Chapter 1: Luka dan Asa

1010 Words
Keyara bangun pagi seperti biasanya. Meskipun weekend, ia tetap bangun pagi. Ia siapkan oatmeal dilengkapi dengan potongan buah dan taburan kismis di atasnya. Ia tahu tentang menu favorit Arga dari ibu mertuanya. Selain itu, Keyara juga menyiapkan segelas s**u almond. Setiap weekend, Arga menyempatkan diri berolahraga. Ia memilih berolahraga di dalam rumah, berlatih push up atau menggunakan treadmill. Keyara menyajikan oatmeal dan s**u di meja makan. Ia tak yakin Arga mau memakan dan meminumnya, tapi ia tak mau ambil pusing. Baginya yang terpenting adalah ia berusaha menjadi istri yang baik. Kendati laki-laki itu tak pernah menghargainya, Keyara tetap menjalankan tugasnya. Keyara duduk di ruang makan. Ia teguk segelas s**u almond yang lain, yang memang ia persiapkan untuknya. Netranya memandangi s**u almond dan semangkuk oatmeal yang ia sajikan untuk Arga. Arga menghentikan aktivitasnya. Ia melangkah menuju dapur. Ia membuat sendiri s**u almond, sedangkan s**u almond dan oatmeal yang sudah disiapkan Keyara, sama sekali tak ia lirik. Pemandangan seperti ini sudah biasa. Berkali-kali ia diabaikan. Kali ini, Keyara ingin lebih berani mengutarakan isi hatinya. "Aku sudah membuatkan s**u almond dan oatmeal, Mas." Arga meletakkan segelas s**u buatannya di meja. Ia menatap Keyara tajam. "Aku tidak memintamu untuk membuatkan aku s**u dan oatmeal. Tolong, jangan sok baik di depanku! Aku lebih mengenalmu daripada diri kamu sendiri." Keyara tergugu. Arga tak pernah menghargai kebaikannya. Ia berusaha untuk tenang meski hatinya kembali sakit. "Mas benar-benar mengenalku?" Keyara memberanikan diri untuk bertanya. Ada banyak hal tentangnya yang tidak diketahui Arga. Bagaimana bisa laki-laki itu mengatakan benar-benar mengenalnya? Arga membenci mata itu. Mata yang sering kali tampak berkaca, seperti hendak menangis. Mata sayu dan terlalu sendu. "Kamu orang terjahat yang pernah aku kenal, Key. Jadi percuma kamu memasak, menyiapkan makanan, mencoba mendekatiku, berbuat manis di depanku, percuma! Itu semua tidak ada artinya." Arga meninggikan suaranya. Laki-laki itu tak pernah tahu, bagaimana Keyara selalu berusaha mati-matian untuk menambal lubang di hatinya sepanjang waktu. Bagaimana wanita itu bertahan dengan penderitaan yang datang tanpa jeda. Penderitaan yang diciptakan oleh seseorang yang seharusnya menjadi tempatnya bersandar. "Aku benci kamu, Key! Apa yang kamu lakukan tidak akan bisa mengubah keadaan, tidak bisa mengembalikan apa yang sudah hilang." Keyara tercekat. Ia terdiam. Wajahnya kembali menunduk. Untuk sesaat ia bertanya, apa kesalahannya di masa lalu memang tidak bisa dimaafkan? Arga berbalik dan meninggalkan Keyara yang masih membisu. Keyara menyimpan luka itu sendiri. Dia tak pernah membaginya dengan siapa pun selain diary yang menjadi tempat setia untuk menumpahkan segala rasa. Keyara tak mau berlarut dalam kesedihan. Ia beraktivitas seperti weekend sebelumnya. Ia menyiram tanaman, memberi pakan ikan di kolam, mengelap kaca jendela, membersihkan dapur dan ruangan. Sementara Arga hanya menatapnya sesekali, tak mengerti kenapa gadis itu begitu keras kepala dan sanggup bertahan menjalani pernikahan yang bagai neraka. Kebenciannya pada Keyara sudah sedemikan mengakar, hingga apa pun yang dilakukan Keyara tak jua mengetuk pintu hatinya. ****** Malamnya tak ada sesuatu yang berarti. Arga selalu saja dingin dan tak menghiraukan keberadaan Keyara. Ia menonton pertandingan bola di televisi tanpa peduli Keyara yang tengah memanggang kue di dapur. Keyara menyajikan sepiring kue yang sudah matang dan segelas capuccino di meja ruang tengah, persis di depan Arga. "Bunda bilang Mas Arga suka kue pisang. Karena itu, aku bikin kue pisang. Aku buatkan capuccino juga." Keyara menatap Arga lembut. Laki-laki itu terdiam. Mata tajamnya tak beralih dari layar televisi. Ia tak melirik sedikit pun pada capuccino dan kue pisang yang aromanya menggugah selera. Ia sudah terlalu lelah meminta Keyara untuk tidak lagi bersikap baik dan membuatkannya makanan. "Aku masuk kamar dulu, Mas. Kalau butuh apa-apa, Mas Arga bilang saja." Keyara berbalik dan berjalan menuju tangga. Sesaat Arga mengamati derap langkah Keyara yang berjalan pelan menaiki tangga. Ia muak melihat Keyara, sangat! Ia sadar benar, Keyara hanya berpura-pura tersenyum. Ia pernah mendengar Isak tangis lirih dari balik pintu kamar Keyara. Namun, ia menutup mata, menutup hati. Ia tak akan pernah peduli pada wanita yang sudah menjauhkan Mutia darinya. Keyara menghela napas. Ia mematut bayangannya di cermin. Ia menyadari tubuhnya bertambah kurus dan kedua mata sayunya kerap terlihat sembab. Tetes bening kembali berderai. Ia bahkan berkali-kali menyebut dirinya bodoh. Apa yang kamu harapkan dari suamimu, Key? Apa? Kamu tahu dia tidak pernah mencintaimu dan kamu juga sadar benar, kamu terjebak di pernikahan semu yang menorehkan luka? Kenapa kamu masih bertahan? Kenapa kamu tak mengejar kebahagiaanmu sendiri? Kenapa hanya diam kala suamimu sendiri menginjak-injak harga dirimu? Di mana harga diri sebagai seorang istri? Di mana ketangguhan dan kekuatanmu? Kamu tidak bisa seperti ini terus, Key. Kamu harus menentukan jalanmu sendiri. Apa yang kamu pertahankan? Kasih sayang ayah dan ibu mertuamu? Kenapa kamu tidak jujur saja pada mereka akan pernikahan kalian yang terasa palsu? Keyara menyeka air matanya kembali. Dering suara ponsel membuyarkan lamunannya. "Assalamualaikum, Bunda." "Wa'alaikumussalam, Key. Kamu dan Arga lagi apa?" Keyara mengusap air matanya sekali lagi. "Mas Arga sedang menonton bola, sedang saya sedang menyiapkan materi untuk mengajar besok." "Kalian baik-baik saja, 'kan? Kalian jarang main ke rumah. Apa Arga terlalu sibuk dan tidak memerhatikanmu?" Keyara mengatur napas. Setiap kali ibu mertuanya menelepon, ada rasa haru yang menelusup. Arimbi selalu mengkhawatirkannya dan memastikan jika Keyara diperlakukan baik oleh Arga. "Mas Arga sangat perhatian, Bunda. Akhir-akhir ini Mas Arga memang sibuk, tapi Mas Arga tetap perhatian dan sering berbincang dengan saya. Mas Arga suami yang sangat baik dan romantis." Kebohongan demi kebohongan terpaksa Keyara ciptakan untuk menutupi perilaku Arga yang begitu buruk memperlakukannya. "Syukurlah. Sepertinya kalian perlu berbulan madu lagi. Sudah setahun menikah, tapi belum ada kehadiran buah hati. Bunda sudah ingin menimang cucu." "Nanti saya bicarakan dengan Mas Arga, Bunda." "Ya, sudah, salam buat Arga, ya. Jaga kesehatan ya, Key." Senyum terulas dari kedua sudut bibir Keyara. "Ya, Bunda. Bunda dan Ayah juga, ya." "Pasti, Key. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumussalam." Keyara memejamkan mata. Kebaikan Arimbi menjadi dukungan tersendiri untuknya. Ia meminta maaf untuk setiap kenyataan yang ia sembunyikan dari Sang Ibu Mertua. Ia tak bisa menceritakan keadaan yang sebenarnya. Beribu kali Keyara mengatakan pada diri sendiri. Semua akan baik-baik saja, Key. Ya, semua akan baik-baik saja. Keyara menarik satu garis senyum. Ia yakin suatu saat kebahagiaan akan berpihak padanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD