Tolong Aku

1420 Words
"Nggak mau! Senna mau ayam goreng." Anak kecil itu menyedekapkan tangan dengan bibir mengerucut, menolak untuk disuapi dengan sayur sop. "Iya sayang, nanti malem kita makan ayam goreng , tapi sekarang Senna harus makan pakai sayur sop dulu. Oke?" Bola mata bening Senna terlihat berbinar ketika mendengar ucapan mamanya. Bocah dengan balutan piyama biru bergambar doraemon itu mengeluarkan jari kelingking dan berbicara dengan nada yang sangat lucu. Senang, tapi juga terlihat seolah masih marah. "Janji?" "Iya, sayang. Nanti kita makan di luar bareng sama papa." Senna hampir membuka mulutnya, sampai dia mendengar kata papa, dan bocah itu kembali mengatupkan bibir. Dia meletakkan jari telunjuk di dekat dagu, dengan bola mata yang terlihat seperti orang dewasa ketika sedang berpikir. "Papa?" Dalam kamus bahasa otaknya yang masih sangat sederhana, yang Senna tahu, papa adalah sebutan teman-temannya di sekolah ketika menyebut orang yang sering kali mengantar mereka. Laki-laki yang akan berada di samping mama, saat sekolah memberikan undangan untuk orang tua. Sependek ingatan bocah itu, dia sama sekali tidak memiliki sosok itu. "Iya, Sayang. Om Rayhan. Sebentar lagi, dia akan jadi papanya Senna," jawab mamanya sambil mencubit gemas hidung mancung Senna. Bocah itu masih terlihat berpikir, sampai tak sadar sesuap nasi telah berhasil masuk ke mulutnya. "Om Rayhan bukan papa Senna!" Senna kembali menyedekapkan tangan dengan bibir cemberut. Kelakuan yang membuat mamanya terkekeh pelan sambil menggelengkan kepala. Wanita itu tidak menyadari, atau memang tidak peduli dengan penolakan putra kecilnya. Entah. Senna masih tidak bisa memahaminya sampai hari ini, saat dering ponsel mengacaukan lamunannya, dan mengembalikan pikiran cowok itu ke sarang. Sebuah panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Dahi Senna mengernyit saat menyadari kalau deretan angka di layar ponsel terasa asing baginya. Tetapi detik berikutnya dia segera menyambar benda pipih itu, saat menyadari sesuatu. "Hallo," ucapnya sedikit ragu. Namun keraguan itu segera berganti senyum semringah ketika mendengar suara dari seberang sana. "Oke, baik, Mas. Saya akan segera ke sana sekarang juga." Cowok itu melonjak kegirangan setelah mengakhiri panggilan, lalu segera menyambar jaket dan mengenakan sepatu yang dia letakkan di dekat lemari pakaian. Tepat seperti dugaannya, kafe yang kemarin dia datangi untuk mengajukan lamaran, hari ini menghubungi dan meminta Senna segera datang. Maka dengan penuh semangat, remaja tanggung itu segera memenuhi panggilannya. Dia tidak mau mengambil risiko kehilangan calon pekerjaannya, kalau sampai dia terlambat sampai di tempat. Memilih keluar dari rumah Dokter Indira, itu artinya mulai saat ini dia harus memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Dan pekerjaan itu, dia harap akan mampu membantunya dalam menopang biaya hidup. Turun dari angkutan umum, Senna agak terburu-buru saat hendak menyebrang. Dia otomatis mematung ketika seorang gadis yang entah dari mana datangnya, tiba-tiba jatuh tepat di hadapannya. Cowok itu belum sempat berpikir, ketika gadis yang barusan menubruknya itu berbicara dengan dua bola mata seperti memancarkan cahaya dua bintang paling terang.  "Kamu bisa melihatku?" Pertanyaan itu terus berputar-putar di kepala Senna, tapi dia belum bisa menyimpulkan apa pun. Sampai gadis dengan dress putih tersebut bangkit dan mengulurkan jari telunjuk seolah hendak menyentuh hidungnya. Saat itu, Senna baru sadar, kalau dia bukan manusia. Bukan karena bayangan putih itu tidak menginjak tanah, tapi aura di sekelilingnya membuat Senna merasa ngilu. Ditambah lagi, seseorang yang juga kini mengedip-ngedipkan mata di depannya sambil memainkan kipas, wanita dengan kebaya merah hati itu jelas hantu. Menyadari hal itu, Senna segera membuang wajah dan melanjutkan langkah, seolah tidak terjadi apa-apa. Meski sebelumnya dia sangat ingin mengumpat dan memaki gadis ceroboh yang membuat dirinya hampir terlambat ke tempat kerja. Lebih tepatnya, calon tempat kerja. "Hei! Tunggu! Kamu melihatku, kan? Kenapa pura-pura?" Farin berusaha mengejar Senna, tapi Nyai mencegahnya. "Kamu tidak usah mengarang hal seperti itu untuk melarikan diri dariku." "Tidak, Nyai. Aku melihat bayanganku di bola matanya tadi. Sungguh." "Hentikan omong kosongmu, kamu tidak harus melibatkan manusia hanya untuk melarikan diri." Nyai memegang lengan Farin dan berusaha menahannya saat gadis itu hendak mengejar Senna. Dia tidak mau, sesuatu yang pernah terjadi, harus terulang kembali hanya karena kecerobohan Farin. "Maaf, Nyai. Kali ini aku sangat yakin. Bukannya tadi Nyai bilang aku harus mencari cara untuk mendapat ingatan yang sempurna, atau aku akan terus menjadi jiwa yang tersesat? Saat melihatnya, aku sangat yakin dia bisa membantuku. Kumohon, kali ini biarkan aku benar-benar melakukannya." Sesuatu yang selalu ditakutkan sosok Nyai, adalah ketika Farin tidak bisa mengontrol diri dan kekuatan yang tersimpan di dalam dirinya seperti sekarang. Saat tiba-tiba angin bertiup begitu kencang, dan seolah ada kekuatan maha dahsyat yang membuat Farin punya kemampuan untuk melepaskan diri dan mendorong Nyai, bahkan sampai jauh terpental." "Bim, cegah dia," perintah Nyai pada Bima yang hanya berdiri di depannya tanpa melakukan apa pun saat Farin mengejar Senna. "Tidak, Nyai. Ini sudah saatnya. Apa yang akan terjadi, sudah waktunya terjadi. Biarkan mereka bertemu." "Tapi ..." "Nyai, tugas kita lebih penting dari ini. Kita harus segera menemukannya, atau dia akan membuat kekacauan di dunia manusia. Jiwa yang melarikan diri dengan dendam, jauh lebih berbahaya dari pada jiwa tersesat yang hanya butuh menemukan jati diri." Nyai bangkit, dia merentangkan tangan kanan, dan kipasnya yang sempat terjatuh segera kembali ke genggaman. Persis palu strombacker yang tunduk di genggaman dewa petir. "Kamu benar." Sorot mata nyai terlihat mengerikan saat sedang serius, tapi sedetik kemudian dia melayangkan kipasnya ke kepala Bima. "Lalu kenapa kamu malah memilih wujud seperti lemper begini! Dasar otak udang!" "Yak! Nyai, kenapa Nyai jadi memukuliku begini?" "Apa lagi? Tentu saja karena kamu bodoh. Kenapa kamu tidak berubah saja jadi hantu dengan wajah lelaki pujaan hatinya saja, itu akan lebih memudahkan tugas kita dari pada dengan wujud seperti ini. Dasar bodoh!" "Aduh! Nyai, berhenti memukuliku." *** "Hei, aku bukan penjahat percayalah. Jangan menghindar, kamu bisa melihatku, kan?" Farin terus mengoceh sambil berjalan mundur di depan Senna. Berkali-kali gadis itu mengibaskan tangan di depan Senna berharap dia akan memberikan respons. "Tolonglah, aku terus tersesat di tempat ini. Saat melihatmu, aku melihat ada sesuatu seperti cahaya yang membuatku yakin kalau kamu bisa membantuku. Kumohon." Farin menyatukan kedua tangan di depan d**a, tapi Senna masih acuh. Satu kali pun, cowok itu tidak menjawab dan hanya terus berjalan. Sesekali dia melihat layar ponsel dan langkahnya semakin cepat. Dia harus segera sampai di kafe. "Please, tolong aku." Kesal, karena Farin terus menghalanginya, Senna akhirnya menghentikan langkah. "Boleh minta tolong?" Farin mengembuskan napas lega ketika Senna berbicara sambil memandang ke arahnya. "Apa pun, aku akan melakukan apa pun untuk membantumu." "Bisa berhenti sebentar, saya mau lewat." Sayangnya, kalimat itu bukan tertuju pada Farin, melainkan dua sejoli yang sedang bermesraan di belakang gadis itu. Sepasang kekasih sedang berdiri di bawah pohon pinggir jalan dengan bibir yang saling bertaut. Pemandangan luar biasa menjijikkan yang membuat Senna ingin mengumpat. Farin memutar sendi lehernya untuk melihat, dengan siapa sebenarnya Senna berbicara, karena pandangan cowok itu lurus ke depan. Bukan menatap Farin seperti yang dia harapkan. Saat hampir sempurna dia melihat object yang sedang Senna lihat, tiba-tiba Senna bergerak cepat menarik tangan Farin, membuat gadis itu tersentak dan kembali menghadap ke arahnya dengan jarak yang sangat dekat. Dekat sekali, sampai gadis itu bisa mendengar detak jantung Senna dengan sangat keras. Ujung hidungnya, nyaris menempel di d**a cowok yang aroma wanginya membuat Farin hampir lupa diri. "Lo nggak perlu liat hal kayak gitu." Farin masih belum mengerti maksud ucapan Senna, sampai dia menyadari satu hal, bahwa kali ini cowok yang sejak tadi mengabaikannya sedang mengajaknya berbicara. "Apa? Kamu ... Kamu berbicara denganku?" Apa pun yang berada di belakang sana, Farin benar-benar ingin berterima kasih, karena hal itu sudah membuat Senna mau menganggap keberadaannya. "Diem, atau gue lemparin lo ke jalan raya," ancam Senna sambil menarik tangan Farin dan berbalik arah karena pasangan kekasih itu sama sekali tidak terusik oleh keberadannya dan  tetap melanjutkan aktivitas mereka. Farin memandangi tangannya yang berada dalam genggaman Senna sambil tersenyum penuh kebahagiaan. Pandangannya beralih dari tangan, ke wajah Senna yang terlihat seius. Sekali lagi cowok itu melihat ke layar ponsel, seharusnya dia sudah sampai di kafe sepuluh menit lalu. "Sial!" Senna hendak mengumpat, tapi dia hanya bisa mengacak rambutnya sendiri dengan gusar. Tangannya masih memegang tangan Farin tanpa dia sadari. Dan ya, gadis itu tersenyum lebar dengan bola mata berbinar penuh kebahagiaan. Sekali lagi, Senna melihat ke arah dua sejoli yang masih berada di temat semula. Kali ini, tanpa dia sadari Farin melihat object yang sama. Gadis itu menghilang dalam sekejap, kemudian muncul lagi di dekat pohon dan menendang sepeda motor yang mereka parkirkan, sampai terpental jauh ke tengah jalan raya, tepat saat sebuah truk lewat dan melindas motor malang itu. Kedua sejoli itu kaget karena kegaduhan yang tiba-tiba terjadi, dan panik bukan main saat menyadari motor mereka sudah menjadi rongsokan. Senna yang melihat orang tiba-tiba ramai dan berkumpul di tempat kejadian, baru sadar kalau genggaman tangannya sudah kosong. Lalu ketika dia melihat Farin, gadis itu melambaikan tangan sambil tersenyum lebar, kemudian membentuk huruf 'o' dengan menyatukan ujung jari telunjuk dengan ujung ibu jarinya. Mau tak mau Senna tertawa kecil karena apa yang dilakukan Farin. "Anak itu." Senna geleng-geleng kepala kemudian melanjutkan langkahnya sambil berharap, semoga dia tidak kehilangan pekerjaan karena terlambat.  LovRegards, MandisParawansa
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD