Awal

1084 Words
Kaki jenjang yang mulus itu tergantung beberapa inci dari permukaan paving block, ditopang oleh sepatu hak tinggi berwarna hitam mengkilap. Rok hitam pendek di atas lutut menyempurnakan penampilannya yang elegan dengan polesan bibir merah yang cukup tebal. Wanita itu berjalan memutari mobil untuk membukakan pintu.  Seorang gadis dengan rambut dicepol ke atas, tersenyum semringah menyambut wanita yang membukakan pintu untuknya. "Mama tidak perlu melakukan ini untukku," ujar gadis itu seraya menurunkan kakinya dari mobil.  Dia sedikit menunduk saat keluar, dan wanita yang dia panggil mama, meletakkan tangannya di atas kepala gadis itu. Melindunginya agar tidak terbentur. "Why not? Mama bahkan bisa melakukan apa pun untuk putri kesayangan mama ini." "I love you, Mom." "I love you more." "Aku tahu." Gadis itu lalu memeluk mamanya, sebagai tanda terima kasih, dan rasa syukur atas perhatian yang tak pernah kurang dari mama. Meski wanita itu sendiri selalu sibuk, tapi tak ada waktu yang dirasakan Dhilazia tanpa limpahan kasih sayang dari Laura. "Ji, kamu harus berjanji akan tetap baik-baik saja, atau mama tidak akan mengijinkanmu berada di tempat ini lagi." Laura membelai wajah putrinya, lalu pandangannya beralih pada sebuah kafe yang berdiri megah di hadapan mereka. "Always, Mom. Lagi pula, Kak Satria selalu menjagaku. Mama tidak perlu khawatir." Ada semburat kebahagiaan di wajahnya saat menyebutkan nama Satria. Dan semua itu tidak luput dari perhatian Laura. Laura hanya tersenyum menanggapi ucapan anak gadisnya, kemudian mereka berjalan beriringan menuju pintu kafe yang terbuka. Di saat yang bersamaan, seorang pemuda berjalan terburu-buru menuju pintu yang sama. Cowok itu berjalan dengan tanpa memperhatikan sekitar, fokusnya terganggu oleh makhluk aneh yang sejak tadi mengikutinya. Gadis itu terus-terusan tersenyum dan meledek Senna, menunjukkan keberadaannya, menuntut untuk diakui. Kesal karena ulah Farin, Senna mempercepat langkah yang sialnya membuat cowok itu menubruk seseorang. "Hei, Bocah! Apa kamu tidak punya mata!" Suara itu bernada tinggi dan penuh amarah. Bukan dari gadis yang ditubruknya, tapi wanita yang berjalan bersama gadis itu. "Sorry, gue ..." Melihat lawan bicara yang ternyata jauh lebih tua darinya, Senna memperbaiki sikap. "Maaf, saya tidak sengaja," ucapnya seraya mengulurkan tangan di depan Jia. Gadis itu hanya memandangi tangan Senna yang menggantung di udara, satu tangannya mengusap tangan yang lain, karena sempat membentur paving block saat terjatuh. "Minggir!" Belum sempat Jia menyambut uluran tangannya, Laura mendorong Senna dan segera memeriksa keadaan putri kesayangannya. "Sayang, are you oke?" "I'am okay, Mom. Jia nggak apa-apa, mama tidak perlu khawatir." Gadis itu bangkit dan mengusap pakaiannya yang sedikit kotor. "Kamu! Apa kamu tidak bisa berjalan lebih hati-hati. Gara-gara orang sepertimu nyawa orang lain dalam bahaya. Ingat itu!" Senna mengernyitkan kening mendengar penuturan Laura. Itu terlalu berlebihan, anak gadisnya hanya terjatuh dan Senna yakin itu tidak keras. Bahkan anak kecil tidak akan menangis kalau hanya jatuh seperti itu. "Maaf, tapi ...." "Maaf katamu?" Laura menggeleng-gelengkan kepala tidak percaya dengan jawaban Senna. "Kamu pikir maaf bisa menyembuhkan luka? Dasar i***t!" Oke, ini benar-benar sudah keterlaluan. Farin yang melihat Senna diperlakukan seperti itu hampir mengibaskan tangannya kalau saja tidak dicegah oleh Senna. Cowok itu tahu pasti, apa yang akan terjadi kalau sampai makhluk itu melakukan sesuatu saat ini. "Sayang, kamu tidak apa-apa, kan?" Laura segera memastikan kalau Jia baik-baik saja. Ada memar di siku kanannya, saat melihat hal itu, Senna paham kenapa wanita di hadapannya naik pitam hanya karena dia tidak sengaja membuat putrinya jatuh. Memar di siku Jia terlihat tidak biasa. Luka itu menghitam dengan cepat, dan seolah urat-urat di bawah kulit hendak menyembul keluar dalam sekejap. "Kenapa? Aku bisa memberi mereka pelajaran seperti orang tadi. Mereka berlebihan hanya karena kamu tidak sengaja menubruknya." Farin mengangkat tangannya ke udara, hendak memberikan pelajaran pada orang yang barusan menghina calon rekannya, tapi Senna menghentikan. Pandangan cowok itu tertuju pada siku Jia yang terluka. Ini jelas berbeda. Ada yang aneh dengan gadis itu. "Euh?" Melihat hal tersebut, Farin juga mengurungkan niatnya. Di kepalanya muncul banyak tanda tanya, yang berujung pada rasa iba. Bagaimana bisa seorang terluka separah itu, hanya karena benturan kecil yang dialami saat tidak sengaja jatuh? "Ibu, saya benar-benar minta maaf." Senna hendak mendekat, tapi Laura mengacungkan tangan, memberi isyarat agar cowok itu tetap diam di tempat. "Jangan berani-berani mendekat, atau ...." "Mom! Aku tidak apa-apa, tolong jangan berlebihan." "Tapi, Sayang ...." "Please, Mom. Aku tidak mau Kak Satria semakin memandangku sebagai gadis lemah. Aku ingin dia menganggapku normal." "Ada apa?" Seseorang keluar dari pintu kafe. Pria dengan perawakan tinggi, dan rambut tertata tapi. Dia berjalan mendekat ke arah Jia dan Senna berada. Tetapi bukan itu yang dirasakan Farin, ketika dia mendengar suara Satria, sendi lehernya berputar sembilan puluh derajat, saat itu dia merasa Satria sedang menghampirinya. Jantungnya berdentam nyeri seiring langkah pria itu yang semakin mendekat. "Sat, anak ini ...." Laura hendak bicara, tapi tangan Jia meremas lengan perempuan itu, dia menggeleng pelan dan meminta agar mamanya tidak memberi tahu Satria tentang apa yang barusan terjadi. Farin memegangi dadanya yang terasa semakin nyeri, Satria berada tepat di hadapannya. Dia seolah kehilangan daya dan hampir ambruk saat Satria melewati tubuhnya. Kepalanya seperti mendapat hantaman dari sesuatu yang maha dahsyat, sampai akhirnya dia benar-benar jatuh tersungkur. "Hei!" Senna hampir membantunya, tapi dia sadar, di tempat itu, satu-satunya orang yang bisa melihat Farin hanya dirinya. Akan sangat aneh kalau tiba-tiba dia berbicara dengan angin. "Ya?" Satria yang menyahut. Dia pikir Senna sedang berusaha menyapanya. "Oh, eum, maaf, tadi sa-saya...." "Sudahlah," sahut Jia sebelum Senna sempat memberikan penjelasan. "Aku tidak apa-apa, Kak. Mama terlalu khawatir." "Ada apa?" "Saya tidak sengaja menubruknya, Mas. Gadis itu terjatuh, dan wanita ini marah-marah, saya ...." "Apa?" "Iya, Mas, tap--tapi ...." "Kak, aku tidak apa-apa, sungguh. Kakak jangan seperti mama, please." "Ji..." Satria mendekat ke arah Jia dan memastikan kalau gadis itu memang baik-baik saja. "Tolong, jangan memperlakukanku seperti ini, kalian hanya membuatku merasa semakin buruk dan pantas dikasihani." Jia berbicara dengan nada memohon. "Baiklah, mama minta maaf. Jangan sedih, ya." Jia mengangguk. Satria yang tadinya hampir memarahi cowok di dekatnya juga mengurungkan niat itu. Dia hanya mengajak Jia masuk dan memberikan kompres dengan es batu, pada luka memar di siku. "Hei! Lo kenapa?" Setelah semuanya masuk, Senna segera menghambur ke arah Farin yang masih tersungkur sambil memegangi dadanya. Gadis itu terlihat sangat tersiksa. "Aku ... Aku tidak tahu kenapa. Ini sakit sekali." "Sejauh ini, gue belum pernah nemuin rumah sakit khusus hantu kayak lo. Jadi, please, jangan bilang lo mau mati di sini." Farin tersenyum getir mendengar ucapan Senna. Mati? Apa mungkin kematian bisa datang dua kali? Malaikat maut tidak mungkin amnesia untuk mencabut nyawa seseorang sampai dua kali, kan? Dasar manusia aneh! Farin bangkit, sama seperti alasan kenapa dia merasakan sakit secara tiba-tiba, dia juga tidak tahu bagaimana rasa sakit itu menghilang dalam sekejap. "Aku bukan mahluk lemah!" "Gue tau, gue udah liat gimana elo. Gue cuma ...." Belum sempat Senna melanjutkan kata-katanya, Farin sudah menghilang secepat kilat. Bayangannya melesat ke udara dalam hitungan detik, meninggalkan Senna dengan segala u*****n yang belum sempat terucapkan. "Dasar, hantu aneh!" LovRegards, MandisParawansa
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD