"Kau jahat sekali. Apa kau tak percaya padaku? Kau bisa mengirim email atau semacamnya sehingga tidak membuatku sefrustasi ini!" Kata Gio sedih.
Mia menggemgam tangan Gio lembut membuat getaran getaran kecil menjelajari tubuh Gio.
"Maaf. Kau tahu ini juga sulit bagiku. Aku merasa asing dengan diriku sendiri, semua orang tahu bahwa aku telah mati..." Mia menunduk. Ia mengingat-ngingat lagi masa dimana ia merasa sendiri, Gio yang menyadari kesedihan Mia tak kuasa untuk tak memeluknya.
"Ssstt.. Kau disini sekarang. Jangan sedih lagi ya? Yang terpenting sekarang kau baik-baik saja disini dan satu lagi kalau saja sampai detik ini kau tidak datang. Aku pastikan aku sudah benar-benar gila sekarang." Kata Gio lembut.
Mia melepaskan pelukannya lalu terkekeh pelan.
Menatap Gio yang juga menatapnya.
Setidaknya, pulang tidak seburuk yang Mia pikirkan sebelumnya jika seperti ini.
Tiba-tiba sebuah kecupan kilat mendarat di pipi Mia membuat ia terperanjat kaget.
Gio hanya memberi cengiran kudanya tanpa rasa dosa sedikitpun.
"Gio!!!" Pekik Mia memukul punggung lengan Gio pelan.
"Aku merindukanmu Mia..." bisik Gio membuat Mia merona.
"Aku juga sangat merindukanmu.." Jawab mia lirih.
Mereka berdua tertawa. Lalu Gio terdiam memikirkan sesuatu.
"Mia..." lirih Gio.
“hmm?”
"Aku masih ingin lama lama bersamamu... tapi... selama lima bulan kedepan aku akan berada di Tokyo. Kau tahu aku ini pemegang saham utama perusahaan Ayah. Aku mengurus beberapa kepemilikan dan juga belajar bisnis secara kilat disana..." kata Gio pelan.
Mia tak langsung menjawab.
"Lima bulan kah? Kenapa harus di Tokyo?" Tanya Mia lesu.
Gio tersenyum
"Hey. Hanya lima bulan ya? Bukan sembilan tahun" Sindir Gio.
Mia mendengus kesal. Dia tahu, tapi haruskah saat dia baru saja bertemu dengan Gio?
Gio yang mengerti perasaan Mia langsung mengacak-ngacak rambutnya kasar.
"Baiklah aku usahakan akan pulang secepatnya! Aku akan meminta kepada Ayah untuk tidak study disana. Tapi aku juga harus mengurus sesuatu disana. Mengertilah. Ya? Kau hanya perlu percaya padaku dan tetap tinggal. Jangan pergi lagi." Kata Gio meyakinkan Mia.
"Benarkah?" Tanya Mia tak percaya.
"Ya. Hanya percaya padaku saja" kata Gio sekali lagi. Mereka tampak seperti sepasang kekasih.
"Aku pergi sore ini.”
" tunggu, sore ini?” tanya Mia tak percaya.
Gio mengangguk. "Mia aku tidak tahu kalau kau akan kembali sekarang, dan rencana kepergianku juga sudah dipersiapkan jauh-jauh hari. Aku tidak ingin pergi jika aku bisa, tapi... kau tahu ya... hanya berjanjilah untuk terus mengabariku, jangan pergi lagi ya?”
“kenapa aku harus berjanji? Kau bukan kekasihku.” Cibir Mia.
“kalau begitu, jadi kekasihku ya?”
Mia menggeleng lalu mencubit punggung lengan Gio "in your dream!"
Gio tertawa lepas melihat perubahan muka Mia yang ceria seperti ini, menurutnya itu sangat menggemaskan.
***
Alex tersenyum puas. Tom Clark telah ditetapkan sebagai tahanan. Tapi belum, mendekam ditahanan saja tidak cukup. Ia ingin membuat Tom Clark mati secara perlahan dengan cara sesadis apapun.
Ia kembali menggemgam bingkai foto pria paruh baya itu lagi.
