3

1274 Words
"Marshaa... banguuuun!!!!" Dini berteriak di depan kamar anak gadisnya tepat jam empat pagi. "Marshaaaaa... bangun!" Kali ini Dini menggedor pintu kamar anaknya. "Astaganagadragon! Demi bibir keriting ayah Ojak. Mama gak bisa bener sih liat orang tenang. Gak tau apa gue baru tidur jam dua belas tadi!" Marsha menggerutu, kemudian memejamkan matanya lagi. "Marshaa...ya ampun anak ini, tidur bener-bener gak pake aturan. Bangun gak!" Dini berhasil masuk ke kamar Marsha dengan kunci cadangan, menarik selimut dan melemparkannya ke lantai. Marsha berusaha mengabaikan teriakan mamanya. Dia mengetatkan pelukannya ke guling. Dini segera menarik guling yang dipeluk Marsha. "Banguuuuunnnn!" "Mama berisik ih! Masih pagi juga!" "Bangun... kalau enggak mama siram nih. Buruan kamu kan hari ini nikah. Kalau gak bangun nyesel lho!" Mendengar kata nikah, Marsha langsung terduduk di kasurnya. Sial! Kenapa gue bisa lupa sih kalau acaranya hari ini. Marsha memegang kepalanya yang mendadak sakit. Hari ini dia harus menikah, pernikahan yang belum ia inginkan dalam waktu dekat ini. Marsha menikah bukan karena perjodohan. Karena pada kenyataannya ia sudah pacaran dengan Barry sejak lima tahun yang lalu. Pernikahan ini terjadi karena alasan yang menurutnya konyol. Karena orangtuanya dan orangtua Barry mendengar ketika ia bertanya tentang gerakan maju mundur. Dan tololnya ia memaksa Barry mempraktekkan gerakan itu. Tetapi Marsha sangat yakin ada alasan lain dibalik itu. "Eh malah bengong. Sana mandi jam setengah enam nanti tukang riasnya dateng!" Omel Dini. Marsha melirik jam yang di dinding kamarnya. Hah! Masih jam setengah lima?! Ckk... Kebangetan ini emak "My Gauuss! Mama yang bener dong. Tukang rias masih satu jam lagi datengnya, tapi jam segini udah di udak-udak. Gak bisa banget liat anaknya tenang. Udah ah, aku mau tidur lagi!" Gerutunya pelan. Dini mendelik dia terlihat kesal dengan sikap anak gadisnya yang tidak tahu sopan santun. "Sha, kalau mau tenang sana tidur di kuburan. Nanti mama kirim doa biar makin tenang!" "Duh, Nyai!" Refleks Marsha mengetukkan tangannya ke kepala sebanyak tiga kali. "Amit-amit, doanya jelek banget. Orang masih doyan nasi di suruh cepet mati." Dini tidak berkata apa-apa. Dengan sadis ia mendorong Marsha ke kamar mandi kemudian mengguyur kepala putrinya yang masih memakai pakaian tidur. "Maamaaaa... dingiiiin!" Pekik Marsha dari dalam kamar mandi. ***** Marsha sudah selesai di rias. Wajahnya terlihat cantik dengan riasan sederhana yang menonjolkan bentuk matanya yang indah. Bibirnya yang kecil dan berisi di pulas lipstik warna merah darah, mirip kuntilanak yang habis minum darah. Terlihat kontras dengan kebayanya yang berwarna putih bersih. Paes Ageng di dahinya semakin memancarkan aura pengantin. Wajahnya benar-benar terlihat berbeda. Manglingi, kalau orang Jawa bilang.  Marsha memandang wajahnya dari cermin. Dia bertanya-tanya kenapa papanya ngotot menyuruhnya menikah dan mengadakan pesta pernikahan dengan mendadak. Padahal dia masih mempunyai dua orang kakak yang cukup umur dan masih jomblo. Parahnya lagi, mereka berdua tidak datang di hari bahagianya. Kakaknya yang pertama masih kuliah di luar negeri, sedangkan kakak keduanya ada jadwal operasi hari ini. Terdengar suara ramai dari bawah, yang artinya keluarga Barry sudah datang. Sesuai kesepakatan, akad nikah memang diadakan di rumah agar lebih khidmat. Setelah akad mereka akan ke hotel untuk mengadakan resepsi. Marsha semakin gugup. Dia berjalan mondar-mandir dalam kamarnya. Suara pintu yang dibuka mengejutkan gadis itu. Dini muncul dengan senyum berjuta wattnya. "Duh, kamu cantik banget, Sha. Barry pasti klepek-klepek kalau liat kamu." Dini membantu putrinya menuruni tangga. Kemudian ia mendudukkan Marsha di sebelah Barry yang terlihat gugup dan berkomat-kamit sejak tadi. Marsha mengedarkan pandangannya. Burhan, papanya duduk di depan sebelah penghulu. Pria paruh baya itu terlihat gelisah sambil matanya melihat ke arah Aidil, calon besannya yang sibuk menelepon dengan raut wajah yang terlihat seram. Burhan kemudian menjabat tangan Barry. Setelah membaca Basmalah, ia bersiap mengucapkan kalimat akad. "Ananda, Barry Wiryawan bin Aidil sakti. Saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan anak saya Marsha Ayunda, dengan emas kawin seperangkat alat sholat dan perhiasan seberat..." "Tunggu!" Tiba-tiba Aidil menyela upacara sakral tersebut. Membuat seluruh orang yang berada di ruangan tersebut terkejut. Terutama Burhan yang terlihat semakin resah. "Saya mau pernikahan ini batal! Ayo kita pulang." "Apa?! Yang benar aja, Om. Kalian yang nyuruh kami nikah buru-buru. Pas udah hari H minta dibatalin. Ini nikah lho, Om. Bukan pesen barang di Olshop yang kalau gak jadi beli ganti PP sama user Line!" Protes Marsha. Aidil menatapnya dengan geram dan kesal melihat sikap Marsha yang tidak sopan. Sementara itu, Marsha balas menatapnya tajam seolah menantangnya. "Marsha, bukan Om yang minta pernikahan kalian dipercepat. Tapi papa kamu, agar bisa menyelamatkan perusahaan yang sahamnya tidak berharga, dan utang yang numpuk. Paham?!" Seruan kaget langsung terdengar dari seluruh penjuru ruangan, yang sebagian besar keluarga dan rekan bisnis Burhan. "Maksud, Om Aidil..." "Maksud, Om. Kalian sudah bangkrut... miskin. Beruntung Om tau sebelum tanda tangan surat merger perusahaan. Kalau sudah tandatangan, gak kebayang berapa kerugian yang harus Om tanggung!" Aidil berkata dengan nada datar dan tenang, namun perkataannya terdengar tajam dan menusuk. "Pa, emang yang dibilang Om Aidil bener? Kita bangkrut, dan papa mau jual aku ke mereka?" Marsha menoleh ke arah Burhan Mendengar pertanyaan anaknya yang terlihat sangat shock, Burhan hanya bisa memalingkan wajahnya. Barry berdehem, meminta perhatian Ayah dan calon istrinya. "Menurut Barry itu gak masalah. Barry akan tetap nikah sama Marsha, harta bisa bisa dicari, Pa. Tapi wanita kaya Marsha itu jarang." Darah Marsha berdesir mendengar ucapan Barry, dia sangat terharu dengan rasa cinta Barry yang begitu besar terhadapnya. Keduanya saling menatap dengan mata bersinar penuh dengan cinta. Melupakan fakta, kalau cinta tidak bisa membuat cacing dalam perut bersorak kekenyangan. "Papa gak setuju! Jangan harap kamu akan dapat restu kalau tetap maksa nikah sama anak dari Burhan!" Barry menatap ayahnya tajam. Dia sudah lelah selalu didikte oleh ayahnya selama dua puluh lima tahun, pria itu merasa sudah saatnya dia mengambil keputusan untuk masa depannya. " Terserah Papa. Tapi keputusan Barry tetap sama, Kami tetap menikah dengan atau tanpa persetujuan kalian!" Barry menggenggam tangan Marsha, membawa gadis itu keluar menuju mobilnya. "Eh kita mau kemana, Bar?" Tanya Marsha ketika Barry menyalakan sedan mewah dan membawanya pergi dari rumahnya di komplek Grand wisata. Barry membelai pipi gadisnya dengan tangan kiri. Di bibirnya tercetak senyum yang menggoda iman. "Aku akan bawa kamu ke tempat dimana kita bisa bahagia. Berdua." Barry menghentikan mobilnya di sebuah rest area. Mata Marsha berkaca-kaca. Kata-kata Barry begitu manis, membuatnya merasa sebagai wanita yang paling bahagia dengan limpahan cinta yang begitu besar dari prianya. "Tapi Bar, orang tua kamu gak setuju. Aku gak mau nanti kita susah karena gak ada restu." Barry menangkup kedua pipi Marsha dengan tangannya. Matanya menatap Marsha lekat. "Aku janji, Sha. Kita akan selalu bahagia berdua. Kita bisa mulai usaha dari nol. Gak usah peduli sama orangtua aku, kita bisa pacaran terus nikah setelah mereka setuju, kalau gak kita bisa nikah kalau sudah tua nanti. Yang penting kita bisa terus bersama. I love you, Marsha Ayunda Attar," "I love you too, Barry Wirawan." Bunyi ponsel Barry menyadarkan keduanya. Barry mengambil ponsel dari saku bajunya dan melihat siapa yang meneleponnya. "Mama, Sha." Ujar Barry kaget. "Angkat aja, Bar. Paling tante nanya kita di mana. Aku yakin mama kamu merestui pernikahan kita." Ucap Marsha yakin, karena Tante Merry baik terhadapnya selama ini. Barry menggeser tombol hijau di ponselnya, dia juga menghidupkan speaker agar Marsha ikut mendenger ucapan Merry. "Hallo, Ma." "Pulang sekarang!" "Tapi, Ma." "Gak pake tapi. Kalau kamu gak pulang juga, kami hapus nama kamu dari daftar warisan. Biarin warisan kamu buat ayam kate peliharaan Mang Daus. Tuut..tuut..tuut." Sambungan telepon langsung ditutup oleh Merry tanpa memberi kesempatan anaknya bicara. "Gimana, Bar?" Tanya Marsha khawatir. Barry hanya diam sambil berpikir. Wajahnya terlihat bimbang membuat Marsha kesal. Tiba-tiba, gadis itu turun dari mobil sambil memberi ultimatum kepada Barry. "Barry, masih ingat kan janji kamu tadi? Aku hitung sampai tiga, kasih tau kalau kamu udah ambil keputusan. Satuuuuuuu.... duuuu..." belum selesai Marsha bicara, Barry sudah memotongnya." "Sha. I love you, tapi... aku harus ambil keputusan ini. Aku memang gak bisa hidup tanpa kamu. Tapi tanpa warisan dari orangtua ku, aku bisa mati. Maaf, Marsha." Selesai bicara, Barry tancap gas, meninggalkan Marsha sendiri di jalanan. "BARRY... SIALAAAAAAAAAAANNN!!!!!" ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD