Chapter 4

1124 Words
Tidak ada yang perlu aku takutkan, aku hanya perlu bersikap seperti biasa di depan Dewi dan anak-anak yang lain, tapi jujur aku merasa takut jika sampai kepala sekolah tau siswanya ada yang sudah menikah. Aku yakin jika kepala sekolah tau aku dan Dewi sudah menukah, kita pasti akan langsung dikeluarkan dari sekolah. Aku melihat ke arah Dewi, cewek itu malah lebih santai dari dugaanku bahkan masih sempat bercanda ria bersama teman yang lain. Tapi saat mata kami saling bertemu Dewi langsung terlihat seperti orang yang berbeda. Tatapan matanya terlihat jelas bahwa cewek itu membenciku akupun tidak heran karena aku juga sering menjahilinya. "Lingga ke lapangan yuk." Nuga menepuk meja di depanku. "Ngapain?" "Yang lain udah latihan ayo kesana." Aku berdiri mengikuti langkah Nuga ke lapangan, aku adalah salah satu anggota tim basket meski bukan kapten setidaknya aku bisa meluangkan hobi dengan bermain bola besar tersebut. "Naren! Oper bolanya kesini woy!" seru Nuga lalu Naren menoleh dan melemparkan bola ke arah Nuga. Nah itu orang yang jadi kapten basket, namanya Narendra cowok dengan banyak penggemar di sekolah Griya ini, selain tinggi Naren juga sering di puji tampan oleh banyak cewek. Termasuk Dewi. "Apa kabar Ling!" sapa Naren ramah dan kami melakukan adu tos ala cowok tiap kali bertemu, Naren orangnya emang ramah jauh dari kata badboy. "Baik," "Udah lima hari kamu absen di lapangan saat sore, terus gak ikut latihan di sekolah tiap dua kali seminggu." ucap Naren, aku hanya tersenyum tipis. "Sorry, ada masalah dikit jadi gak bisa datang." dan masalahnya karena papaku lagi sakit, aku gak enak ninggalin papa hanya untuk main basket diluar meskipun ada mama dirumah. "Naren!" teriak seseorang dengan tanpa rasa malu. Aku berbalik melihat yang berteriak barusan adalah Dewi, Naren tersenyum ke arah Dewi sambil melambaikan tangan. "Hai Dew," jawab Naren. Cih apa-apaan mereka ini, tuh cewek apa juga dia gak liat ada aku yang masih di sini, tapi tuh si Dewi malah manggil cowok lain dengan suara seakan segalaksi bisa dengar semua. Terserah, yang jelas aku mau main basket dan buktikan kalau aku lebih baik dari Naren. Hari ini setelah pulang sekolah dan mengantar Dewi pulang, aku langsung mencari pekerjaan sampingan yang mungkin akan membuatku kehilangan waktu berkumpul bersama teman-teman basket. Untuk usiaku yang baru tujuh belas tahun melamar pekerjaan di perusahaan pasti akan otomatis langsung di tolak, jadi aku mencari alternatif lain. Tak jauh dari tempat tinggalkan ada sebuah tempat pencucian mobil, aku harap di sana pemiliknya mau menerima anggota satu lagi yang bisa shift sore ketika aku pulang sekolah. "Lingga, mau cuci motor atau cuci mobil?" sapa si pemilik yang kebetulan aku kenal. "Anu om, aku mau tanya kira-kira om masih butuh anggota lagi gak soalnya aku pengen nyoba kerja tapi karena aku masih sekolah jadi aku cuman bisa kerja sore, boleh gak om?" tanyaku to the point karena aku memang malas buat basa basi mengenai pekerjaan. "Kebetulan banget anggota om yang satu lagi pulang kampung kemarin jadi om belum dapat penggantinya, mana pelanggaan juga banyak. Oke deh om setuju tapi kamu bisanya kapan?" "Hari ini boleh langsung gak om?" "Terserah kamu sih lagian kasian itu Tiyo kerja sendirian." "Makasih banyak om, Alhamdulillah langsung di terima." "Om tinggal dulu ya, ada perlu di tempat tetangga." "Ih iya om silahkan." kataku lalu om Hasan pergi bersama motor scoopy nya. Aku segera berganti baju dan membantu mas Tiyo salah satu anggota om Hasan di tempat pencucian mobil dan motor. Saat masjid sudah berbunyi aku baru saja menyelesaikan kendaraan terakhir, aku melihat sudah hampir maghrib lalu akupun berpamitan dengan mas Tiyo untuk pulang duluan. "Kamu darimana?" ucapan itu langsung aku dapatkan ketika masuk rumah. "Kepo!" seruku pada Dewi lalu menuju kulkas mengambil air dingin. "Terserah kamu sih mau kasih tau apa enggak." Dewi berjalan dan duduk di depan televisi. "Dewi udah sholat?" tanyaku. Dewi menoleh lalu mengacungkan jempol. Setelah minum aku pun menuju ke kamar untuk mandi lalu sholat maghrib. "Dewi, kamu gak masak buat makan malam?" seruku. "Udah aku masak, kamu liat aja di balik tudung saji." seru Dewi. Benarkah? Dewi bisa masak? Dan karena aku penasaran masakan apa yang cewek itu buat aku segera membuka tudung saji, sontak saja isi di dalam sana membuatku mengelus da*da berucap istigfar. Tapi tidak apa, mi instan juga bisa bikin kenyang kok. "Mulai besok kamu harus belajar masak." ucapku sambil belajar setelah selesai makan dua bungkus mi instan sekaligus. Dewi juga ikut belajar karena aku paksa, jujur nilai rapor Dewi sangat memprihatinkan karena hanya masuk dalam kategori rata-rata. "Tenang aja, besok kan tanggal merah, mamaku pasti dirumah, nanti aku belajar sama mama." Tumben gak ngelawan, tapi baguslah. Ketika hari sudah semakin malam aku menggelar tikar tak lupa mengunci pintu kamar karena jika sampai mama tau aku dan Dewi tidak tidur satu ranjang pasti akan ada masalah baru lagi. "Kamu tidur diatas." "Serius nih?" Aku mengangguk, lagian semalam juga aku tidur di atas tikar kan? Dasar Dewi kalau tidur udah kayak orang pingsan. Tapi cewek itu terlihat tersenyum lebar berbaring diatas tempat tidur, jika aku tidak ingat janji dengan om Wardana pasti udah aku biarin Dewi tidur di lantai beralaskan tikar. ____ Hari ketiga setelah pernikahan kami semua masih berjalan normal, aku dan Dewi tetap masih sering menjahili seperti sebelumnya tanpa ada perubahan walau sudah menikah. Di rumah pun demikian, aku meminta Dewi untuk belajar memasak walaupun hasil nya selalu gagal. Entah apa yang cewek itu pelajari selama ini. Tapi tadi gadis itu sudah berusaha meskipun aku yakin yang masak bukan dewi tapi mamanya. Sudahlah, yang jelas aku akan  berusaha jadi suami yang bertanggung jawab, sejak kemarin sore aku mulai mencari pekerjaan yang bisa aku lakukan setelah pulang sekolah dan kebetulan aku mendapat pekerjaan sebagai tukang cuci mobil. Lumayanlah untuk biaya tambahan. Namun, tiba-tiba saat sedang mencuci mobil ada panggilan masuk dari mama yang mengatakan papa kembali drop dirumah sakit. Aku meminta ijin pada pemilik pencucian mobil itu lalu bergegas kerumah sakit. "Papa kenapa lagi mah?" tanyaku khawatir. "Berdoa Lingga semoga papa kamu baik-baik saja." ucap mama yang terlihat sangat ketakutan jika ada kabar buruk datang. Tak lama dokter keluar memberi kabar duka yang begitu mendalam untukku dan mama. Kabar buruk itu akhirnya benar-benar datang, mama jatuh lemas sambil menangis aku tanpa sadar juga ikut menangis kehilangan sosok ayah yang sudah membantu mama membesarkanku selama ini. Aku tidak tau jika akhirnya papa benar-benar akan pergi untuk selamanya. "Innalillahi wainnailaihi rojiun." Namun, setidaknya keinginkan papa untuk melihatku menikah telah terlaksana, semoga jiwanya husnul khotimah diatas sana. Kesedihan menyelimuti keluarga kami atas kepergian papa. Mau bagaimana pun jika Tuhan sudah berkehendak maka tidak ada yang bisa masuk menghalangi. Dan aku berjanji untuk menjaga keinginan papa terakhir kali untuk tetap bersama Dewi apapun alasannya, gadis itu adalah wasiat papa yang harus aku jaga sekarang dan selamanya. Semoga saja aku bisa melakukan yang terbaik. _____ Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD