“Tarik napasmu!” teriak Derwin. “Jangan biarkan emosimu mengambil alih, kau harus bisa lebih tenang dan lemparkan batu di depanmu dengan tenaga apapun yang kau miliki.”
Sekarang Arfeen sedang belajar bagaimana caranya menggerakkan batu tanpa menyentuhnya kepada Derwin sementara yang lain hanya memperhatikan sambil memakan buah-buahan yang di ambilkan oleh Althaia untuk mereka bertiga.
“Tidakkah kau terlalu keras mengajarinya?” seru Varoon dari tempat duduknya. Tanpa melirik pun Arfeen sudah tahu jika pria itu sedang berbicara sambil mengunyah sesuatu. “Setidaknya ambilkan batu yang lebih kecil, tenaganya tidak sebagus itu.”
“Tierra, jika kau bisa melemparkan batu itu ke arah Arfeen, besok aku akan mengajarimu cara mengendalikan Althaia,” ucap Derwin, dia mengikat janji. “Jika batu itu mengenai kepalanya, aku akan mengajarimu cara mengendalikan tumbuhan juga.”
“Kau benar-benar berjanji akan melakukannya, bukan? Aku tidak akan melupakannya.”
“Aku berjanji, sekarang lemparkan batu itu!”
Entah mendapat kekuatan dari mana, batu dari kerajaan Tyrion yang berukuran sedang itu terangkat dari tempatnya di letakkan- memang tidak terangkat tinggi, tetapi gerakan tangan Arfeen yang lincah membuat batu itu melayang dan detik berikutnya sudah menghantam bahu Varoon.
“Wah!” Isolde dan Denallie berteriak kegirangan. “Bagus, Tierra!”
Sementara Arfeen syok dengan apa yang dilakukannya, Varoon merintih kesakitan karena batu yang dilemparkan ke arahnya, Derwin sendiri hanya tertawa puas dengan apa yang dilihatnya. Dia tidak salah menilai Arfeen Tierra, dia benar-benar pemuda yang menarik dengan karismanya tersendiri. Arfeen sering terlihat ketakutan dan matanya tidak berbohong bahwa dia sedang tertekan, namun ternyata dia bukanlah pria yang tidak mau berusaha juga.
“Kau lihat?” Arfeen menatap Derwin, matanya berbinar takjub sekarang. “Kau lihat? Aku benar-benar melakukannya! Batu itu terangkat dan bisa terlempar begitu saja tanpa perlu aku menyentuhnya.”
“Kurang ajar kau, Tierra!” teriak Varoon, dia mulai bersiap dengan kekuatan sihirnya untuk membalas Arfeen. “Lihat apa yang bisa aku lakukan padamu!”
Karena panik dengan serangan tiba-tiba Varoon, Arfeen tidak sengaja menggerakkan tangannya ke kanan dan ke kiri tanpa sadar bahwa batu-batu lainnya mulai terangkat seiring dengan gerakan tangannya dan menyerang Varoon tanpa henti. Yah, meskipun kali ini pria bermata biru itu bisa menghalangi serangan Arfeen dengan sangat mudah menggunakan kekuatan sihir airnya.
“Sudah cukup!” teriak Isolde, dia membekukan batu dan serangan air milik Varoon di udara. “Serangan yang bagus, Tierra!”
“Kau melakukannya dengan baik juga, Tuan,” Denallie menepuk pundak Varoon sebelum menghilang dan tiba di samping Derwin. “Selamat, kau berhasil mengajarinya sihir dasar, Tyrion.”
“Tetapi itu bukanlah kekuatan sihir,” celetuk Isolde. “Tidak ada energi yang dikeluarkan. Maksudku, jika kekuatanku memiliki warna putih, Derwin berwarna hijau, kau abu-abu dan Varoon berwarna biru.. tidak ada warna untuk energi magis yang dikeluarkan oleh Tierra.”
“Oh?” Varoon melongo. “Benar juga.”
“Tetapi lebih dari itu, ternyata sejauh ini kau hanya bisa menyerang dengan baik saat sedang panik, ya?” Derwin mengangguk-anggukkan kepalanya, mulai memahami kekuatan yang berasal dari dalam tubuh Arfeen. “Apa kau sadar bahwa kau menyerang Varoon dengan lemparan batumu secara membabi buta, Tierra?”
Arfeen menggeleng. “Aku memang melemparnya dengan satu batu dan mengenai bahunya, tetapi aku tidak tahu jika aku adalah orang yang juga melempar batu sebanyak itu.”
“Kalian sudah dengar?” Derwin menepuk tangannya sekali sementara tiga lainnya tampak tidak percaya dengan pengakuan Arfeen. “Dia sudah belajar selama lima jam hanya untuk melempar sebuah batu dan itu bahkan belum tepat mengenai sasaran-“
“Aku dengan tepat mengenai Varoon, apa lagi yang tidak mengenai sasaran?”
“Bukankah aku memintamu untuk melempar batu itu ke kepalanya?”
“APA?” seru Varoon syok. “Kalian benar-benar menjadikan kepalaku sebagai taruhan?”
Sayangnya Arfeen dan Derwin tidak mendengarkan protes Varoon. Arfeen tetap mengtakan bahwa sasarannya sudah tepat dan Derwin terus menyanggahnya.
“Apa karena itu kita tidak mengetahui kekuatan sihir siapa yang menghabisi dua Kasdeya kemarin?” celetuk Isolde yang membuat semuanya diam dan balik menaruh perhatian padanya. “Maksudku kita tidak tahu siapa yang menjadikan Kasdeya kemarin menjadi batu dan hancur karena tidak ada energi sihir yang terlihat. Sihir kita memang tidak terlihat oleh bangsa yang berasal dari Saujana, jadi apakah itu bisa berarti sebaliknya?”
“Maksudmu karena Tierra berasal dari Saujana.. karena itu kita tidak bisa melihat energi sihirnya?” ulang Denallie, menyimpulkan.
“Ya,” jawab Isolde, dia mengangguk mantap. “Karena itulah Kasdeya tidak menyadari kekuatan Tierra dan menjadi kurang waspada, lalu tahu-tahu saja mereka sudah membeku dan menjadi batu sebelum kemudian hancur.”
“Itu bisa jadi!” dukung Varoon. “Isolde benar. Kita mungkin tidak bisa melihat energi sihirnya karena dia bukan sepenuhnya bagian dari kita. Tierra adalah makhluk yang berasal dari Saujana- tunggu, itu akan menjadi kekuatan untuk kita! Tidak ada yang bisa melihat energi yang berasal dari sihir Tierra, kita bisa menang melawan Kasdeya yang bisa menebak serangan dari membaca gerakan energi sihir kita!”
“Wah, aku pikir dia tidak akan berguna atau akan membutuhkan waktu lama baginya untuk berguna,” Denallie bertepuk tangan dua kali. “Kau berhasil menunjukkan taringmu dalam waktu dua hari. Aku benar-benar bangga padamu!”
“Lihat, dia mulai memasang ekspresi kebingungan lagi!” Varoon menunjuk wajah Arfeen. “Seharusnya kita tidak mulai mengajarinya cara menggunakan sihir dulu. Lebih baik kita memberitahunya apa saja yang terjadi di Niscala, asal usulnya dan bagaimana kerja kekuatan sihir kita.”
“Aku setuju!” dukung Denallie. “Kita harus mulai mengajarinya tentang Niscala terlebih dahulu- ah, kita juga bisa memulai dengan umur kita dan bagaimana kita melakukan ini selama ratusan tahun. Aku sudah muak melihat wajah bingungnya.”
“Benar, dia harus belajar tentang Niscala terlebih dahulu.”
“Kasdeya bisa keluar di siang hari tetapi kekuatan makhluk itu sedikit melemah tanpa cahaya jadi mereka tidak akan keluar di malam hari,” Derwin menatap Arfeen. “Siang akan kita gunakan untuk belajar sihir dan malam hari akan kita gunakan untuk mengenalkan Niscala padanya.”
“Tetapi untuk sekarang aku akan memperkenalkan diri dulu,” celetuk Isolde, dia kembali mengulurkan tangannya kepada Arfeen. “Aku Isolde, umurku sudah 170 tahun atau 17 tahun di negeri asalmu. Aku adalah seorang pengendali es dan penyembuh. Energi sihirku berwarna putih salju.”
“Aku Denallie,” giliran Denallie, dia maju setelah Isolde selesai menjabat tangan Arfeen. “Aku delapan puluh tahun lebih tua darimu yang artinya umurku sekarang adalah 250 tahun dan aku berasal dari Marven. Aku penyihir kelas menengah, menguasai panahan dan energi sihirku berwarna abu-abu.”
“Giliranku?” Varoon maju, dia terkekeh. “Kau sudah mengetahui namaku, bukan? Aku berumur 270 tahun, berasal dari Marven dan energi sihirku berwarna biru yang menggambarkan lautan dan keturunan anggota kerajaan. Aku adalah penyihir kelas atas seperti Isolde dan Derwin.”
Arfeen menjabat tangan mereka satu-satu sampai tiba giliran Derwin.
“Aku sepuluh tahun lebih tua dari Varoon, King Tyrion III adalah pamanku dan aku seorang ksatria di kerajaan Tyrion. Semua Althaia dan tanaman sihir di kerajaan ini berada dalam kendaliku dan aku ditugaskan untuk mencari keberadaan dirimu dan menjagamu untuk kemudian membawamu kembali ke Niscala.”
“Siapa yang memberimu tugas itu?” tanya Arfeen.
“King Tyrion III. Dia sudah meninggal beberapa puluh tahun yang lalu bersamaan dengan hilangnya King Marven II- Ayah dari Varoon, ketika mereka masuk ke dalam Marven.”
“Bersama dengan Virendra?” tebak Arfeen. “Mereka pergi ke Marven bersama dengan Virendra, bukan? Apa mereka hanya pergi bertiga?”
“Ya,” jawab Isolde. “King Tyrion dan King Marven mengajak Virendra karena saat itu hanya dia yang bisa diandalkan sebab dia adalah penyihir kelas menengah.”
“Kenapa bukan dirimu?” tanya Arfeen lagi. “Kau penyihir kelas atas, bukan?”
“Tidak bisa,” sahut Denallie. “Isolde harus menjaga permukaan Marven dan selalu melakukan pemeriksaan mengenai ketebalan es untuk menangkal keluarnya Kasdeya. Derwin memiliki tugas untuk menjagamu jadi dia tidak bisa masuk ke dalam Marven dan Varoon adalah satu-satunya Putra Mahkota, dua pemegang kekuasan tertinggi kerajaan tidak boleh bersama-sama terjun ke dalam bahaya.”
Arfeen mengangguk paham.
“Lalu kenapa hanya Denallie yang mencurigai penyihir kelas menengah yang selamat seperti Virendra? Jika dia bisa selamat sementara dua penyihir kelas atas yang memegang gelar raja saja meninggal dan menghilang.. bukankah kemungkinan dia menjalin kesepakatan dengan Kasdeya?”
“Apa maksudmu?” tanya Derwin.
“Di film-film yang aku tonton, di saat-saat seperti itu.. kemungkinan pengkhianatan sering terjadi. Seperti mengorbankan sesuatu untuk sesuatu,” Arfeen menatap ketiga penyihir Niscala itu secara bergantian. “Ada yang ingin aku tanyakan, siapa yang akan merasa paling beruntung dengan tiadanya dua penguasa Niscala? Aku, kalian, dia atau masih ada kandidat lainnya?”
***