"Ayah.. sebentar lagi ayah..." gumam Alex dengan senyum miringnya.
***
Mia Clark terbangun dari tidurnya karena mendengar suara gaduh dari dalam rumahnya.
Setelah mengantar Gio sore tadi, entah kenapa ia merasa mengantuk hingga tertidur pulas.
Ia keluar kamarnya dengan gontai, melihat jam dinding di kamarnya. Ini pukul sepuluh malam, oh yatuhan kenapa ribut sekali sih?
Tapi... ia tersentak kaget! Astaga! Ada apa ini? Pekiknya dalam hati.
Para pelayannya tengah sibuk membawa koper seperti ingin pergi.
Saat satu pelayannya yang melihat Mia ia langsung menunduk.
"Nona sudah bangun... maaf dengan semua kegaduhan ini. Tapi ini juga mendadak, tadi ada pihak dari kepolisian dan bank menjelaskan bahwa rumah ini telah disita. Tuan Clark telah bangkrut. Kepolisian memberi waktu satu malam pada kami untuk membereskan barang bawaan kami." Jelas pelayan itu.
Mia masih tak mengerti untuk mencerna kata kata pelayan itu. Rumahnya disita? Papanya bangkrut? Bagaimana bisa? Secepat ini? Mia memutar matanya.
"Apa nona belum tahu?" Tanya pelayan itu.
Mia menggeleng, masih tak bersuara.
"Tuan Clark tidak memberi pesan atau perintah apa apa pada kami perihal nona, terakhir hanya untuk menyambut kedatangan anda kemarin. Apa nona juga belum mendapat kabar dari Tuan Clark? Nona akan tinggal dimana setelah ini?" Pelayan ini mulai banyak bertanya. Menatap Mia prihatin.
Mia menggeleng lemah. Kenapa secepat ini? Batinnya
"Aku tidak tahu." Jawabnya pelan.
"Maaf nona. Kami juga kaget dengan berita ini. Tapi Tuan Clark telah sangat baik pada kami. Kami tinggal sebagai pelayan disini selama bertahun tahun. Tuan Clark menggaji kami lebih dari cukup. Jika nona butuh sesuatu katakanlah pada kami." Jelasnya tulus.
Mia tak bisa berkata kata. Lututnya lemas. Bahkan ia belum bertemu papanya.
Tiba tiba suara kegaduhan yang berbeda terdengar dibawah sana.
Mia segera menengoknya.
Empat pria bertubuh besar mencoba masuk secara kasar.
Para pelayannya yang sedang berbenah terlihat ketakutan.
"Itu Dia!" Teriak pria bertubuh besar berkepala botak saat melihat Mia.
Perasaan Mia berubah tak enak.
Ia masih bingung dengan semua ini.
Keempat pria itu mendekati Mia yang terlihat ketakutan.
"Mau apa kalian..." kata Mia bergetar.
"Bawa saja langsung wanita itu" saran pria berkepala botak yang lansung diiyakan oleh ketiga temannya lalu menyeret Mia keluar.
Mia takut. Tubuh rampingnya memberontak tapi itu sia sia.
"Siapa kalian? Dan mau apa? Le-paskan aku!" Teriak mia.
"Jangan banyak bicara! Diam saja kau! Kami hanya menjalankan perintah!" Bentak pria yang menyeret Mia. Wajahnya seperti senior mafia yang membuat Mia semakin takut.
Lalu perintah? Perintah dari siapa?
Mia melihat para pelayan dan satpamnya hanya bisa tertunduk tak bisa apa-apa. Ia dimasukan kedalam mobil secara kasar. Lalu ia melihat rumahnya yang semakin menjauh. Mia masih mencoba meronta tapi tak mengubah apa-apa. Ia diapit oleh dua orang pria bertubuh besar di mobil.
Cobaan apa ini? Batin Mia.
***
Mia terus mencoba memberontak, tapi semua usahanya hanya sia-sia belaka. Tubuhnya diapit oleh dua orang pria berbadan besar. Dia menggeleng lalu memejamkan matanya cepat, ini semua seperti mimpi buruk untuknya. Sore tadi, semuanya masih berjalan normal. Setelah mengantar kepergian Gio, dia pulang lalu tertidu. Ah ya! Ini pasti hanya mimpinya. Mia mencoba membuka matanya secara perlahan, tapi kenyataannya dua orang pria bertato dan berwajah sangar itu masih tetap mengapit tubuh mungilnya.
Mobil ini berhenti disebuah rumah besar bercat putih bergaya klasik. Kesan pertama yang Mia rasakan tentang rumah itu adalah hawa mistis yang melingkupinya.
Mia diseret keluar secara paksa dan kasar untuk keluar dari mobil itu, lengannya berdenyut akibat tangan besar pria itu mencengkramnya keras. Mia sudah tak memikirkan penampilannya, wajahnya lengket karena air mata, tatanan rambutnya sudah tidak beraturan lagi, dan juga pakaiannya yang kusut tak menentu. Dan pastinya semakin Mia mencoba memberontak semakin erat juga cengakraman tangan pria berwajah mafia itu di lengannya. Mereka membawa masuk Mia kedalam rumah mewah ini, dia tak terlalu memperhatikan dalam rumah ini karena sudah jelas terlihat mewah. Hanya saja... Terasa mencekam.
"Tuan, kami sudah membawanya." Kata pria berkepala botak kepada seorang pria yang tengah berdiri dengan posisi memunggungi Mia.
"Bagus. Kalian boleh pergi" katanya dengan suara yang... Mia tak bisa mendeksripsikannya.
Empat pria itu mengangguk kompak, dan dua diantaranya yang sedari tadi mencengkram kedua lengan Mia kasar melepaskan cengkramannya sehingga tubuh Mia yang belum siap terjatuh ke lantai, dia menggunakan kedua lengannya yang bergetar untuk menahan tubuhnya.
Terdengar suara pintu yang ditutup, hingga akhirnya Mia memberanikan mengadahkan wajahnya untuk menatap pria yang tadi memunggunginya. Pria itu bisa saja jadi kunci dari semua kekacauan ini, pria itu berbalik secara perlahan. Dia menatap Mia tanpa ekspresi, sesaat menyelidik dengan tajam ke arah Mia.
Mia terpesona untuk beberapa saat, pria itu terlihat matang dan berkelas walaupun hanya memakai sweater dan celana jeansnya. Dan iris mata abunya yang paling terlihat mencolok menatap tajam ke arahnya sekarang. Dia tampan tentu saja, tapi saat pria itu menyeringai miring padanya, Mia lekas tersadar. Pria jahat! Tentu saja dia pria jahat!
"Malam, Clark." Katanya dengan suara yang amat tenang, sambil mendekat ke arah Mia.
Mia menatap pria itu takut, tubuhnya yang sudah bergetar semakin bergetar. Dia masih bertahan dengan pertahanan lengannya yang menopang tubuhnya.
"Si-siapa kau?."
Tapi pria itu sepertinya tidak mempedulikan respon Mia yang menatapnya ketakutan, dia lalu berjongkok agar tubuhnya sejajar dengan Mia, dan tanpa rasa canggung telunjuknya mengankat dagu Mia agar pandangan matanya tertuju ke arahnya.
"kau baik-baik saja ya?" katanya dengan ekspresi yang tak bisa Mia artikan.
Baik-baik saja? Mia tak habis pikir apa warna abu dari matanya telah menutupi pandangannya? Lihatlah Mia sekarang, apa itu bisa dikatakan baik-baik saja?
“apa maksudmu?”
Dia mengerutkan keningnya sesaat seperti berwajah sendu. Tapi itu tidak lama, sehingga Mia tidak yakin bahwa tadi pria ini berekspresi sendu.
“kau tidak pernah mati, kabar itu, kabar kematianmu memang cepat menyebar ya. Tapi siapa sangka bahwa ternyata kau baik-baik saja selama ini?” kali ini Mia bisa melihat sinar kemarahan dari matanya membuat Mia mengernyit bingung, ia lalu menepis lengan pria itu yang masih mengangkat dagunya.
“apa maumu?” tanya Mia keras.
“kau pasti sudah tahu tentang kebangkrutan ayahmu. Dia terlilit banyak hutang, lalu dia menjualku padamu untuk menutupi salah satu hutangnya. Jadi mulai sekarang, kau tidak akan bisa lari dariku Mia Clark.” Kata Alex dengan senyum miringnya.
Apa? Apa katanya tadi? Papa menjualnya pada pria gilla ini? Perkataannya seperti benturan keras yang semakin menyurutkan pertahanannya. Apa-apaan semua ini?
"Tidak. Tidak ini hanya mimpi buruk. Bangunlah Mia bangun..." katanya menggumam lemah meyakinkan dirinya sendiri.
Pria itu malah tersenyum miring lalu mendekatkan wajahnya dan tanpa terduga melumat bibir Mia membuat wanita itu melotot kaget. Lalu setelah itu dengan sengaja dia menggigit bibir bawah Mia keras.
"Auw!" pekik Mia.
Mia tersadar dan dengan reflek langsung menampar pria itu keras, sangat keras membuat pria itu terhuyung kebelakang karena tidak mempunyai pertahanan walaupun Mia tahu dia lebih kuat darinya.
Pria itu sedikit meringis lalu membelai pipinya yang terkena tamparan.
“kau boleh juga.” Katanya menatap Mia tak percaya.
"ciuman tadi, terasa nyata kan? Kau sedang tidak bermimpi Clark" Katanya lagi enteng.
Lalu menepuk tangannya dan dua orang yang seperti pelayan datang.
"Bawa wanita ini kekamarnya." Perintah pria itu yang segera dilaksanakan dua pelayan itu, mereka langsung mendekati Mia dan membantunya untuk berdiri.
Mia sudah merasa lemas sehingga tidak banyak bertanya lagi, dan mengikuti kemana pelayan itu membawanya tanpa pemberontakan.
Mia dibawa kesebuah kamar berukuran besar. Luas namun, design kamar ini sangat polos. Cat putih, lantai marmer putih, seprei putih, sofa polos berwarna putih tua dan sebuah lemari besar bewarna cream hampir putih bahkan tirai di kamar ini juga berwarna putih.
Mia mengernyit saat tak menemukan warna lain dari kamar ini. Yatuhan apa-apaan ini? Apa dia mau membuatnya gila dengan ruangan memuakan seperti ini?
"Ini kamar anda nona. Permisi" kata pelayan itu pamit.
Mia menggeleng keras.
"T-tunggu." Katanya mencekal mereka.
"Ya nona ada yang bisa saya bantu?" Kata salah satu pelayan itu. sekarang Mia bisa melihat dengan jelas wajah para pelayan itu. mereka berwajah dingin tak banyak berekspresi dan tampaknya tidak bersahabat membuat Mia bergidik ngeri.
"Siapa nama pemilik rumah ini?" Tanya Mia pelan. Walaupun masih bergetar, sekarang Mia mulai merasa ini semua memang nyata. Bukan lagi mimpi.
Pelayan itu saling memandang tanpa ekspresi.
"Maksud nona Tuan Alex Abraham? Dia pemilik rumah ini." Kata pelayan itu datar.
Alex Abraham? Mia mengingat-ngingat nama itu dalam memorinya, seperti pernah mendengarnya. Tapi tak tahu siapa.
Mia mengangguk lalu membiarkan dua pelayan itu pergi.
Mia duduk di sofa bewarna putih itu sambil menghela nafasnya panjang lalu ia mengusap bekas tangisannya kasar. Tanpa sadar ia juga meraba bibirnya... ia mengernyit sambil diam-diam menahan geramannya. Pria itu... siapapun pria itu dia lancang dan kasar sekali!
Papah apa-apaan semua ini? Bisa jelaskan padaku? Mia membatin dalam hati.
Dia lalu berbarng di sofa dan memejamkan matanya mencoba tertidur berharap saar terbangun nanti, ia akan menghadapi kehidupannya normal kembali.
tbc