Menara pencakar cakrawala

1827 Words
Catatan: Glosarium/Footnote ada di bagian akhir cerita. Tulisan bold sekaligus italic menandakan kata tersebut ada di Glosarium/Footnote. Contohnya: Hepatoma Arrghhhh!!!! Teriak Derau kencang, hingga meruntuhkan debu-debu di atap kamarnya. Derau terus merintih, seluruh tubuhnya berselimutkan keringat yang mengucur di setiap sela tubuhnya. Seringkali ia seka keringat yang mengalir di dahinya. Rasa sakit itu kian menikam hatinya, rasanya seisi hatinya tengah dihujam pedang panjang, yang makin menusuk tubuhnya. Kemudian ia bangkit sekuat tenaga, berjalan dengan langkah berat menuju lemarinya. Secara sigap ia sibak pintu lemari, kemudian meminum obat penenang. Tak selang lama, kondisi tubuhnya perlahan membaik, dan lambat laun semakin pulih. Ia pun menghela nafas lega tatkala rasa sakit itu telah lenyap darinya. Sakit ini, sudah terulang untuk yang keempat kalinya. Acapkali merasakan, ia merasa nyawanya telah terhisap di puncak ubun-ubun, dan seakan bayangan gelap menarik paksa sukmanya. Namun semuanya telah usai, yang tersisa hanyalah rasa lelah yang telah melayang. Tangan kanan Tuan Leux membuka cepat kamar milik Derau. "Apa yang terjadi? Kau tidak apa-apa?" seru Leux khawatir. Tiba-tiba saja mencuat nama Erdes dalam benaknya. Akibat perkataanya kemarin membuat sebagian orang berpikir bahwa Derau datang ke FullHope untuk menyelamatkan mereka. Akhirnya Derau putuskan, sembunyikan masalah mengenai penyakitnya untuk sementara waktu, dan membiarkan orang lain menganggapnya sebagai seorang 'penyelamat'. Derau melangkah pelan menuju pintu, hendak menjumpai sekaligus membalas perkataan Leux. "Oh, aku tidak apa-apa. Tadi hanya terpeleset saja." ucap Derau berkelit. "Benarkah? Kupikir tadi kau mengalami histeria. Syukurlah jika kau tak apa-apa." balas Leux, lalu ia berbalik arah dengan kursi rodanya itu, hendak kembali ke tempat semula. Sebelum Leux sempat kembali, suara Derau menghentikan putaran roda miliknya, "Tuan Leux," lalu Derau menghampirinya, "Tuan Brann berpesan padamu, ia ingin dibuatkan alat..., apa itu namanya... kalau tidak salah tabung eterni.." "Tabung eternity maksudmu? Baiklah, aku akan membuatkannya, tapi jangan sekarang, sekitar seminggu lagi akan mulai kubuatkan." balasnya singkat. Orang tua itu kini kembali ke kamarnya yang berantakan. Sementara Derau pergi keluar, menghirup udara sejuk sejenak, ingin memulihkan tubuh karena kelelahan akibat menahan penyakitnya yang kambuh tadi. Mata Derau mengarah ke ufuk langit, yang telah dipenuhi cahaya spektrum warna kuning. Ada pula beberapa awan yang menghiasi langit cerah. Siang ini sang mentari nampak jelas, sedangkan awan-awan terbawa jauh ke arah barat, terhempas buaian angin kencang. Tak sangka, peristiwa alam ini diabadikan oleh seseorang di samping Derau, Van Jens. Lelaki itu kini duduk membisu di depan beranda, terpaku akan cakrawala, dan tengah melukis semua keindahan alam. Tidak seperti kebanyakan orang di FullHope, yang berparas ceria meski mengidap penyakit mematikan. Wajah Jens terlihat kaku, seperti orang yang telah menimbun banyak potongan misteri. Gelagatnya juga tampak tidak biasa. Seringkali Derau memperhatikan tangan kirinya yang selalu menggaruk pelan tangan sebelahnya. Apa yang Jens sembunyikan dari dalam tubuhnya? Sampai-sampai ia harus mengenakan busana super ketat, dengan baju lengan panjang dan ikat kepala berwarna biru itu. "Hei Jens, lukisanmu bagus sekali. Kau tahu, aku punya kenalan kolektor seni. Dia pasti akan membelinya dengan harga mahal. Apa kau mau?" ujar Derau pada Jens yang tengah asyik melukis, dan tampak menghiraukan perkataan Derau. Derau hanya mengedipkan matanya kala dirinya terabaikan. Sempat terpikir di benaknya bahwa selain tuna wicara, Jens juga adalah seorang tuna rungu. Namun dugaannya itu salah, ketika ternyata Jens membalasnya dengan menuliskan sesuatu di kertas kosong miliknya. Mmm!!! ucap Jens mencoba bicara dari mulutnya. Jens menyerahkan secarik kertas itu kepada Derau. Tertulis di kertas tersebut, 'Tidak, aku takkan pernah menjualnya. Karena semua lukisanku telah menjadi saksi, dan akan mengungkapkan suatu kebenaran. L ' Saksi? Kebenaran? Apa pula maksud dari tulisannya, pikir Derau. Mata Derau berkedip sekali lagi, ia tak paham dengan tulisan yang tergurat dalam kertas itu. "Apa maksudmu?" tanya Derau perlahan. Jens pun menuliskan di lembar belakangnya, 'Nanti kau akan tahu, datang saja ke atas menara nomor 10 tanggal 10 setiap jam 10.' Melihat tulisan itu membuat Derau kian buncah, ia semakin tak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Jens. Menara, peristiwa apa pula yang telah terjadi disana? Tak selang lama, sesosok bayangan menyembul dari sebelah kanan. Bayang kelabu yang memberitahukan bahwa seseorang datang menghampiri mereka berdua. "Apakah kau punya banyak waktu? Aku takut jika kegiatan kita nanti akan menggangumu." seru De La kepada Derau. "Hmm, Memang kegiatan apa?" "Kurasa kau perlu tahu keadaan sekitar FullHope. Aku akan memperkenalkanmu semua tempat yang ada disini." ungkap De La. Derau menganggut pelan, tanda menyetujuinya. Kemudian mereka pergi berdampingan ke lokasi terdekat, Menara 1, yang tidak terpaut jauh dari jangkauan mereka. Menara ini adalah menara tertinggi dari dua puluh dua menara lainnya. Satu pancang menara yang menjadi titik pusat bangunan, sebagai titik kordinasi yang menghubungkan antar semua menara. Menara 1 berfungsi sebagai menara pemantau, di atasnya juga dipasang beberapa kamera pengintai yang mengawasi seluruh bangunan dari ketinggian. Bila ada gerak-gerik mencurigakan, kamera itu akan meng-capture gambar dan alarm akan berdering di setiap menara pencakar langit. Mata Derau memandang luas semua bangunan yang mengitarinya sebagai titik pusat. Tangan Derau memayungi pandangannya dari kemilau sinar mentari. Hamparan sawah yang terbentang luas ditangkap matanya dari kejauhan. Ada pula sebuah laboratorium bundar besar terlihat dari arah timur. Keceriaan burung-burung pun menambah sejuk suasana hati. Mereka mengepak sayap-sayap cantiknya, hingga menghilang saat berakhir di ufuk langit. "Apa kau suka?" tanya De La ceria. "Ya, ini terlalu indah. Berapa ketinggian menara ini?" "Seratus meter." tukas wanita yang tengah menangkap parasnya dari dekat. "Kau pasti sering kesini, apa kau pernah merasa bosan?" "Tidak pernah, apalagi jika menatap hamparan pemandangan. Aku takkan pernah bosan!" jelas De La dengan senyum lepas. Tatap sendu Derau sekilas menatap De La. Dasar jiwa Derau mendadak berdegup