tangan itu pada tembok, dan menyeringai lagi kala melihat Jessica yang gugup.
Setelah Ansel puas memerhatikan wajah Jessica, ia mendekatkan wajahnya, bersiap mencium wanita itu. Namun … sayang sekali. Jessica menunduk, lalu memukul tangan kanannya kuat, dan Ansel yang tak mampu mengendalikan tubuhnya segera mencium tembok.
“Akkkhhh ….” Ansel segera berdiri dengan benar, ia mengelus kepalanya, dan menatap Jessica. ‘Dia kasar sekali. Astaga … biasanya wanita akan diam, mereka juga akan menatap wajah pria yang melakukan hal itu padanya. Alien dari planet mana wanita ini?’
Jessica bersedekap. “Aku baru tahu jika kau sangat suka menciumi tembok.”
Ansel mencoba untuk bersabar, ia kemudian melangkah ke arah kedua kopernya, dan segera membawanya keluar. “Ayo, aku sudah tak tahan lagi bercanda denganmu.”
Jessica yang mendengar ucapan pria itu hanya mengangguk, mereka kemudian segera keluar, dan Jessica cukup terkesan kala melihat otot Ansel kala membawa koper.
‘Dia pas dengan pria yang ingin aku gambarkan di dalam novel. Bagus … ini akan sukses, dan aku akan membuat pria ini menjadi visual. Tentu saja menambahkan hal-hal lain agar dia lebih sempurna dan semakin hidup.’
Ansel yang sudah berada di depan pintu apartemennya menatap Jessica, ia melihat jelas jika wanita itu sedang melamun. Tak bergerak, hanya melihat kelakuan Jessica dengan saksama. ‘Apa semua penulis sering kali melamun seperti dia? Atau … dia memang orang gila?’
Jessica keluar dengan wajah tenang dan damai dari apartemen Ansel, ia kemudian melangkah terus tanpa sadar jika Ansel tidak lagi melangkah bersama dirinya.
Ansel yang melihat kelakuan Jessica dengan cepat menutup dan mengunci apartemennya, ia kemudian menyusul Jessica, membawa kedua kopernya.
“Jessica!” panggilnya.
Jessica tidak juga berhenti, dan ketika Jessica berbelok ke sebelah kanan Ansel berhenti. Ia ingin memerhatikan apa yang terjadi ketika Jessica tersadar.
Jessica yang masih terus melangkah benar-benar tak sadar. Wanita itu menabrak dinding, dan saat itu pula ia sadar.
“Auh … sial sekali!” omel Jessica.
Ansel menatap ke arah lain, ia kemudian bersiul-siul, dan melirik Jessica yang sedang terduduk. Kelihatannya wanita itu memang sedang terkena nasib yang malang, dan maafkan dirinya yang ingin tertawa sepuasnya karena ulah Jessica.
Jessica kembali berdiri, ia mengelus hidungnya, dan menatap ke arah Ansel. “Kenapa kau tidak memperingatkanku?”
“Aku sudah memanggil namamu, dan kau sama sekali tidak mendengar.
Jessica membuang muka, ia kemudian langsung menuju ke arah lift, dan Ansel juga menyusul.
Ketika mereka sudah sampai di lift dan masuk, Ansel yang baru saja ingin menekan tombol angka satu langsung kaget karena Jessica lebih dulu melakukannya.
Tapi … kenapa wanita itu menekan angka delapan?
“Bukankah kita akan turun ke lantai satu?” tanya Ansel.
Jessica menatap. “Apartemenku di lantai delapan,” balas Jessica santai.
‘Wanita sialan ini!’ Ansel tersenyum.
“Ada apa?” tanya Jessica.
“Kenapa kau tidak mengatakannya sejak tadi?”
“Karena kau tidak menanyakannya,” jawab wanita itu.
‘Kami hanya berbeda empat lantai. Oh Tuhan ... kenapa aku sangat ingin berteriak?’ Ansel menelan bulat-bulat kekesalannya. Ia harus melayani wanita itu dengan baik, jangan sampai lepas kendali.