Matahari musim panas yang memanaskan jalanan aspal itu belum tenggelam dan masih berkuasa memancarkan sinarnya. Namun, bayangan malam jelas akan segera mengambil alih dan menutupi bumi.
Setelah menyelesaikan pekerjaan, Arsjad segera kembali ke flatnya. Hari ini adalah hari terakhir ia bekerja sebelum kembali ke Jakarta besok malam. Sudah delapan tahun, Arsjad Bian Mahendra meninggalkan negaranya.
Pria itu bukan berasal dari keluarga kaya, juga bukan seorang anak yang pintar sampai mendapatkan beasiswa. Dia bisa meneruskan sekolah hingga bekerja di Australia lebih karena keberuntungan. Seandainyanya tidak ada Lahuddin Attar, majikan kakeknya yang mau membiayai sekolah. Mungkin sekarang Arsjad sedang bergumul dengan oli bersama ayahnya yang memiliki bengkel kecil.
Akhirnya tugas membereskan barang yang tersisa di flatnya selesai juga. Arsjad melemparkan tubuhnya ke sofa, lalu ia memakai headset milik teman serumahnya. Ia menggerakan badannya ke kiri dan ke kanan sambil berlagak bermain gitar sambil mengentak-entakkan kakinya. Tiba-tiba...
"Biaaaaannnnn!"
Arsjad menolehkan kepalanya dengan terkejut. Saat itu ia melihat Gemma, rekan kerjanya di hotel, sudah mencabut kabel yang menghubungkan headsetnya dengan perangkat audio. Arsjad berpura-pura batuk untuk menutupi malunya.
"Ah, kaget gue, Gem. Ngapain lo?"
"Gue mau ngasih ini, tadi ketinggalan di meja elo!" Gemma menyerahkan kotak berisi cincin berukirkan bunga yang telah ia siapkan untuk melamar wanita pujaannya.
"Thank's ya, Gemma. Gue gak tau kalau ini ketinggalan. Untung ada elo."
Gemma mengacungkan ibu jarinya. Setelah itu dia berlalu menuju flatnya.
Arsjad memandang cincin yang berada ditangannya. Dia sudah tidak sabar untuk menemui gadis itu. Delapan tahun yang lalu ia merasa tidak percaya diri untuk menyatakan perasaannya karena dia bukan siapa-siapa. Hanya cucu dari seorang sopir, sedangkan wanita itu cucu dari salah satu pengusaha terkenal, tapi sekarang dia merasa yakin karena dia sekarang sudah berubah baik dari segi fisik atau finansial.
****
Di sebuah rumah besar yang terlihat sederhana, Nazar sedang berbicara dengan Ubay, putranya. Mereka sedang merencanakan untuk merenovasi satu kamar yang paling besar untuk di sewakan supaya mendapatkan uang tambahan.
Dulu Nazar bekerja sebagai sopir pribadi Lahuddin Attar, seorang pengusaha kaya di Bekasi. Setelah Lahuddin meninggal, ia bekerja sebagai sopir pribadi Burhan, pewaris kekayaan Lahuddin, tapi dia dipecat karena Burhan yang tidak menyukainya.
Sekarang ia membuka bengkel kecil dari modal yang pernah di berikan oleh Lahuddin. Nazar tinggal bersama anak laki-laki dan menantunya, Martini yang bertugas mengatur keuangan keluarga.
Sementara Nazar berencana ingin menyewakan kamar kosong di rumahnya. Martini sibuk merapikan kamar tersebut dan mengisinya dengan beberapa perabot baru secara diam-diam. Ia berencana memberikan kamar yang lebih layak untuk putranya yang lusa akan tiba di Jakarta.
Martini melakukan semua itu tanpa sepengetahuan mertuanya. Karena kalau sampai Nazar tau, dia yakin pria tua yang lebih irit dari paman Gober itu pasti akan melarang dan memarahinya. Martini juga tidak mengerti kenapa mertuanya itu memiliki hobi berhemat. Padahal perekonomian mereka termasuk lumayan.
Bayangkan saja, untuk makan. Lauk paling mewah hanya telur sisanya tahu atau tempe. Makan daging hanya setiap lebaran haji atau setiap datang ke acara kondangan, itupun jarang. Karena dia lebih sering dapat zonk ketika kondangan, dikiranya rendang daging tapi pas digigit ternyata nangka. Boro-boro Fitsa Hats yang sekarang sedang hits, melihat wujud Pizza Hut secara langsung saja dia belum pernah.
Martini benar-benar berharap, kepulangan putranya membawa angin segar. Setidaknya ia bisa membeli baju bagus secara cash, tidak kredit sehari seribu yang ketika kreditannya lunas, bajunya sudah jadi kain lap kompor.
Selesai merapikan kamar, Martini menguncinya kembali. Setelah itu ia bersiap masak tumis kangkung untuk makan malam.
****
Arsjad merasa sangat pusing seperti menenggak alkohol 80%. Perutnya terasa seperti sedang diaduk-aduk sementara kakinya sangat lemas. Ia merasa usus - usus dalam perutnya sedang berolahraga hingga membuatnya mual. Inilah yang paling ia benci kalau naik pesawat. Dia merasa dirinya akan mati seketika jika masuk dalam pesawat.
Sebelumnya Arsjad belum pernah naik pesawat. Pengalaman pertamanya ketika ia berangkat dari Jakarta menuju Sydney sangat menyeramkan. Saat itu cuaca sangat buruk, hujan sangat deras, bahkan kilat dan petir ikut muncul. Seharusnya orang tidak bepergian di cuaca seperti itu.
"Excuse me," bisik Arsjad kepada pramugari yang berjalan melewatinya.
"Ada yang bisa dibantu?" Pramugari itu membungkukkan badan dengan sopan ke arah Arsjad.
"Pesawat ini sedang terbang, kan?"
"Maaf...apa?" Tanya pramugari dengan bingung.
"Bisa kau bilang ke siapapun yang mengendarai pesawat ini agar menambahkan kecepatan supaya cepat sampai?"
"Maaf...maksudnya?"
"Ah, sudah lupakan. Thank you." Arsjad menghela napas panjang sambil mengibaskan tangannya. Pramugari itu tersenyum dengan canggung sebelum menghilang.
Arsjad mencoba memejamkan matanya, baru beberapa menit dia sudah bermimpi kalau pesawat yang ia tumpangi jatuh membuat laki-laki itu berteriak ketakutan.
"Excuse me," Arsjad mengangkat tangannya untuk memanggil seorang pramugari yang sedang lewat. Saat ia menengadahkan kepalanya, ia melihat pramugari yang tadi. Cara pramugari itu menatapnya sangat tidak biasa. Apa dia sudah menganggapku gila? Jangan-jangan dia sudah menunggu pertanyaan aneh apa lagi yang aku kasih.
"Ada aspirin?" Tanya Arsjad dengan keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya.
"Ditunggu sebentar, saya ambilkan." Pramugari itu tersenyum sambil menegakkan pinggang yang tadi ia bungkukkan.
Tidak lama kemudian,pramugari itu kembali dengan dua butir aspirin dan segelas air. Arsjad meminum dua butir obat itu sekaligus. Nah sekarang ayo tidur.. tidur.
Arsjad memejamkan matanya, mencoba menghitung domba dalam kepalanya. Tapi lagi-lagi bayangan buruk tentang jatuhnya pesawat kembali datang. Dia tidak bisa membayangkan jasadnya menghilang dikedalaman laut, kemudian dimakan ikan hiu.
Arsjad mengusap-usap wajahnya dengan kesal, tulang belakangnya terasa kaku. Kepalanya terasa kosong. Dia baru berada dalam pesawat itu baru tiga jam, tetapi ia sudah merasakan ketakutan sampai ke tulang-tulangnya.
Arsjad memanggil pramugari dengan suara yang terdengar seperti rintihan.
"Excuse me,"
"Iya, bisa saya bantu?"
Sialan! Pesawat sebagus ini pramugarinya cuma satu yaa?
Pramugari yang sejak tadi melayani Arsjad kini terlihat lagi. Ia sedang membungkukkan badannya ke arah Arsjad sambil tersenyum ramah. Arsjad takut di lempar keluar jika ia membuat repot pramugari itu lagi.
"Minuman alkohol yang kadarnya tertinggi di sini apa?"
Tentu saja pramugari itu bilang okey saat Arsjad cari mati dengan meminta minuman beralkohol saat sedang berada di pesawat, padahal dia baru minum dua butir aspirin, yang artinyaa sama saja dia dengan bunuh diri. Namun, itu adalah pilihan terbaik dari pada tinju pramugari itu.
****