keras, belum pernah sebelumnya ia mendapati perasaan seperti ini. Hatinya berdetak terlalu cepat, bahkan ia tak pernah merasakannya ketika berada di dekat Aunette, mantan kekasihnya. Apa ia mulai menyapa cintanya kembali? Namun ini belum saatnya, karena ini bukanlah waktunya untuk membuat 'serum asmara', melainkan 'serum anti-virus'. "Apa kita pernah berjumpa sebelumnya? Ditempat lain misalnya." sahut Derau, menghentikan De La yang tengah menatapnya. "Ohh... belum, kurasa kita belum pernah berpapasan sebelumnya, kita baru berjumpa disini, di FullHope." balas De La berparas memerah. "Oh ya, menara ini satu-satunya menara yang tidak memiliki lonceng," ucap De La mengalihkan perasaannya, "Kau tahu, menara ini hanyalah sebagai pemantau, bukan pemberi notifikasi pesan seperti menara lainnya. Oh ya satu lagi, untuk membuat menara berlonceng dibutuhkan diameter menara yang lebih besar, sedang menara ini berdiameter kecil. Wajar bila hanya dijadikan menara pengintai." ulasnya lebih tajam. "Wah, keren!!" sahut Derau singkat. Mereka di atas, di puncak Menara 1 sambil beradu hasrat cinta. Entah apa yang terjadi selanjutnya, namun tampaknya mereka sudah menjatuhkan perasaan masing-masing. Semoga perasaan itu adalah perasaan yang nyata, bukan khayalan semata. *** Derau dan De La melangkah santai menuju bangunan paling selatan, sambil berbincang hangat mengenai pribadi masing-masing. Mereka terus berjalan, hendak memasuki Menara 22 yang berlokasi di dekat area pemakaman. Suasana romansa itu berganti keruh saat seorang pria datang menghadang. Pria itu melengkingkan suaranya, mengejutkan Derau dan De La dengan pekikan mengejutkan. Hahahah!!! Teriak pemuda gimbal yang kemarin di depan beranda Brann. Pemuda itu tampak tak waras, sepertinya ia mengalami hilang akal. Sementara De La lesat berlindung di balik tubuh Derau, takut akan serangan di depan. "Hei Derau, apa kau punya uang lagi? Aku akan memberikanmu informasi menarik." ujar pemuda gimbal. Bola mata De La menyernyit sekejap, lalu ia mendekati pemuda itu, "Ambil saja ini, kami tak punya waktu untuk mendengarkan ocehanmu." ucap De La dengan sedikit membentak. "Oh begitu, makasih!" sahutnya singkat sambil menarik uang dari tangan De La, lalu menghilang di bawah kegelapan bangunan besar. Derau dan De La kembali melanjutkan perjalanan ke arah selatan, namun jiwa Derau masih diliputi beberapa pertanyaan. Pemuda gimbal itu, siapa dia? Ia tampak amat bodoh, namun seperti menyimpan sekumpulan rahasia. "Pemuda gimbal tadi, siapa dia?" tanya Derau kepada De La. "Dia keponakan Brann, Bernard." balas wanita itu singkat. "Pantas saja ia boleh tinggal disini. Mengapa tingkahnya seperti itu?" "Ia mengalami masalah psikis. Jadi, kau hanya harus menghiraukannya." "Oh.., lalu mengapa tidak direhabilitasi saja ia, bukankah semua yang berpenyakit harus disembuhkan disini?" "Ya, kami telah melakukan rehabilitas, tapi... hei lihatlah !!..." tunjuk De La ke arah lonceng di atas, "Lonceng itu bersinar, itu artinya sudah jam 12 siang. Biasanya lonceng itu akan berpendar ketika matahari tepat di atas kepala kita!" sahut De La cepat, mengalihkan pembicaraan Derau. Tanpa berlama-lama, tangan De La menarik cepat tubuh Derau. Mereka pun lesat menaiki tangga, mendaki ke puncak Menara 22. Benak Derau masih dipenuhi sejuta pemikiran tentang Ogge, Jens dan juga Bernard. Ia heran, benaknya mencium segala sesuatu yang berbau mencurigakan. Namun hembusan angin di atas menara menyejukan jiwanya. Membuainya dalam iringan kisah fantasi yang menyeret angannya sejenak. Mereka pun bertapak disini, di puncak Menara 22 yang memiliki lonceng terbesar dari lonceng menara lainnya. Mata Derau terpikat pada satu lonceng besar yang bertahta di puncak. Berkilau, dengan seribu kemilau yang terpantul dari cahaya mentari. 'Lonceng emas', yakni julukan bagi lonceng ini. Tak dipungkiri, lonceng ini merupakan yang termewah, namun terletak di dekat pemakaman FullHope. "Berat bell ini adalah satu ton, berlapiskan emas 24 karat, dan terdapat bandul mutiara di bawahnya." ulas De La cepat, sambil mondar-mandir di sekeliling lonceng tersebut. "Hebat, siapa pemiliknya? Nevau? " tutur Derau. "Oh.. itu bukan milik Nevau, melainkan sumbangan dari para FullHoper, sebagai kenang-kenangan." ucap De La terlihat gugup. "Pantas saja, jika ini milik Nevau berati dia teramat kaya. Lagi pula, menurutku uangnya lebih baik jika digunakan untuk amal kemanusiaan. Masih banyak orang diluar sana yang lebih membutuhkan dananya." seru Derau beropini. "Ya, kupikir begitu. Tapi FullHope telah berusaha keras untuk mendistribusikan dana amal kemanusiaan. Lonceng ini, dibuat disini sebagai lambang kehidupan abadi. Sudahkan kau berpikir sebelumnya, mengapa lonceng emas ini didirikan di dekat pemakaman Veteran FullHoper?" "Belum." tukas Derau pelan. "Lonceng emas, menggambarkan sesuatu yang agung, indah, dan juga berharga. Hal ini mengisyaratkan bahwa hidup para Veteran FullHoper sangatlah berharga. Kau paham?" ungkap De La, sambil menatap tajam paras Derau. De La menghampiri Derau beberapa langkah, kemudian ia mengajukan sebait pertanyaan, "Maaf jika lancang, sejauh ini aku belum bertanya apapun padamu. Tapi, apakah benar kau kesini untuk menyelamatkan kami?" Derau bergeming sejenak, hatinya mulai diterpa rasa bimbang. Ia bingung, harus mengabarkan kenyataan atau justru menyembunyikan berita penyakitnya. "Aku kemari karena... aku harus menolong mereka!" lantang Derau tegas. "Benarkah? Syukurlah kalau begitu. Ternyata kau sehat-sehat saja." tutur De La menghembuskan nafas lega. Parasnya melukiskan kebahagiaan teramat sangat, pancaran wajahnya pun berubah saat Derau meyakinkan bahwa ia tak tertimpa suatu penyakit apapun. Jiwa Derau berguncang, lalu mendadak mati kutu, terpaku dengan sentuhan hangat tatap mata De La. Bola mata mereka saling berpapasan, lalu mereka mulai tampak canggung. Mungkinkah mereka sudah mulai menjatuhkan kobaran cinta? Tampaknya jawabannya adalah ya. Namun, satu wanita di lantai bawah menyaksikan kebersamaan mereka. Wanita itu hanya menatap bisu, menilik tajam dengan lensa matanya dari kejauhan. Ia tegak, sendiri, sambil menggenggam secarik surat mungil. Sebuah surat yang berbisik asmara, menjadi pertanda cinta sebelas tahun silam. Wanita itu, La Erdes, tengah menyorot lesu wajah keduanya yang berbinar. Sama seperti mata menara yang melirik iri, cemburu dengan kebersamaan mereka berdua. Glosarium/Footnote: Veteran FullHoper: FullHoper yang telah meninggal.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD