5

1452 Words
Hari ini Martini memasak lauk istimewa untuk menyambut kedatangan anaknya. Dia memakai uang tabungan sisa belanja harian untuk membeli setengah kilo ayam kampung dan beberapa lauk untuk di buat ayam penyet kesukaan Arsjad, putra kesayangannya. Arsjad sendiri sudah duduk manis di kursi yang terdapat di ruang makan bersama ayahnya.Martini terlihat senang karena putra kesayangannya yang ganteng dan pintar sudah berada di rumah. Martini baru saja selesai mengulek sambal terasi dan menata piring di atas meja makan, ketika mertuanya datang membawa seorang gadis yang penampilannya acak-acakan. Mirip korban bully geng cabe-cabean SMA. Gadis itu masih menunduk sambil memegangi lengan keriput mertuanya. Pelan-pelan ia mengangkat kepalanya mengangguk dan tersenyum canggung ke arah Martini dan Ubay. Gadis itu mengurungkan niatnya untuk duduk ketika melihat Arsjad yang baru keluar dari kamar mandi. "Hah... elo...akhirnya ketemu juga! Dasar kampret emang elo!...kurang ajar!" Dengan membabi buta dia memukul Arsjad yang terlihat kewalahan akibat serangan yang tiba-tiba. Martini yang melihat anaknya dianiaya langsung pasang badan. "Eh apa-apaan ini, ngapain kamu mukul anak saya. Minggir...minggir. Dasar bocah edyyaaan!" Nazar dan Ubay menarik tangan gadis yang terus meronta dan menendang-nendang. "Caca...berhenti kata kakek!" "Gara-gara dia tuh, Kek. Caca sampai dikejar-kejar orang, di katain orang gila sampai  dilempari botol!" Marsha mengadu kepada Nazar. Pupil matanya membesar ketika melihat Arsjad yang salah tingkah. Setelah dari rumah sakit, Marsha memutuskan untuk pergi kerumah kakek Nazar. Dia bertemu dengan Arsjad di terminal, ketika dia hendak bertanya letak rumah Kakek. Tiba-tiba Arsjad berlari sambil berteriak orang gilaa. Orang-orang yang berada di terminal mengejarnya dan melemparinya dengan botol bekas. Beruntung dia bertemu kakek Nazar yang menjelaskan ke orang-orang kalau Marsha adalah cucunya, bukan orang gila. "Eh jangan salahin gue, baju lo aja kaya gitu. Wajar kalau orang pada ngira lo orang gila." Arsjad berusaha keras menyangkal. "Hah! Ngeles aja lo kaya bajaj...sini lo gue gibeng!" Caca mulai menyingsingkan lengan kebayanya. Sedangkan Arsjad makin bersembunyi di belakang ibunya. "Sudah! Gak usah ribut. Tini, kamu bantuin Caca bersihin badan. pinjemin baju kamu dulu!" Perintah Nazar tegas. Selesai mandi, Marsha duduk di meja makan. Ia menghirup udara dalam-dalam. Bau ayam yang baru di goreng dan sambal terasi memenuhi indera penciuman membuat liurnya menetes. Tanpa malu-malu, gadis itu mengambil nasi dan ayam yang sudah tertata di meja. Martini hanya melihat kelakuan gadis itu dengan mata mendelik, sebal. Dan bibir menyot terlihat judes. Bola mata Martini hampir meloncat keluar, ketika melihat Marsha mengambil nasi untuk yang ketiga kalinya. Ya Allah, ini anak temboloknyasegede apa sih, dari tadi gak kenyang-kenyang. Nazar, Ubay dan Arsjad hanya melihat kelakuan gadis itu sambil menggelengkan kepala. Martini memukul tangan Marsha yang terjulur untuk mengambil ayam yang tersisa dua potong, dari yang sebelumnya lima potong. Padahal orang yang berada di situ belum ada yang makan kecuali dirinya. "Aduuuh, kenapa sih, Bik? Orang lagi makan gak boleh dipukul. Pamali." Gerutunya dengan bibir cemberut. Selesai makan, Marsha mengusap-usap perutnya yang sedikit membuncit. Gadis manja itu bersendawa keras, Arsjad melihat tinggkah gadis itu dengan jijik. "Bik masakannya enak banget lho. Apalagi sambelnya. Mantaff!" Marsha mengacungkan jempolnya memuji masakan Martini. "Sayang, ayamnya bukan yang tulang lunak. Padahal lebih enak tuh ayam tulang lunak." Selesai mencuci tangan Marsha membaui tangannya. Merasa belum bersih ia kembali membersihkan tangan yang masih bau. "Eh, kamu tuh manusia apa jelmaan jin sih? Masa makan sebanyak ini habis sendirian!" Martini merapikan piring sambil menggerutu kesal. Siapa yang gak kesal coba? Masakan yang ia siapkan untuk anak kesayangannya, sudah berpindah ke perut gadis yang urat malunya sudah dijual ke orang solo untuk dijadikan baso. "Uluuuhhh, Bibi bisa aja. Yakali jin tampangnya imut, kulitnya bersih terawat kaya gini. Setau Caca mah, jin kulitnya biru, badannya bulet." "Terserah kamu lah, mau warna biru, warna kuning, merah atau ungu mah, bebas. Terserah! Cuma kamu itu tau diri dong, makan kok gak inget orang. Emang di sini yang punya perut kamu aja!" "Namanya rejeki, Bik. Pamali kalau ditolak. Lagian nih yaa kalau nolong orang yang abis kena musibah kaya Caca, amal ibadahnya dilipat gandakan, pahalanya setara dengan puasa senen kemis selama empat puluh hari." Ujar Marsha tanpa rasa bersalah. "Kata siapa kamu?" Tanya Martini sangsi. "Lahh kata Caca barusan. Gimana sih?" Jawab gadis itu cuek. Ketiga orang dalam ruangan itu menahan senyumnya . Hanya Martini yang memasang wajah masam. Demi bulu ketek Eva Arnaz yang melegenda. Selama ini Martini memang cerewet, tetapi kali ini dia benar-benar merasa kewalahan menghadapi Marsha. **** Selesai makan Marsha merasa mengantuk. Dengan tidak rela, Martini memberikan kunci kamar yang sudah susah payah ia persiapkan untuk Arsjad. Di dalam kamar, Marsha hanya memandangi cincin pertunangannya. "Sha, nanti kita nikah pas umur kamu dua puluh ya. Umur aku dua puluh empat.Nanti kalau punya anak lucu kali yaa kaya kakak adek." "Iiihhh apaan sih, masih lama kali. Udah mikir anak aja." "Tiga tahun sebentar kali, Sha. Gak terasa." "Emang temen kuliah kamu gak ada yang cakep? Masa mau sama aku masih sekolah," "Yang cakep banyak, tapi hati aku bergetarnya cuma sama kamu. Gimanadong?" "Alah... gombal!" "Aku beneran cinta sama kamu, Sha. Aku gak bisa jauh dari kamu. Pokoknyasampai kapanpun aku setia sama kamu. Gak ninggalin kamu. Janji!" Marsha meremas cincin palladium yang bertahtahkan berlian kecil. "Dasar lanang mulut lamis. Janji...janji mana janji lo! Cuma gara-gara warisan elo tega buang gue! Brengsek...sialan!" Setelah mengumpat, Marsha mencoba memejamkan matanya yang terasa berat. Namun dia kembali terjaga dua jam kemudian. Dengan mengendap-endap Marsha keluar dari rumah yang sudah terlihat sepi sambil membawa pisau. Arsjad yang diam-diam mengikuti Marsha menarik pergelangan tangan gadis itu. "Mau kemana, Lo?" "Lepasin!" "Gue gak akan lepasin sebelum elo bilang, mau kemana?!" "Gak usah kepo!" Marsha menendang s**********n Arsjad membuat pria itu memenjerit. Sambil tertatih, Arsjad mengikuti Marsha yang kini sudah berhenti di sebuah rumah berpagar tinggi setelah hampir dua jam mereka berjalan. "Barry...Barry... keluar gak lo!" "Baaaar...Barry... jangan kaya banci lo!" Marsha benar-benar membuat gaduh di komplek perumahan elit tersebut. Ia memukul-mukul pagar dengan berisik. Tidak berapa lama pintu pagar terbuka dan keluarlah Merry dengan muka antagonis. "Heh! Ku naon? Ngapain kamu, awewe malam-malam teriak-teriak gak karuan di sini? Gak punya malu pisan!" "Tan, Caca mau ketemu Barry. Suruh Barry keluar, Tan. Ada yang mau Caca omongin." Merry menepis tangan Caca yang memegang bajunya. Ia menatap gadis itu dengan tatapan menusuk penuh kebencian. "Udah...udah, kamu teh go away aja. Barry is not here yess. Sudah pergi. Tante ungsikan biar gak diganggu jurig modelan kamu. Dont cry enimor. Percuma kamu mau crai crai sampai airmata kering. Tante gak kasih ijin kamu ketemu Barry. Lepel kalian udah beda." "Tante Merry kok gitu, bukannya dulu tante bilang kalau aku gadis yang cantik, lembut paling pantas buat jadi istri Barry, jadi menantu Tante." Ucap Marsha dengan memelas. Merry sama sekali tidak tergerak hatinya melihat gadis yang sudah berurai air mata. Dengan kasar wanita itu mendorong Marsha dan menyuruhnya pergi. Setelah Merry masuk, Marsha terduduk sambil menekukkan kedua kaki dan menenggelamkan wajahnya di sana. "Cowok b******k! Banci, kurap, sialaan." Marsha terus mengumpat dengan kata-kata yang tidak senonoh. Arsjad melihat Marsha dengan tatapan kasihan. Langkah kaki membawanya mendekat dengan gadis itu. Dengan ragu ia melingkarkan tangannya ke pundak Marsha dan membimbimg gadis itu berdiri. "Udah dong, Ca. Jangan nangis terus. Percaya deh balasan dari Tuhan itu pelan tapi pasti. Jadi serahkan aja semua sama Tuhan." Arsjad memberi nasihat untuk Marsha yang di tanggapi gadis itu dengan sinis. "Ya iyalah pembalasan Tuhan pelan. Kalau mau cepet mah santet!" "Ya makanya elo sabar." Ujar Arsjad yang mulai tidak sabar. Marsha sibuk mengutak-atik ponselnya, membuat Arsjad melongok penasaran. "Gak ada," kata Marsha tiba-tiba. "Apaan?" "Olshop yang jual sabar. Kan elo yang nyuruh gue sabar! Gampang emang nyuruh sabar, karena elo belum pernah ngalamin kaya gue." Kata Marsha ketika melihat Arsjad melotot. "Dasar bego. Lo kira gue gak pernah patah hati? Gue baru aja ngalamin kemarin, bayangin delapan tahun gue suka sama dia, dia gak suka gue. Tapi gue gak gila kaya elo." Marsha terdiam mendengar ucapan Arsjad. Bahunya kini semakin lunglai. Arsjad mengulurkan tangannya, tidak ada respon dari Marsha ia berinisiatif menggandeng tangan gadis itu mengajaknya pulang. Ketika sampai di depan convenient store yang buka 24 jam. Marsha menghentikan langkahnya. Dia meminta uang dengan cara memaksa kepada Arsjad. kini mereka duduk didepan toko tersebut dengan beberapa kaleng Heinekendan dua bungkus kuaci. Ckrek "Minum" Marsha menyodorkan sekaleng Heineken yang sudah ia buka. Karena Arsjad menolak dia meminum minuman itu sendiri. Trak! Marsha meletakkan kaleng birnya di atas meja. Ia menyeka mulutnya. "Masa gara-gara keluarga bangkrut, Barry ninggalin gue. Dasar kebangetan! Elo tau gak, Barry sama keluarganya udah kaya monyet yang lupa sama kacang. Dulu waktu susah kakek yang bantu. Sekarang, lo liat sendiri kelakuan mereka!" Marsha mulai mengeluarkan unek-uneknya. Arsjad hanya menggigit-gigit kulit kuaci dan mengambil isinya untuk di berikan kepada Marsha. Marsha yang merasa lelah secara fisik dan mental menghela napas lalu memejamkan matanya. Seketika itu juga, muncul bayangan Barry yang tertawa puas. Gadis itu kembali meminum birnya yang ke 3. Semakin malam ocehannya semakin tidak karuan. "Ca, pulang yuk. Nanti kalau kakek tau bisa ngamuk lho." Arsjad yang sudah mengantuk membujuk Marsha agar mau pulang bersamanya. Marsha yang keras kepala tidak menghirukan permintaan Arsjad, gadis itu malah mengusir Arsjad dan menyuruhnya pulang duluan. "Serah lo deh. Gue mau pulang duluan!" Selepas perginya Arsjad, Marsha makin menjadi ia meminum semua birnya. Arsjad yang tidak tau jalan pulang akhirnya memutar langkahnya dan kembali ketempat Marsha yang sudah teler. "Dasar cewek bego. Labil. Bikin susah gue aja lo, tau gini gue gak ngikutin dia. Dasar sial!" Geramnya. Arsjad memapah tubuh  Marsha yang mungil tapi berat dan membawanya ke hotel terdekat. Sampai di kamar Marsha muntah dan mengotori baju mereka berdua. "Iyuuwww, cewek jorok. Awas lo besok pagi gak mau bersihin. Gue loakin lo!" Omelnya kepada Marsha yang sudah nyenyak. Arsjad melepas semua bajunya dengan jijik. Melihat baju Marsha yang juga kotor ia membuka baju gadis itu kemudiam menutupi tubuhnya dengan selimut. Pria yang sangat lelah itu, ikut merebahkan dirinya di samping Marsha. Tidak menunggu lama, ia terbang ke alam mimpi. Mimpi yang membuatnya malas bangun keesokan hari.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD