Prolog

713 Words
Tak peduli seberapa banyak waktu yang dimiliki, melainkan seberapa banyak kebaikan yang telah diberikan kepada waktu.(Fanila, 1-1-2015) Paris, Perancis Sang senja menjulangkan penanya, menumpahi hamparan kanvas cakrawala dengan tetesan tinta jingga tua. Ia melukiskan betapa memesonanya wajah langit di sore hari. Burung-burung mengudara, ditambah kicauannya yang menyapa hangat jiwa setiap insan. Hari ini sebenarnya begitu indah, namun beberapa orang tak dapat menikmati cuaca cerah disana, di atap cakrawala yang dipenuhi jutaan angan impian dan kilauan harapan. Seorang pria menengadah ke atas, ke atap cakrawala yang bersimbah cahaya terang. Ia memandangi sang alam dari balik jendela. Tatap mata tajamnya menembus kaca ruang miliknya, melihat keluar, ke arah menara yang menjulang tinggi. Pikirannya berlarian kesana-kemari, merenung berbagai macam sulutan kejadian yang menarik perhatiannya. Goresan wajahnya menggambarkan kepiluan yang teramat mendalam. Dia sendiri, disini, di tepian jurang kehidupan yang mulai menenggelamkan asanya. Jean Derau, seorang dokter yang sudah menyelamatkan nyawa banyak orang. Telah meraih banyak penghargaan karena berhasil dalam berbagai macam penelitian kesehatan. Melalui tangan-tangan dinginnya, menjadikannya seorang dokter muda yang namanya termuat dalam berbagai media massa terkemuka. Sudah banyak hasil temuannya yang kemudian bermanfaat dalam bidang kemanusiaan. Derau bersandar lirih pada wajah bangku, tangannya menggenggam secarik kertas yang lekat sejak sejam yang lalu. Sebuah kertas yang berbicara, bahwa ia terkena sebuah penyakit ganas, kanker hati kronis. Ia seorang dokter, namun bahkan tak mampu mengobati luka yang kian mengikis tubuhnya. Ia mampu menyelamatkan nyawa orang lain, tetapi nyatanya tak mampu menyelamatkan dirinya sendiri. Suara deringan pelan berdengung ke dalam telinganya, menjatuhkan fantasinya yang sudah terbang melangit. Lesat saja Derau melirik, lalu menggapai ponsel yang terbaring di ujung meja. Sebuah pesan termuat di layar ponsel, kemudian ia beranjak dari bangkunya, dan segera pergi ke Eiffel. Karena kekasihnya meminta dia untuk menjumpainya di area menara cantik tersebut. Sejenak, Derau keluar dari rumah sakit, tempat yang selama ini banyak menjawab semua tentang pribadinya. Tempat dimana ia mulai meniti kehidupan, menjadi manusia yang berguna bagi orang banyak. Ia pergi ke Eiffel dengan menggendarai mobil pribadi miliknya. Sebuah sedan yang tak lama ini ia beli, karena kini penghasilannya sudah semakin memukau, melambung tinggi. Setengah jam kemudian, langkah kaki Derau menghiasi jalan-jalan di pesisir Eiffel. Pandangannya menoleh ke kiri dan kanan, melacak keberadaan kekasihnya itu. Akhirnya selama kurang dari sepuluh menit mencari, matanya menangkap sesosok wanita yang tengah bersangga pada sebuah bangku. Wanita itu sesuai dengan yang dikodekan padanya, menggunakan dress merah dan bondu berlambang bunga cantik tepat di kepala. Derau menatap wanita itu dari posisi belakang, sedangkan wanita tersebut menatap ke depan, menanti kekasihnya untuk segera menyapa dirinya. Derau lesat menghampiri wanitanya itu, "Maaf, aku hampir kehabisan waktuku." tuturnya ketika tepat di samping Aunette. Aunette lekas tegap, mata tajamnya beradu sorot mata, dan posisinya berhadapan dengan pria berkacamata itu, Derau. "Aku benar-benar mencintaimu, tapi.." Sebelum sempat berbicara, Derau malah memenggal perkataan gadisnya, "Aku tahu kondisiku buruk sekarang, tapi... kumohon... kau.." pintanya sekuat hati. "Maaf, aku tak bisa lanjutkan hubungan ini.. kita.." "Putus, iya kan?" wajah Derau semakin kalut. Ucapan wanita itu membekas di hati Derau untuk beberapa saat. Aunette menganggukan wajahnya pelan, tanda memberikan jawaban iya. Kemudian dia berbalik arah, lalu pergi, meninggalkan sejuta lara bagi pria berusia 27 tahun itu. Bunga merah yang erat di genggaman Derau pun terjatuh, terhempas oleh semilir angin yang kian menyayat mahkota mawar menjadi beberapa helai. Mawar yang beberapa waktu silam ia beli di tepi jalan, sehingga membuat kekasihnya menanti terlalu lama, menunggu pada wajah bangku taman yang menghadap Eiffel. Eiffel, satu menara menjulang yang diagung-agungkan banyak umat manusia, namun justru ia hanya bungkam tak bicara. Menjadi saksi bisu asmara antara dua anak adam. Ia menyaksikan Derau dan Aunette menjalin cinta, merajut asmara, dan juga berputus cinta disini. Eiffel, tempat berjumpa dan berpisahnya dua insan dunia. Tempat yang mengikat dua tali cinta, sekaligus menjadi neraca bencana bagi sepasang tali hati. Mata Derau terus memandang ke depan, dan perlahan mendapati Aunette yang semakin jauh, lesap dari pandangannya. Ya, begitu pula rasa cinta yang dibawa oleh Derau, ia harus mulai merelakan semuanya, yaitu cinta, harta, bahkan yang lebih berharga, nyawa. Derau tegak sendiri, disini, sambil menatap lengkungan cakrawala yang mulai dinodai bercak merah. Dia takkan pernah tahu, apakah itu langit-langit terakhirnya, atau masih cukup banyak waktu untuk mengukir kisahnya di penghujung usia. Namun ia terus berharap, semoga waktu yang tersisa dapat menjawab semua curahan isi hatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD